Thursday, November 20, 2014

Ravelt Part 3

Cerita berikut telah dipost pada: http://battle-of-realms.blogspot.com
Link cerita: http://battle-of-realms.blogspot.com/2014/06/round-3-k8-ravelt-tardigarde.html
Untuk pengenalan entri karakter bisa dilihat pada: http://battle-of-realms.blogspot.com/2014/03/ravelt-tardigarde.html

[Round 3-K8] Ravelt Tardigarde vs Sjena Reinhilde
"Room of Steel"

Written by Harid Ziran
---
Prelude

—Sebentar lagi, kau harus memilih—

Angin semilir menerpa tubuh Ravelt, membelainya perlahan. Satu – persatu, kabut dan awan melewatinya, melambai. Pandangannya yang sendu menunjukkan kelelahan dan kerinduan akan sesuatu. Sementara tangan kanannya sedang digandeng oleh Hvyt di angkasa yang luas dan megah. Ditambah lagi dengan langit hitam pekat yang dihiasi oleh sang purnama merah menambah suasana romantis disekitar mereka, seakan-akan dunia milik berdua.

Tunggu dulu, kenapa narasinya jadi aneh begini? Ah sudahlah, lupakan.

Ravelt sedang diantar oleh Hvyt menuju tempat selanjutnya dalam permainan adu bunuh milik sang penguasa Devasche Vadhi— Thurqk, yang mengaku sebagai dewa pencipta. Sudah dua ronde yang ia lewati.

Ronde pertama dilewatinya dengan menerima beberapa luka dan dalam kondisi yang agak kepayahan, tapi menurutnya itu sangat memuaskan.

Ronde kedua yang barusan dilewatinya dengan mulus, menghabisi hampir seluruh peserta sendirian menggunakan kekuatan dahsyat yang ia miliki dan ia pikir pertarungan itu membosankan.


Untuk ronde ketiga, tampaknya Ravelt sudah kehabisan ide.

Maklum, ia termasuk salah satu dari sekian orang yang merasa tidak puas kalau pertarungan yang ia hadapi tidak membuatnya merasakan kesenangan dan ketegangan saat bertarung mempertaruhkan nyawa satu sama lain.

"Hey pesuruh! Kapan kita sampai? Dewamu tampaknya senang membuat orang menderita. Atau jangan – jangan kau yang salah arah? Aah, ini semua menyebalkan."

"Maaf tuan Ravelt, kita sedang berada di jalan yang benar. Akan tetapi tempat ini adalah sebuah jalur sibuk, jadi ada batasan kecepatan disini."

"Haaah? Mananya sibuk? Satu – satunya hal yang kusaksikan daritadi hanyalah langit yang dihiasi bintang merah dan bulan. Yang berlalu lalang juga hanya awan."

"Anda tidak percaya? Sebentar lagi anda akan melihat buktinya."

Baru saja Ravelt ingin menggerutu dan membalas perkataan Hvyt, dirinya tiba – tiba sudah berada di tengah kerumunan Hvyt yang sedang berlalu lalang— sambil terbang, tentunya.

Terdapat banyak sekali Hvyt yang melewati jalur itu, entah ratusan atau mungkin ribuan dan masing – masing memakai baju yang berbeda – beda.

Ada yang memakai baju seperti tukang pos, ada yang memakai baju pengantar barang, tuxedo, dan baju batik kondangan yang biasa dipakai oleh keluarganya saat ia masih hidup normal. Bahkan ada pula yang memakai baju merah dan topi dengan simbol "M" berwarna kuning dengan slogan "I'm Lovin' It"

Mereka buka cabang disini?

"Oke, aku mengerti. Tapi setidaknya percepat jalanmu sedikit! Aku sudah menggandengmu selama dua jam! Satu – satunya tangan yang mau kugandeng dalam waktu selama itu hanyalah tangan seorang wanita!"

Hvyt tetap tak bergeming, menunjukkan ekspresi yang dingin sambil melihat ke arah depan.

Satu jam kemudian mereka mendarat di sebuah daratan beralas besi, dengan sebuah gerbang besar yang terbuat dari baja. Tak ada satupun tempat yang beralas tanah sejauh mata memandang.

"Huff, akhirnya."

Tanpa basa – basi, Ravelt duduk bersila di tempat itu. Tubuhnya diliputi aura keemasan, pertanda dia sedang melakukan access.

"Tuan Ravelt, anda tidak seharusnya menggunakan kekuatan anda di tempat seperti ini! Ini sudah melanggar peraturan!"

"Haa? Siapa yang bilang? Lagipula aku hanya mengeluarkan makanan, sudah seharian perutku kosong. Dan lagi, seorang raja harus makan ditempat seperti ini? Menyebalkan! Dewamu yang sok itu benar – benar tidak tahu caranya menjamu orang."

Lagi – lagi Hvyt terpaksa diam, melanjutkan pekerjaannya membuka gerbang besar itu dengan sebuah mekanisme otomatis. Memang benar, aura keemasan yang meliputi tubuh Ravelt kini menghilang dan digantikan dengan sebuah roti isi daging dan sekaleng minuman soda.

"Lewat sini tuan."

Pintu gerbang itu terbuka, memperlihatkan sebuah lorong besar yang terbuat dari baja dan mengarah ke bawah tanah.

"Tunggu sampai aku selesai."

"Tapi waktu pertarungan anda—"

Hvyt tidak melanjutkan kata – katanya. Peserta yang berada didepannya meengeluarkan jari telunjuk kirinya ke atas, sebuah sinyal untuk diam sementara ia sedang menenggak minuman bersoda itu pelan – pelan.

—TO ACT I—

Act 1

Sjena's part

Seorang gadis berkulit coklat gelap sedang dipandu oleh Hvyt menuruni tangga – tangga koridor remang tak berujung dimana dindingnya terbuat dari baja yang tebal dan tak mampu ditembus oleh apapun.

Dengan sebuah tank top hitam dan hot pants berwarna abu sebagai pilihan pakaiannya, dapat diketahui kalau gadis ini adalah petarung yang mengandalkan pergerakan tubuh yang penuh manuver dan kelincahan gerak, kalau tidak mau disangka sebagai anak gaul yang rajin nongkrong di mall zaman sekarang.

"Hvyt, kapan kita sampai?" tanya gadis itu dengan nada suara yang agak berat.

Kedua tangannya menempel pada dinding koridor baja dingin menuntun jalannya pelan – pelan, sambil menyeret kakinya mengikuti langkah Hvyt yang sudah berada sekitar tiga meter didepannya.

"Sebentar lagi nona Sjena, sabarlah. Ruangan yang kita tuju hanya beberapa puluh meter lagi dari sini. Sebuah jarak yang cukup dekat, saya pikir."

"Uh.... tapi tempat ini gelap sekali."

"Gelap? Saya pikir tempat ini sudah mendapat pencahayaan yang cukup untuk menuntun kita sampai tujuan. Kecuali kalau anda memiliki suatu ketakutan khusus akan kegelapan"

Sjena terdiam, pandangan matanya tertunduk kebawah.
Setelah beberapa menit penuh keheningan menyusuri tangga spiral koridor yang terus menuju kebawah, mereka berdua tiba di depan sebuah pintu baja yang besar dengan tulisan berwaarna merah di atasnya.

KHRAMANAKA – 08

"Disini. Kita sudah sampai."

"Jadi, disini tempat pertarunganku berikutnya."

Sjena menoleh, bertanya menghadap Hvyt yang sudah bergerak ke sebelah kanan pintu dimana terdapat sebuah tuas disana.

"Ruangan ini sudah dirancang sedemikian rupa untuk menjatuhkan bola besi yang tak dapat dihancurkan oleh apapun setiap beberapa menit. Semakin lama anda berada di dalam, semakin banyak bola yang akan jatuh. Tugas anda adalah membunuh lawan di depan anda dengan batas waktu tiga puluh menit."

"Dan kalau batas waktu itu kulanggar?"

"Itu tugas anda sendiri untuk mencari tahu. Yang jelas, itu bukan sesuatu yang menyenangkan."

Intinya cukup menghabisi musuh secepat mungkin dalam batas waktu tiga puluh menit. Instruksi mudah.

"Sekarang masuklah nona Sjena. Lawan anda mungkin sudah menunggu di dalam. Ah, dan jangan lupa begitu anda melangkah masuk hitungan mundur akan langsung dimulai."

"Baik, aku mengerti."

Sang Hvyt menarik tuas, membuka gerbang besi itu dan tepat saat itu juga, Sjena melangkah masuk.

"Ini..."

Begitu Sjena melangkah masuk, ia terkejut.

Bukan karena tempat yang dipenuhi dengan lampu di seluruh ruangan 10x10 meter ini, karena kacamata magis dua lapis dengan sebuah tudung sudah cukup menutupi pandangannya.

Bukan juga karena ruangan ini memiliki ketinggian atap yang terlampau tinggi, mengingat bola besi yang jatuh dari atas butuh ketinggian untuk mendapatkan impact yang cukup untuk membunuh seseorang.

Ia terkejut karena hal lain, sebuah hal yang seharusnya berada disana.

Sementara waktu berjalan terus, dan bola besi pertama sudah jatuh dengan dentuman yang keras disudut ruangan.

***

Ravelt's part

Tangga spiral. Koridor gelap.

Pemandangan yang sama seperti yang dilewati oleh peserta tadi, namun tempat ini sebenarnya berada di sisi yang berlawanan.

Satu – satunya yang berbeda dan hanya ada disini adalah kita dapat melihat Hvyt sedang terbang rendah sambil membawa seseorang yang memakai jubah merah dengan cepat.

"Hei Hvyt, kenapa kau terlihat buru – buru sekali?"

"Pertarungan anda sudah berjalan sejak tiga menit yang lalu. Kalau seandainya anda tidak bersikeras untuk menghabiskan makanan anda sambil duduk tadi, pastinya anda sudah berada di arena sekarang."

"Sudahlah, tak usah buru – buru. Lagipula yang rugi kalau waktu pertarungan semakin sedikit adalah aku."

"Apabila seorang Hvyt gagal melaksanakan sebuah tugas, maka akan diberikan hukuman mati. Dan tugas saya sekarang adalah mengantar anda sampai tujuan tepat waktu."

"Kalau begitu seharusnya kau sudah dapat hukuman mati. Ngomong – ngomong, aku jadi punya ide. Kau bawa saja aku ke hadapan dewa sialanmu itu, biarkan aku memenggal kepalanya, lalu kemudian kita semua—termasuk seluruh bangsamu dan semua peserta disini hidup bahagia selamanya."

"Kalau anda, tuan Ravelt, menghina tuan kami— yang mulia Thurqk lagi, saya akan benar – benar menjatuhkan anda sekarang."

"Hoo, bahkan otak udang sepertimu punya rasa marah juga ya?"

Diam. Tak ada balasan dari si merah yang diajak bicara dan satu setengah menit perjalanan mereka diisi dengan keheningan sebelum akhirnya sampai di tempat tujuan.

"Aah, pintu yang besar sekali. Benar – beenar seperti nostalgia, masuk ke dalam pintu besar di bawah tanah dalam rangka melawan dewa."

Ravelt bergumam di depan pintu, sementara Hvyt yang mengantarnya telah berdiri di samping sebuah tuas besar.

"Terlambat lima menit. Apakah anda ingat peraturan pertarungan kali ini, tuan Ravelt?"

"Yang mana?"

"Semua"

"Nnnngg.....aku lupa"

Orang ini!

Hvyt naik pitam, sampai – sampai tangannya yang memegang tuas hampir saja mematahkannya.

"Ehem, baiklah, akan saya jelaskan lagi. Perarturan kali i—"

Ravelt menyela Hvyt sebelum ia mulai bicara.

"Oke. Cukup. Hentikan. Aku hanya bercanda. Aku hafal semua peraturan yang kau sampaikan begitu terbang membawaku tanpa membiarkanku sempat menenggak tetesan soda terakhirku. Intinya, habisi musuh dalam tiga puluh menit atau keduanya akan mati. Begitu saja kan?"

"Baiklah kalau begitu. Silahkan masuk."

Tuas ditarik, dan gerbang besar itu terbuka. Tanpa basa – basi lagi, Ravelt melangkah masuk kedalam, dimana lawannya sekarang sudah menunggunya.

Plak!

Ravelt menepukkan telapaknya ke wajahnya, atau biasa kita sebut facepalm. Entah ini sebuah berkah Tuhan atau permainan iblis, musuh yang dihadapinya sekarang adalah seorang wanita.

Wanita lagi?

***

Act 1 Conclusion

"Aaaah entahlah, aku sudah tidak kuat lagi."

Gumam Ravelt, dengan suara yang terdengar jelas oleh musuhnya, sambil ia duduk dengan kaki bersila dihadapan gadis itu.

"Jadi, kau lawanku?"

Gadis itu mengeluarkan suaranya, bertanya kepada Ravelt.

"Yah, bisa dibilang begitu gadis manis. Namaku Ravelt Tardigarde, nama seorang raja yang akan mengukir sejarah, di dunia dan hatimu. Bicara soal hal lain, maukah kau jadi milikku?"

"Don't waste my precious time."

Tepat saat Ravelt selesai berbicara, tiga buah bola besi dengan ketinggian yang berbeda, dijatuhkan ke tengah – tengah mereka. Dua menuju gadis di depannya, yang berhasil dihindari dengan baik. Satu menuju ke arahnya.

"Tch, mereka pikir bisa membunuhku dengan ini."

Dengan Divine Access sekejap mata, Ravelt menghajar bola itu ke kanan dan bermaksud untuk menghancurkannya secara total, namun hasil yang dia dapatkan lain.

Bola besi itu hanya bergeser sedikit dari jalurnya dan tidak menerima dampak apa – apa sama sekali, sementara tangan kanan Ravelt yang menghajar bola itu berwarna biru legam, seperti memar terbentur sesuatu yang keras.

Pukulan Ravelt barusan adalah pukulan yang mampu menghancurkan satu bukit, atau meskipun sekarang kondisinya sedang tidak prima akibat kehilangan tubuhnya, seharusnya serangan yang ia lancarkan cukup kuat untuk meratakan sebuah gedung tingkat dua puluh. Akan tetapi bola besi itu tidak menerima dampak sama sekali.

Hanya ada satu penjelasan untuk hal ini, dan itu sudah pasti. Bola besi ini adalah salah satu manifestasi dari kekuatan si―merah—sok―jago diluar sana, dan dia pasti sangat senang melihat situasi ini.

Bukannya malah terkejut, senyuman lebar menghiasi wajahnya, diikuti dengan tawa keras yang keluar dari mulutnya. Ia juga berdiri dari posisi duduknya.

"Hahaha! Menyenangkan! Kupikir ini akan jadi sangat membosankan. Kau menang Thurqk, kau menang! Aku akan membuatkan sedikit hiburan untukmu, jadi nikmatilah!"

Hanya dalam selang sepersekian detik setelah Ravelt menyelesaikan kalimatnya, sebuah pisau hitam menebas tenggorokannya.

—TO ACT II—

Act II

Final Act — Last Conclusion

"Ini....tidak mungkin. Aku sudah menebas lehermu, tapi kenapa?"

Sjena berdiri terpaku di tengah ruangan sempit itu, melihat targetnya tidak terluka sama sekali.

"Hanya ada satu penjelasan gadis manis. Aku lebih kuat darimu. Serangan sekaliber itu tidak akan mampu melukaiku."

"Tch, kau hanya beruntung!"

Sjena membentuk sesuatu yang baru dari tangannya, mengumpulkan kegelapan dan membentuknya menjadi sebuah pedang dua sisi, lalu mengayunkannya pada Ravelt.

"Amatir. Ayunan pedangmu masih lemah."

Ravelt dengan mudah menghindari seluruh tebasan pedang Sjena tanpa usaha yang berarti. Ia hanya memiringkan badannya ke kanan, kiri, dan begitu terus sampai lima menit berlalu.

"Ah, kulihat kau sangat energetik gadis manis, maafkan aku, tapi kalau boleh tahu, siapa namamu?"

"Sjena Reinhilde, memangnya kenapa!"

Gadis itu berteriak, disusul dengan sebuah ayunan kuat dari pedang yang digenggamnya.

Namun sayang, tepat saat itu sebuah bola besi turun dan menghalangi jalur pedangnya, bertubrukan, menyebabkan pedangnya terlempar hingga ujung ruangan.

"Sjena? Nama yang bagus, dan kau juga cukup manis. Tapi sayang kau akan berakhir disini!"

Ravelt mengambil langkah kilat, mengubah tongkatnya menjadi cincin dan menyerang Sjena dengan satu pukulan mematikan. Ia berniat mengakhiri semuanya dalam sekali serangan.

Tapi apa yang terjadi berikutnya sangat berbeda. Tubuh Ravelt memanas, dadanya menjadi sesak dan detak jantungnya serasa berhenti. Matanya juga berkunang – kunang, sementara ia mulai kehilangan keseimbangan.

Semua yang terjadi dalam waktu yang sesingkat itu, membuat pukulannya meleset dan kecepatannya berkurang. Menyebabkan Sjena sempat membuat pedang baru, merunduk, dan berhasil menebas punggungnya dengan serangan bersudut seratus delapan puluh derajat.

"Apa?"

Ravelt tersungkur hingga ke pojok dinding. Punggungnya yang terkena tebasan Sjena mulai mengeluarkan darah.

"Ini tidak mungkin! Apa yang barusan? Uhuk!"

Rasa panas yang dialami Ravelt kembali, dan kali ini sepertinya lebih parah daripada yang tadi. Ia juga merasakan mulutnya mengeluarkan sesuatu.

Darah? Aku mengeluarkan darah?

"Ini...uhuk...uhgh!"

Darah mengucur dari mulutnya. Tubuhnya juga merasakan panas dan rasa sakit yang luar biasa, seakan – akan mau meledak saat itu juga. Beberapa organ dalamnya juga sepertinya sudah hancur. Butuh beberapa saat bagi Ravelt untuk menyadari aura keemasan yang melindungi tubuhnya juga telah menghilang dari tadi.

"Ya sudahlah. Divine Access!"

Tidak ada yang terjadi. Tubuh Ravelt tidak diselimuti dengan aura keemasan seperti tadi.

Tak salah lagi, ini yang dia maksud dengan "Memilih"

Dalam tubuh Ravelt, terdapat dua aliran energi yang ia gunakan untuk melakukan access. Divine and Darkness, atau disebut juga cahaya dan kegelapan.

Dua kekuatan yang berbeda apalagi bertolak belakang, sudah pasti tidak dapat disatukan. Apalagi dalam kondisinya sekarang, yaitu kehilangan tubuh. Jiwanya yang tidak kuat menahan tekanan, hampir hancur dibuatnya.

Sjena yang melihat itu semua, membuat senyum kemenangan di mulutnya. Aura mengintimidasi yang keluar dari musuh di hadapannya sudah tiada. Dan sekarang ia angkat bicara.

"Sepertinya waktumu sudah habis. Apakah kau mau menyerah, orang mesum?"

Ravelt kembali bangkit dari tempatnya, dan berdiri menatap Sjena.

"Maaf gadis manis, atau, uh—Sjena? Aku punya tiga puluh dua wanita, rakyatku, dan teman – temanku menunggu dirumah, dan aku mau pulang sambil menghadiahkan mereka kepala orang gila yang memanggilku kesini."

"Kupikir itu bukan hadiah yang bagus untuk wanita. Dan tiga puluh dua? Itu jumlah yang gila."

Sjena maju dengan sebuah sabit di tangannya, bersiap untuk menebas kepala Ravelt.

"Tidak secepat itu"

Berbeda dengan kekuatannya yang lain, perubahan bentuk tongkat Ravelt dari cincin kembali ke bentuk semula tidak memerlukan access sama sekali. Dan ia menggunakannya untuk menahan sabit Sjena.

Selama beberapa menit, mereka beradu sabit dan tongkat, saling bertukar serangan sambil dihujani bola besi yang semakin banyak. Ruangan itu hampir penuh dengan bola – bola besi yang jatuh.

Saat ini keadaan Ravelt sekarang makin terdesak, sementara Sjena terlihat hampir memenangkan pertarungan. Tapi Ravelt adalah orang yang ahli dalam membalas.

Begitu sabetan sabit Sjena hampir mengenai lehernya, Ravelt berhasil menangkis dan meng-counter serangan Sjena, menyebabkan gadis itu mundur beberapa langkah.

Sekali lagi, Ravelt memegang kendali pertarungan dan berganti membalas serangan – serangan Sjena. Sjena yang juga tak mau kalah, berusaha untuk menahan segala serangan Ravelt sambil mencari celah untuk membalas serangan.

Bagi Ravelt, semua tampak berjalan lancar. Sampai suatu ketika, ia terlalu fokus pada musuh di depannya. Ia tidak menyadari bahwa ada sebuah bola besi yang jatuh ke arahnya. Dan ketika ia mmenyadarinya, semuanya sudah terlambat. Bola besi itu menghancurkan tulang bahu kirinya.

"Aaaagghh! Sial, sakit sekali!"

Ravelt jatuh berlutut sementara Sjena mendekatinya perlahan, sambil menghindari bola besi yang berjatuhan.

"Huhu, akhir yang memuaskan."

Sjena tertawa kecil. Kematian musuhnya ditangannya sudah tinggal beberapa langkah lagi.

"Oh ya, aku lupa. Kau seorang raja kan?"

Sjena mengarahkan sabitnya pada Ravelt yang tidak berdaya dan hanya bisa menatap dengan tajam.

"Biar kuberitahu. Aku seharusnya adalah seorang putri. Tapi aku dibuang dan diasingkan hanya karena sebuah ramalan. Jadi singkatnya, moral dari cerita, kau akan dibuang begitu kau merugikan mereka, apalagi di dalam tempat seperti istana. Semua wanita dan teman – temanmu kebanyakan adalah orang bermuka dua. Bagi mereka, kau kembali atau tidak pun tidak masalah."

Mendengar perkataan Sjena, Ravelt menutup matanya dan tersenyum, lalu berbicara.

"Biar kuperjelas. Pertama, aku kasihan kepadamu. Kedua, aku baru jadi raja selama tiga bulan dan kerajaanku baru terbentuk. Ketiga, jangan pernah menghina teman dan orang yang dekat denganku. Terakhir, jangan pernah sekalipun berbuat lancang dihadapan seorang raja."

"Terserah."

Detik itu, sebuah ayunan sabit raksasa mengincar leher Ravelt. Tapi mendadak angin ribut terbentuk di dalam ruangan, menghentikan serangan sabit yang akan mengenai lehernya.

Sjena terlempar hingga ke ujung ruangan, membuatnya tak bisa bergerak selama sementara waktu.

Kini tubuh Ravelt diselimuti oleh aura kegelapan yang pekat, sampai – sampai yang bisa terlihat darinya sekarang hanyalah bentuk tubuhnya saja. Sekarang ia tenggelam dalam kegelapan.

"Ukh....uhuk uhuk!"

Darah kembali keluar dari mulut Ravelt, dan ia hampir saja kehilangan keseimbangannya dikarenakan kaki kanannya patah secara tiba – tiba. Penglihatannya juga mulai kabur. Secara fisik, Ravelt sudah tidak mungkin lagi bertarung.

Tiba – tiba dunia menjadi gelap, setidaknya bagi Ravelt. Tubuhnya melemas, ia sudah tidak dapat berdiri lagi dan perlahan – lahan menyerahkan diri pada kegelapan. Kendali pikiran atas jiwa raganya sudah menghilang.

Tepat saat itulah, [Hero Essence] miliknya bekerja. Menggantikan kendali dirinya dengan sosok yang lain.
Sumber energi access milik Ravelt adalah para dewa dan dewi yang telah ia kalahkan, ataupun jiwa – jiwa yang ia serap, jauh sebelum dirinya menjadi raja. Tidak terkecuali Dark Access miliknya.

Beberapa dari mereka sangat kuat, hingga memiliki kesadaran sendiri.

[The World Evil: Angra Mainyu]

[Underworld Ruler: Hades]

[Eye of Death: Balor]

[The Strongest Pride: Lucifer]

[First Fallen Angel: Azazel]

[God of Destruction: Shiva]

Itu hanyalah secuil dari banyak jiwa yang Ravelt hisap untuk membuat dirinya mampu menggunakan Dark Access yang masih memiliki kesadaran sendiri.

[Hero Essence] mengambil sifat kekacauan dan keinginan mereka untuk menghancurkan, sehingga melahirkan suatu kesadaran baru, yang sekarang digunakan untuk bertarung, semenjak Ravelt kehilangan kesadaran. Kesadaran baru yang bernama [Madness].

"Uh....unh....."

Sjena yang jatuh tersungkur, mulai sadar dan membuka matanya perlahan. Ia melihat tempat sekitarnya yang masih kacau balau. Angin ribut masih mendiami tempat itu, sedangkan bola – bola besi masih tetap berjatuhan seakan – akan tidak ada halangan apapun. Beruntung Sjena tidak terkena satupun bola besi itu.

Namun yang perlu ditakutinya hanyalah satu. Sosok hitam mirip manusia ditengah ruangan.

"I..itu"

Karena trauma yang dialaminya, Sjena takut sekali dengan kegelapan. Makanya sekarang ia memakai magic glasses yang membantunya untuk melihat lebih terang dalam gelap.

Tapi kegelapan yang dilihatnya saat ini, jauh berbeda dari kegelapan yang selama ini ia takuti. Yang satu ini lebih menyeramkan.

Sjena berdiri, menghadapi ketakutan terbesarnya. Ia sudah melihat melalui layar monitor, bagaimana peserta – peserta sebelumnya dihabisi dengan cara yang sangat tidak manusiawi oleh panitia penyelenggara acara dan ia benar – benar tidak mau mati konyol seperti itu.

Perlahan – lahan, angin ribut mulai berhenti. Meninggalkan ruangan itu dalam suara bola – bola besi yang berjatuhan.

Makhluk itu masih tidak bergeming, diam ditengah ruangan. Anehnya, dari tadi tak satupun bola besi yang mengenai makhluk itu, ataupun Sjena sendiri meskipun kondisi ruangan itu sekarang sudah dipenuhi dengan bola – bola besi, baik yang sudah dilantai maupun yang masih berjatuhan.

Sjena berkonsentrasi, fokus membuat sebuah pisau dari kemampuan Fake Fire miliknya. Suatu kemampuan untuk membentuk objek dari bayangan. Di tangannya sekarang terdapat sebuah pisau hitam. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Menggunakan kegelapan untuk melawan kegelapan.

00:10

Sebuah jam virtual muncul di dekat Sjena.

00:09

Sjena melesat maju. Kalau ia ingin keluar dari sini hidup – hidup, maka makhluk hitam itu harus dihabisi secepatnya.

00:08

[Madness] menoleh ke arah Sjena.

00:07

Gadis itu melancarkan serangan pertama. Sebuah tebasan dari pisau Fake Fire-nya yang dapat dihindari dengan mudah oleh [Madness].

00:06

Serangan kedua dari Sjena. Tusukan langsung ke jantung.

00:05

Serangan Sjena kembali gagal, dan berhasil ditahan dengan satu tangan.

00:04

[Madness] balas menyerang dengan pukulan tangan kanan.

00:03

Sjena menghindar dengan menunduk.

00:02

Sjena berhasil melakukan roll melewati makhluk itu dan menebas punggunya.

00:01

[Madness] berteriak, sementara Sjena melakukan casting Slow Motion pada makhluk itu, ditambah Fast Forward x8 pada dirinya.

[DEADLINE]

Sjena masuk kedalam Berserk-state, membuat satu pisau lagi dari Fake Fire dan menyerang [Madness] secara membabi buta.

Makhluk itu menyadari apa yang gadis itu lakukan di belakangnya. [Madness] menggunakan pengendalian waktu dan ruang, membuat segalanya berjalan lambat, termasuk bola – bola besi yang berjatuhan.

[Madness] beradu pukulan dengan serangan – serangan Berserk–Sjena . Serangan mereka berdua sama brutalnya, sama cepatnya. Akan tetapi Berserk–Sjena berhasil menghindari semua serangan [Madness].

Makhluk itu berhasil mendaratkan pukulan pada tangan kanan Berserk–Sjena. Dengan kata lain, Berserk–Sjena baru saja menerima serangan yang dapat meluluhlantakkan sebuah gunung. Namun Berserk–Sjena masih tidak menerima apa – apa.

Dua menit kemudian, Berserk–Sjena mengembalikan serangan [Madness] yang tadi, di tengah – tengah pertempuran jarak dekat mereka, menggunakan Time Loop.

Serangan itu membuat [Madness] terpental jauh, menabrak dinding dan menimbulkan suara gemuruh yang besar.

Berserk–Sjena tidak menyia – nyiakan kesempatan ini. Ia melesat menggunakan Teleport, menghujamkan setiap serangannya ke tubuh [Madness].

Belum sampai di tujuan, Berserk–Sjena dikejutkan dengan keberadaan [Madness] yang menggunakan pengendalian ruang untuk memindahkan dirinya dalam sekejap, sama seperti Teleport untuk balas menyerang.

Adu serangan tak terhindarkan lagi. Antara Berserk–Sjena dan [Madness] benar – benar tak dapat ditentukan siapa yang lebih unggul. Masing – masing memiliki balasan yang tepat dan serangan – serangan mematikan.

[Madness] meloncat, menjadkan bola – bola besi yang berjatuhan secara lambat sebagai pijakan, sementara Berserk–Sjena menyusulnya dari belakang. Pertarungan mereka berlanjut di udara, dengan hanya mengandalkan bola – bola besi sebagai pijakan.

Sudah sepuluh menit mereka saling menyerang membabi buta tanpa henti. Sjena masih dalam keadaan berserk, dikarenakan kemampuan pengendalian ruang dan waktu [Madness] mempengaruhi dan masih mencatatnya sebagai tiga belas detik.

Detik – detik terakhir, Berserk–Sjena melemparkan kedua pisaunya ke arah [Madness] yang menerjang. Kedua pisaunya tertancap di [Madness] akan tetapi tidak memberinya luka yang fatal.

Berserk–Sjena membuat sebuah shotgun, sementara jarak antara dia dan [Madness] hanya beberapa langkah lagi. Begitu pukulan kiri [Madness] hampir mengenai dirinya, Berserk–Sjena menembakkan shotgunnya, menghancurkan tangan kiri makhluk itu seutuhnya. Tapi tangan kanan [Madness] berhasil mengenainya, telak di bagian jantung.

Kemudian mereka berdua terjatuh dari ketinggian, bersamaan dengan bola – bola besi yang berhenti berjatuhan.

***

Epilogue

"Hmm? Ini dimana?"

Ravelt terbangun, dalam posisi berbaring di atas tumpukan – tumpukan bola besi. Dada sesak dan tubuh panas yang mengganggunya terasa sudah pergi digantikan oleh sakit dan perih di seluruh tubuhnya. Entah kenapa sekujur tubuhnya dipenuhi luka tebas, akan tetapi itu mungkin hasil pertarungan pikirnya. Tangan kirinya sudah tak dapat ia rasakan lagi. Antara mati rasa atau benar – benar sudah tak ada, Ravelt tidak peduli.

Beberapa saat kemudian, Ravelt mencoba bangun dan berusaha berdiri. Barulah ia merasakan kalau dari tadi ada yang mengganjal tubuhnya. Begitu ia melihat ke bawah, ia menemukan tubuh Sjena sedang terbaring di atasnya.

"Hee....ia manis juga kalau menutup mata. Tunggu sebentar, ini—"

Ravelt merasa ada yang salah denggan gadis itu.

Dingin? Tapi kenapa?

"Oh iya, dia mati."

Kesimpulan pertama yang ia dapat dari hasil berpikirnya adalah gadis ini mati di tangannya. Pertanyaannya ada dua: kapan dan bagaimana, karena ia tidak bisa mengingat apapun yang terjadi setelah ia kehilangan kesadaran.

Tanpa disadari oleh Ravelt yang sedang tenggelam dalam lautan deduksinya sendiri, seorang Hvyt masuk ke dalam ruangan.

"Dua puluh tiga menit. Selamat tuan Ravelt, anda pemenangnya."

Ravelt yang baru saja buyar, mengarahkan pandangannya ke arah Hvyt di atasnya.

"Terima kasih, tapi bagaimana? Aku sepertinya tidak ingat apapun."

"Anda menghabisinya dengan menggunakan pengendalian udara melalui pukulan. Anda meledakkan jantungnya."

"Itu cara yang mengerikan untuk mati, Hei, bisa angkat aku dari sini?"

Hvyt menyingkirkan mayat Sjena yang menindih Ravelt, kemudian mengembalikan semua luka yang kembali seperti sedia kala. Ravelt mencoba menggerakkan seluruh tubuhnya, dan menyadari kalau tangan kanannya sedang menggenggam sesuatu.

Kapan?

Sepasang lensa bening berwarna kebiruan dengan kain merah berenda putih yang menghiasi.

Ini pasti miliknya

"Ah, aku akan mengambil ini sebagai koleksi. Sekarang kita pergi kemana?"

"Ke tempat pertarungan berikutnya."

"Lebih cepat lebih baik. Ayo."

Ravelt dan Hvyt segera beranjak pergi dari tempat itu, meninggalkan mayat Sjena begitu saja. Seorang lelaki yang sangat menyukai wanita, meninggalkan mayatnya tergeletak tak terurus.

Terlalu tega? Mungkin tidak.

Karena bagi Ravelt, misinya sekarang hanya satu.

Membunuh Thurqk.
—END—

No comments:

Post a Comment