Thursday, November 20, 2014

Ravelt Part 2

Cerita berikut telah dipost pada: http://battle-of-realms.blogspot.com
Link cerita: http://battle-of-realms.blogspot.com/2014/05/round-2-ryax-ravelt-tardigarde.html
Untuk pengenalan entri karakter bisa dilihat pada: http://battle-of-realms.blogspot.com/2014/03/ravelt-tardigarde.html

[Round 2-Ryax] Ravelt Tardigarde
"Puppet of Pride"
Written by Harid Ziran
---

Prelude

Sebuah pulau mulai tampak dalam pandangan mata. Sebuah pulau besar di angkasa, menghiasi langit yang berwarna merah kehitaman. Angin bertiup kencang disekitar pulau itu, seolah menampakkan keangkuhannya. Sementara dari jauh terlihat bangunan – bangunan bertingkat yang menggenggam langit menghiasi bagian tengah pulau.

[Ryax Island]

Satu dari tujuh pulau terkutuk yang dimiliki oleh sang penguasa Devasche Vadhi, Thurqk. Pulau yang telah diberi kekuatan untuk membuat siapapun yang menginjakkan kaki di atasnya dikuasai oleh harga diri dan keangkuhan yang luar biasa.

Terdiri dari gedung – gedung pencakar langit yang tersususun melingkar, membentuk sebuah perkotaan modern yang dilengkapi dengan berbagai macam teknologi tingkat tinggi. Terdapat berbagai macam ukuran gedung disini, akan tetapi yang paling mencolok adalah gedung pusat yang berada di tengah, berwarna hitam legam dengan lingkaran cahaya berwarna merah yang menunjukkan angka sepuluh di atasnya.

Pulau ini adalah arena permainan yang sengaja disiapkan oleh Thurqk untuk mereka yang dikirim ke Cachani Vadhi.

Dan sekarang, seluruh peserta permainan di pulau ini telah berkumpul. Para aktor dan aktris, yang sengaja dikumpulkan untuk menghibur sang dewa yang kebosanan.
Sementara sang dewa sedang duduk di singgasananya, menonton dari layar proyeksi yang telah disiapkan oleh seorang pesuruh berkacamata. Menikmati panggung bonekanya, yang telah ia atur sedemikian rupa.

Jauh di ujung barat pulau, terlihat seseorang sedang berbicara dengan salah satu Hvyt—bawahan sang "Tuhan". Orang itu berambut pirang, berjubah merah, dan memegang sebuah tongkat emas bertahtakan batu ruby bulat yang sepertinya mahal.

"Jadi, ini tempat apa?"

"Ini adalah pulau Ryax, tempat dimana anda akan menjalankan perintah yang mulia Thurqk. Biasa disebut juga sebagai The Island of Pride."

"Apa yang harus aku lakukan?"

"Mudah. Bunuh semua, klaim diri anda sebagai yang terkuat serta kuasai pulau ini, dan jangan sisakan satupun dalam sepuluh jam."

"Sudah? Hanya itu saja? Apa dewamu tidak punya peraturan lain selain bunuh semua? Membosankan sekali."

"Maaf tuan Ravelt, tapi yang apa yang diperintahkan oleh yang mulia Thurqk adalah mutlak."

Ravelt tertunduk lesu. Kemudian ia menarik nafas dalam – dalam dan menghembuskannya.

"Oke, baiklah. Setidaknya aku akan membuatnya tertawa terpingkal – pingkal di kursinya sebelum kepalanya terpisah dari badannya."

Hvyt terdiam. Kedua tangannya ia kepal seerat – eratnya, ingin mengahajar orang yang berani lancang terhadap tuannya.

"Saya hanya bisa mengantarkan anda sampai sini. Kalau anda ingin menyerah, cukup katakan saja, maka saya akan langsung datang. Tapi mungkin itu artinya mati di tangan yang mulia Thurqk. Semoga berkat yang mulia Thurqk bersama anda."

Kata – kata terakhir yang diucapkan oleh Hvyt sebelum akhirnya makhluk itu terbang menuju langit, membuat Ravelt tersenyum geli. Ia tak habis pikir, kalau dewa seperti itu yang memberinya berkat, apa jadinya dunia ini?

Ravelt menatap ke arah Timur. Tangan kirinya ia topangkan ke dagunya, sementara tangan kanannya memegang tongkat emasnya, sambil menyandarkannya pada tanah.

"Hmm....tadi dia bilang bunuh semua ya? Kurasa, aku akan bermain-main dulu. Lagipula tak ada yang bisa mengalahkanku."

Ravelt melangkah maju. Sebuah senyuman jahat khas dirinya menghiasi wajahnya. Dari sorot matanya yang tajam, tak tampak sedikitpun keraguan. Layaknya langkah seorang raja, ia melangkah maju kedepan dengan dada yang agak dibusungkan.

Dalam dirinya ia merasakan sesuatu yang aneh. Suatu bisikan misterius, sejak ia menginjakkan kakinya ke pulau ini. Bisikan – bisikan yang dihiraukannya. Bisikian yang ia rasa mampu ia tepis. Bisikan yang mengatakan bahwa ia adalah raja, dengan harga diri tertinggi.

Sekarang, biarkanlah tirai pertunjukan dibuka.
Dan pendulum takdir berputar.

—TO ACT I—

Act I

Emils's part

Ditengah gedung – gedung yang menjulang tinggi, terlihat sebuah benda melompat di antara bayangan kota. Benda itu bulat mengkilap, berwarna biru transparan yang agak menyilaukan.

Setelah dilihat lebih dekat ternyata benda itu adalah Emils, salah satu peserta dalam turnamen ini. Dari bentuk tubuh dan cara ia berjalan, dapat disimpulkan bahwa dia adalah Slime.

Ya, Slime. Makhluk terlemah yang biasanya ditemukan dalam permainan RPG, musuh pertama dengan hit point paling sedikit dan merupakan musuh yang tak akan pernah kau perhatikan begitu levelmu sudah diatas awan.

Emils sedang berjalan – jalan ditengah kota. Sudah lebih dari satu jam sejak pertama ia diturunkan oleh Hvyt—sang malaikat bersayap.

Dan alasan kenapa ia berjalan – jalan (dengan melompat, mungkin) ditengah kota adalah karena ia butuh air. Seluruh kemampuan bertarungnya terletak pada air, sehingga air merupakan kebutuhan vital baginya.

"Hm....dimana aku bisa menemukan air ditempat ini?"

Emils bergumam, sambil berjalan melompat – lompat dibawah bayangan gedung kota untuk menghindari deteksi musuh. Tapi ia tidak menyadari, sepasang mata sedang mengawasinya dari atas gedung.

Tak lama, Emils menemukan sebuah peta denah kota dalam layar hologram. Ia lalu memeriksa posisnya berada. Beruntung peta itu memiliki tanda keberadaan ia sekarang.

Dan ia menemukan lokasi yang ia cari.

"Jadi air mancur belok kanan, lalu kiri, kemudian—"

"Ice Spike"

Sebelum Emils menyelesaikan kata – katanya, sebuah suara terdengar dari atas dan disusul dengan sebuah pasak es berukuran raksasa.

PRAAANG!

Dengan instingnya yang tajam, Emils berhasil menghindari pasak es tersebut tepat pada waktunya, dan berguling ke kanan dengan tubuhnya yang bulat.

"Cih, meleset."

Emils melihat ke atas gedung, sumber serangan itu datang dan melihat bayangan seseorang disana.

"Sial, sudah ada orang lain rupanya."

Tanpa basa – basi, Emils melarikan diri. Tepat dibelakangnya, seorang peserta lain mengejarnya. Akan tetapi, Emils punya rencana lain.

[Slime Swordman]

Sebuah nama yang Emils dapat dari hasil kerja keras dan jerih payah dari waktu semasa ia masih hidup. Sebagai slime yang seharusnya makhluk terlemah, Ia berhasil menjadi seorang petarung dan ahli pedang sejati. Setelah mati dan mengikuti Battle of Realms-pun, kemampuannya dalam bermain pedang tidak bisa dianggap enteng.

Akan tetapi, dihadapannya sekarang adalah musuh terbesar setiap ahli pedang.

Pengguna Sihir

Emils sedikit menoleh kebelakang, memastikan orang yang mengejarnya. Seorang pengguna sihir wanita yang berpakaian mini berwarna biru muda, dengan masker dan rambut warna merah-biru berselang – seling.

"Kemari kau makhluk lendir hina! Akan kutunjukkan padamu, bahwa aku, Stella Sword sang Alexis Knight, adalah yang terkuat!"

"Lucu sekali. Julukanmu Knight tapi kau adalah Mage? Nenek tua, lain kali kau harus memikirkan job-mu sebelum memilih nama."

Emils berlari melompat. Bentuknya saat menjadi slime memang benar – benar tidak menguntungkan. Ditambah lagi, keinginan untuk menyerang musuhnya semakin kuat, dikarenakan harga dirinya terluka setiap ia mengambil langkah seribu. Di pulau Ryax ini, kehilangan harga diri sepertinya bukanlah pilihan yang bagus.

Sementara Stella mengangkat tangan kanannya sambil berlari mengejar Emils. Seketika itu pula di udara terbentuk beberapa anak panah yang terbuat dari es.

"Diamlah lendir! Terima ini! Ice Arrow!"

Belasan—atau mungkin puluhan anak panah es menghujani Emils yang sedang berlari. Tapi dengan kelihaiannya Emils berhasil menghindari setiap anak panah yang mengincar tubuhnya.

"Sial! Berhentilah menghindar!"

Stella berteriak, sambil terus mengejar Emils. Tapi Emils tetap tidak menghiraukannya. Yang ada dalam pikirannya sekarang adalah bagaimana cara membalas serangan.

Untuk itu, ia harus menemukan air terlebih dahulu. Tujuannya memancing Stella adalah agar ia dapat langsung menghabisinya begitu menemukan sumber air.

"Ketemu!"

Pelarian Emils berujung pada sebuah air mancur kota, yang di desain dengan bentuk seperti huruf "T" dengan warna merah kehitaman. Air mancur itu terlihat tidak menyala.

Tanpa pikir panjang, Emils langsung saja menceburkan dirinya kedalam air mancur yang memiliki persediaan air cukup banyak.

"Ice Explosion!"

Melihat Emils yang menceburkan diri ke dalam kolam air mancur, Stella mengayunkan tongkatnya dan menghujani tempat itu dengan bongkahan es selebar satu meter.

"Rasakan itu lendir hina! Sekarang, waktunya menghabisi yang lain dan menunjukkan siapa yang berkuasa disini."

Merasa Emils telah ia habisi, Stella membalikkan badannya kemudian menjauh dari tempat itu. Ia melangkah, seolah semua telah selesai.

Akan tetapi sayang, Emils ternyata masih hidup. Sebagai Slime, Emils kebal terhadap serangan fisik jenis apapun. Tidak diketahui oleh Stella, Emils melompat keluar dari kolam dengan wujud manusianya.

Saat jarak mereka hanya terpisah satu meter,

"Kau pikir slime tidak punya harga diri?"

Emils mengubah tangannya menjadi pedang dengan cepat, kemudian menghujam bagian jantung Stella. Semuanya terjadi begitu singkat, sampai – sampai Stella tidak sempat menoleh dan hanya menerima tikaman pedang Emils di jantungnya.

"Jadi kau masih hidup rupanya."

"!!!"

Menyadari ada sesuatu yang aneh, Emils segera melangkah mundur sejauh – jauhnya dari Stella. Benar saja, wanita didepannya tiba – tiba berubah menjadi asap dan mengincar Emils.

Emils meloncat ke belakang beberapa langkah, menghindari asap yang mengincarnya. Kemudian, asap itu kembali ke tempat dimana ia menusuk Stella tadi dan ajaibnya, Stella tidak terluka sama sekali.

"Serangan dari makhluk lendir sepertimu tidak akan melukaiku. Aku hanya bisa dilukai oleh angin."

Stella mulai mengangkat tangan kirinya dan membuat bola api besar—dan jumlahnya mencapai dua puluhan. Lalu ia melemparkannya ke arah Emils.

Namun Emils telah bersiap ditempatnya. Ia membuat sebuah balok es tipis yang berbentuk seperti dinding dan meregenerasi dinding itu menggunakan air yang ia hisap dari kolam setiap balok itu mencair.

"K-kau!"

Mata Stella terbelalak. Tidak ada satupun dari bola api yang ia lemparkan mengenai Emils.

"Bagaimana bisa? Bisa dibilang prinsipnya mirip termos."

Stella masih terpaku tidak percaya. Sihir hebatnya dipermainkan oleh makhluk yang bahkan bukan manusia.

"Kau sudah selesai? Sekarang giliranku."

Emils menghisap lebih banyak air dari kolam. Volume tubuhnya sekarang telah mencapai dua kali lipat dari sebelumnya dan sekarang ia melompat tinggi, bersiap untuk menghujam Stella dibawahnya.

Panik, Stella membentuk bongkahan es dan melemparkannya ke arah Emils yang sedang melayang di udara. Bongkahan itu mengenai telak tubuh Emils, membuatnya hancur menjadi tetesan – tetesan air yang menghujani badan Stella.

Stella bernafas lega, urat – urat syarafnya melemas dan ia menghela nafas. Tapi tiba – tiba sebuah tangan menyentuh punggungnya.

Dan itu adalah tangan Emils, yang intinya masih utuh.

"Selalu ada lebih dari satu cara untuk membunuhmu."

***

Stella's part

Stella membatu, sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan. Kemudian sebuah hawa dingin menyapu tubuhnya dari bagian punggungnya, menyebar ke seluruh tubuhnya secara perlahan. Seluruh air yang tadi membasahi tubuhnya sekarang membekukan badannya dan menghentikan pergerakannya.

"Jangan....."

Tubuh Stella menggigil dan tak bisa bergerak, akan tetapi ia masih bisa menggerakkan mulut dan lidahnya untuk berbicara.

"Main – main denganku!!"

Dengan kemampuannya, Stella mengubah dirinya menjadi api dan membakar daerah disekitarnya. Emils yang sedang berada di belakangnya ikut terkena api itu. Volume cairan tubuh Emils kini berkurang.

"Tch, tak bisakah kau diam? Merepotkan sekali."

Emils berlari menjauhi sumber api.

Stella kembali ke wujudnya yang semula, berdiri sambil menatap Emils dengan tajam. Kedua tangannya dikepal dengan erat. Sesekali ia menggeram kesal, akan tetapi karena masker yang menutup wajahnya tak dapat dilihat ekspresi wajahnya dengan jelas.

"Karena kau sedah mempermainkanku, terima balasannya."

Stella mengangkat tongkat sihirnya ke atas.

"Fair Dragon"

Apa yang keluar berikutnya membuat slime yang berada di depan Stella terkejut. Seekor naga keluar dari balik awan yang merah kehitaman, entah darimana datangnya. Naga itu kemudian menghampiri Stella dan membungkukkan badannya, mempersilahkan Stella untuk naik sebelum akhirnya terbang  rendah di atas Emils.

"Hahaha! Lihat! Sebagai hukuman karena sudah mempermainkanku, terimalah ini!"

Naga itu kemudian menyemburkan api dari mulutnya, mengincar Emils. Sementara yang diincar hanya bisa menghindar dan terus menghindar, agar volume tubuhnya tidak berkurang karena menguap.

"Lari! Larilah terus makhluk hina!"

Stella tersenyum puas. Target dibawahnya hanya bisa lari kocar – kacir menghindari serangan yang ia berikan. Sekarang ia benar – benar merasa yang terkuat, menginjak – injak harga diri lawannya.

Sementara Emils di bawah terus menghindari setiap nafas api yang dilancarkan naga milik Stella padanya. Emils terus berlari dan menghindar menuju kolam air mancur.
BLAAAARR!

Nafas api dikeluarkan oleh Fair Dragon Stella hampir mengenai Emils dan membuatnya terpental. Akan tetapi serangan itu datang bersamaan dengan keberuntungan. Emils terpental jauh dan langsung masuk ke dalam kolam.

Stella melihat Emils berdiri, bangkit dari kolam. Volume tubuh Emils kembali seperti semula. Makhluk biru dengan tubuh didepannya sekarang berdiri tegap menghadap Stella, seolah menantangnya.

"Aaaaargh! Kapan sih kau mati!"

Stella kembali memerintahkan naganya untuk menyemburkan nafas api lagi. Tapi Emils menahan api itu dengan menggunakan trik yang sama seperti saat ia menahan bola api tadi.

"Sial Sial Sial!"

Merasa dipermainkan, amarah Stella makin memuncak. Ia kemudian membuat bola api di tangan kirinya dan melancarkan serangannya bertubi – tubi. Ditambah dengan nafas api milik Fair Dragon, kini Emils menerima serangan mematikan yang dapat menguapkan seluruh tubuhnya.

Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Dinding es milik Emils tetap berdiri dengan kokoh menerima serangan bertubi – tubi itu. Stella terus melancarkan serangan – serangannya, sementara Emils terus memanipulasi air untuk tetap menjaga ketahanan dindingnya.

Disatu sisi, seorang pengguna sihir yang sedang menunggangi seekor naga dan mengendalikan api. Disisi lain, seorang slime yang sedang mempertahankan dirinya dengan menggunakan sihir es dan manipulasi air. Keduanya sama – sama kuat, sama – sama lihai dalam pertarungan.

Dan sekarang, yang bisa menjawab hasil akhir pertarungan mereka hanyalah waktu.

***

Act I Conclusion

Masih menerima serangan bertubi – tubi, Emils tetap tak bergeming. Ia sibuk memanipulasi air, membuat pertahanan melawan pengguna sihir di depannya. Perlu diakui musuhnya kali ini bukan orang sembarangan.

Akan tetapi, ada satu hal yang membuatnya gelisah.

Waktu

Emils sedang berpacu dengan waktu. Batas waktu penggunaan tubuh manusianya adalah sepuluh menit, dan sekarang sudah lebih dari delapan menit. Dengan kata lain, waktu yang tersisa untuk menyelesaikan pertarungan ini kurang dari dua menit.

Aku harus cepat. Kalau tidak maka aku yang akan kalah.

Emils terus menunggu sebuah kesempatan emas yang tak boleh ia lewatkan. Rupanya selain membuat dinding es, dari tadi ia juga menghitung dan memperkirakan pola serangan Stella. Emils menyadari ada saat dimana Stella menghentikan serangannya, untuk menciptakan bola – bola api lagi.

Dan jika perhitungannya tidak salah, maka celah itu akan datang saat

"Sekarang!"

Emils meloncat kesamping kanan dindingnya, ditambah dengan gerakan berguling. Benar saja, serangan Stella terhenti.

Emils kemudian menerjang maju ke arah Stella yang masih berada di atas naganya. Tangan kanannya telah berganti bentuk menjadi sebuah pedang. Beruntung baginya, naga itu sedang terbang rendah dan jarak dari daratan ke atas punggung naga dapat dicapai dengan sebuah loncatan.

"Apa!?"

Stella yang terkejut dengan segera melemparkan bola apinya ke arah Emils, meskipun tidak sebanyak yang tadi. Lima buah bola api berukuran sedang mengincar Emils yang sedang berlari lurus ke arah Stella.

Emils melihat bola api di depannya. Ia sudah tidak punya cukup waktu dan air untuk membuat dinding es seperti tadi. Satu – satunya cara yang tersisa adalah menghindar.

Berbekal refleks setara manusia dan kelenturan tubuh ala slime, Emils menghindari bola api yang mengincar dirinya.

Bola api pertama, Emils menekkukkan kedua lututnya dan menyejajarkan tubuhnya dengan pinggang dengan posisi kepala dibelakang. Bola api kedua, Emils bangkit dari posisinya dan melompatinya. Ketiga, meleset jauh. Emils tak perlu memikirkannya. Keempat, Emils hanya sedikit memiringkan badannya. Kelima, Emils meloncat dan bersalto di udara.

Bak jagoan di film –film, Emils menghindari kelima bola api Stella dengan lihai. Sementara pemilik serangan hanya bisa menggerutu di atas punggung naganya.

Emils kembali berlari. Jarak antara ia dengan Stella kini hanya terpaut dua meter. Emils yakin, ia dapat menutupi jarak itu dengan sekali lompatan.

Emils lalu melompat, dengan pedang terhunus ke arah Stella.

Setengah meter.

Namun secara tiba – tiba naga milik Stella mengepakkan sayapnya dan terbang lebih tinggi. Emils yang meloncat tidak dapat sampai ke tempat Stella. Tubuhnya kehilangan momentum dan mulai turun.

Malang baginya, sebab sekarang Emils berada tepat di depan mulut naga, yang sedang bersiap untuk menyemburkan nafas apinya.

Aku akan mati disini?

Di pikiran Emils muncul sebuah pertanyaan.

Aku tidak boleh mati.

Dalam sekejap, Emils mendapatkan sebuah ide brilian. Ide yang ia dapatkan karena kegigihannya untuk bertahan hidup.

Untuk dapat lepas dari situasi ini, ia terpaksa harus membuang volume tubuhnya. Ia mulai membuat sebuah pusaran air dikakinya, menjadikannya sebuah jet air untuk mendapatkan dorongan ke atas.

Tepat saat naga itu menyemburkan nafas apinya, Emils telah berada diluar jangkauan api, melompat ke arah Stella yang masih menunggangi naganya.

Sementara Stella sedang menunggangi naganya tanpa persiapan sama sekali, harus dikejutkan dengan kedatangan Emils yang tiba – tiba dengan pedang terhunus ke arahnya.

Emils melesat maju ke arah Stella. Dari yang ia saksikan sebelumnya, gadis pengguna sihir di depannya ini dapat berubah wujud menjadi asap maupun api sehingga kebal dengan berbagai macam serangan fisik.

Hanya ada satu cara yang dapat Emils lakukan dengan kemampuannya yang sekarang. Ia harus membekukan gadis ini, menggunakan air dari volume tubuhnya.
Emils meraih Stella dengan tangan kirinya, membekukan tubuh bagian atas gadis itu sekaligus dengan air yang membentuk tangannya. Di tangan kanannya sebuah pedang air bertekanan tinggi menghunus. Emils mengincar jantung gadis itu. Ia berniat untuk menyelesaikan ini dalam sekali serangan.

Tiba – tiba Emils tersentak. Saking inginnya ia menghabisi lawannya, ia tidak menyadari bahwa dari tadi gerakannya melambat. Sebuah pertanda bahwa waktu penggunaan tubuh manusianya sudah habis.

Emils mendadak kembali ke wujudnya semula. Wujud sejati slime yang lemah. Pedang air yang ia hunuskan tak pernah menembus jantung Stella. Jangankan menembus jantung musuhnya, pedang itu sampai ke lapisan es yang ia sengaja buat saja belum. Dan ia sekarang tergeletak tak berdaya di hadapan gadis yang  ingin ia bunuh.

Stella sekarang berdiri di depan Emils—dalam wujud bola biru—yang tergeletak begitu saja di atas naganya. Es yang tadi meliputi seluruh tubuhnya telah meleleh seluruhnya, dan sekarang ia bebas bergerak.

Sang Alexis Knight mencabut tongkatnya yang diletakkan di bagian punggungnya, dan mengarahkan ujung tongkatnya yang tajam ke makhluk lendir biru di depannya.
Ia menarik maskernya ke bawah, kemudian tersenyum lebar bagai anak kecil yang mendapat boneka yang ia inginkan.

"Kau mengejutkanku. Tapi sayang sekali, kau akan mati sekarang juga."

Emils tetap tak bergeming. Ia sudah tak bisa lagi mengendalikan cairan tubuhnya untuk bergerak dikarenakan efek samping penggunaan manipulasi tubuh cair yang berlebihan. Sekarang ia hanya bisa pasrah, sambil dalam hati menggerutu karena keburu nafsu membunuh lawannya dan malah berakhir dengan kondisi yang mengenaskan.

 "Sekarang matilah!"

Stella mengayunkan lengannya, menghujam Emils dengan tongkat sihirnya.

Tapi,

Tepat saat hal itu terjadi, gedung disampingnya tiba – tiba meledak secara misterius. Stella pun terkena imbasnya. Ia dan naganya terjatuh kebawah, sementara Emils terlempar jauh entah kemana.

Beberapa saat kemudian, Stella bangkit dari reruntuhan gedung yang hancur berantakan. Alasan kenapa ia masih hidup setelah ditimpa reruntuhan tampaknya dikarenakan seekor naga api melindunginya.

Ia bangkit dan berdiri, kemudian melihat keadaan sekitarnya.

Kacau balau. Hanya itu kata yang tepat untuk mendeskripsikan keadaannya sekarang. Kemudian ia segera bergerak, sepertinya mencari – cari sesuatu.

Sepuluh menit memeriksa reruntuhan, gadis itu terlihat sangat kecewa. Kemudian ia mengadahkan kepalanya ke langit dan berteriak.

"DIMANA KAU MAKHLUK LENDIR SIALAN!!!"

—TO ACT II—

Act II      

Carol's part

Seorang gadis muda berambut karamel berdiri di atas sebuah gedung tinggi, di bagian utara kota. Ia memakai baju kemeja putih lengan panjang dengan rompi berwarna hitam yang berhias pita merah di kerahnya. Tak lupa rok mini berwarna hitam dengan stocking sepanjang paha. Di tangan kanannya terdapat sebuah buku yang agak usang dan cukup tebal, yang sepertinya butuh waktu berhari – hari untuk membacanya. Sementara di pinggangnya terdapat sebuah syal, dengan holster untuk senjata api. Untuk wajah, ia cukup manis dengan iris berwarna biru yang menghiasi matanya.

Seandainya karakter utama kita—sang raja mesum pastinya—bertemu dengan gadis ini, pasti dia akan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama dan mengatakan
"Maukah kau menjadi koleksiku?"

Kembali ke gadis tadi. Namanya adalah Carol Lidell, seorang pustakawan. Dan alasan kenapa dia disini adalah karena ia salah satu peserta permainan berdarah yang di adakan oleh sang penguasa Devasche Vadhi, Thurqk.

"Huff...."

Carol menghela nafas. Sudah lebih dari dua jam ia diturunkan oleh Hvyt ke pulau misterius ini.  Dan sampai saat ini, belum satupun peserta lain yang ia temui.

"Aaaah..... kemana semua orang? Kalau seperti ini terus, batas waktu akan segera habis."

Ditengah semilir angin yang berhembus, Carol melamun. Ia bernostalgia tentang masa – masa dimana ia masih dalam pelatihan untuk menjadi anggota pustakawan di [Library of Fate], sebuah perpustakaan yang terletak di suatu dimensi lain, tempat dimana seluruh buku yang berisi berbagai macam ilmu pengetahuan ada disana.

Carol kemudian mengalihkan pandangannya ke daerah sekitarnya. Hanya terlihat gedung yang tinggi menjulang sejauh mata memandang. Gedung – gedung yang sebagian besar berwarna hitam pekat, dengan langit yang berwarna merah kehitaman.

Warna yang membosankan

"Ng?"

Sejenak kemudian, pandangan Carol teralih ke sebuah pemandangan yang mengejutkan. Tak jauh dari tempatnya berada, ia melihat sebuah gedung meledak hingga hancur berkeping – keping.

"Hoho, ada yang sedang memanas rupanya."

Tangan Carol bergerak, seolah mengambil sesuatu dari ruang kosong.

Tiba – tiba, sebuah buku muncul entah dari mana dan langsung berada di tangan Carol. Sebuah buku tebal dengan sampul berwarna merah.

"Waktuku telah tiba."

Carol melompat dari gedung itu. Kalau ada orang biasa yang melihatnya, pasti akan ada teriakan histeris. Sebab melihat seorang gadis muda yang meloncat dari ketinggian gedung enam belas lantai memang sangat memicu adrenalin.

Tapi Carol tetap tenang. Ia membuka buku itu dan membacanya dengan suara lantang.

"O the great bird of Garuda, come and heed my call."

Begitu Carol selesai membaca kalimat terakhir, sebuah burung besar muncul tepat dibawahnya dan kemudian terbang menuju tempat dimana ledakan gedung tadi terjadi.

***

Luna's part

Namanya adalah Luna Aracellia. Umur empat belas tahun. ia memakai sebuah kemeja putih, jaket kasual berwarna hitam, dan rok berwarna hitam. Bekerja sebagai seorang freelance assassin—atau kalau – kalau kau tidak tahu, sebut saja dia pembunuh bayaran.

Luna sedang mengamati targetnya, seorang wanita berambut biru merah selang – seling yang bernama Stella Sword dan sedang mengendarai seekor naga. Ia bersiap untuk menghabisinya dalam satu kali tembakan dari jarak satu setengah kilometer, dari atap sebuah gedung.

Ya, dia sedang menggunakan sniper. Sebuah senjata laras panjang yang biasa digunakan untuk menghabisi target atau lawan dari jarak yang sangat jauh.

Dan Luna sudah terlatih menggunakannya.

Sebenarnya ini semua biasa saja. Pemandangan seorang assassin yang sedang mengintai mangsanya, dari jarak yang tidak bisa dijangkau oleh orang awam. Menunggu mangsanya lemah, kemudian menyergapnya dengan satu kali tarikan pelatuk.

Hal yang mungkin dirasa spesial disini adalah:

Satu, assassin itu masih berumur empat belas tahun.

Dua, ini bukan di bumi.

Tiga, sniper itu baru saja ia pungut dari tempat ini, beserta beberapa perlengkapan lainnya.

Sesaat kemudian, Luna menyadari bahwa targetnya lengah. Sebuah kesempatan bagus untuk mengeksekusinya.

Satu tarikan. Hanya itu yang Luna butuhkan untuk menghabisi targetnya. Kemampuannya dalam mengeksekusi targetnya dengan menggunakan sniper sudah tidak bisa dipertanyakan lagi. Rasio ia mengenai targetnya mencapai di atas sembilan puluh persen.

Peluru yang keluar dari selongsong senjatanya melesat lurus menuju kepala Stella.

Tapi sebelum sampai disana, peluru itu harus melewati sebuah kaca bangunan. Sasarannya ada di ujung lain bangunan, namun Luna yakin peluru itu dapat menembusnya.

Begitu peluru itu mengenai kaca, yang terjadi bukanlah seperti yang Luna harapkan. Peluru itu meledak, menghancurkan gedung yang berada di sebelah targetnya.

Luna hanya termangu ditempatnya.

"Ah."

"Aku meleset."

Kepalanya tertunduk. Salahnya, karena tidak terlalu memperhatikan label peringatan di tempat ia mengambil stok peluru tadi. Di kotak itu tertulis:

WARNING: EXPLOSIVE

Mulanya Luna mengira yang dimaksud adalah peluru – peluru ini mudah meledak, wajar untuk sebuah kotak peluru. Tapi sayangnya, yang dimaksud meledak adalah peluru  – peluru itu "meledakkan" targetnya.

Sebenarnya Luna masih memiliki dua magazine—kotak peluru—berisi peluru sniper biasa, yang cocok untuk sniper Dragunov berwarna hitam berkaliber besar yang baru saja ia ambil. Tapi apalah daya nasi sudah menjadi bubur, kesempatan emas itu hilang begitu saja. Targetnya sudah menghilang dari pandangannya, menuju ke tempat yang tak diketahui rimbanya.

Sekarang Luna memasang sebuah magazine baru dan mencari target lain, berharap kesalahan bodohnya tak pernah ia ulangi lagi.

Tepat saat itu, seorang gadis berambut karamel tiba disampingnya dengaan menunggangi seekor burung elang raksasa.

"Apa – apaan ini? Tadi ada orang menunggang naga dan sekarang datang penunggang elang? Memangnya ini sebuah setting untuk sinetron murahan? Ah, si merah arogan itu memang tahu caranya membuat hiburan."

Luna menutup mulutnya dan menahan tawanya.

"Apa!? Kau bilang Garuda-ku ini setting untuk sinetron murahan? Hei bocah tak tahu diri, sebaiknya tutup mulutmu dan berlututlah dihadapanku!" Gadis berambut karamel itu membalas perkataannya.

"Hah? Bocah? Kau tidak pernah melihat kaca ya?"

"Diam! Pokoknya aku, Carol Lidell adalah orang yang paling kuat dan berpengetahuan paling tinggi disini!"

"Kenapa kita tidak membuktikannya?"

"Cerewet! Akan kubuat kau benar – benar berlutut!"

Garuda milik Carol maju dan menerjang Luna, sementara Carol sendiri melompat turun dari burungnya.

Garuda menyerang Luna, akan tetapi ia masih dapat menghindar.

Dengan segera, Luna mengganti kotak peluru yang baru saja ia pasang dengan yang lain, juga melepaskan laras Dragunov sniper miliknya dan menggantinya dengan ujung yang lain. Luna mengarahkannya ke arah Garuda yang sedang menukik untuk menyerangnya kedua kali, dengan satu tangan.

Carol tertawa melihat kebodohan musuh didepannya.

"Haha, kau tidak akan bisa menggunakan sniper dalam posisi seperti itu!"

Luna tetap membidik burung besar di depannya. Begitu dirasanya burung itu cukup dekat, Luna menarik pelatuknya dan yang keluar bukanlah peluru biasa melainkan laser—cahaya bersuhu tinggi yang dipadatkan.

Garuda musnah dalam sekali tembak. Laser yang ditembakkan Luna mengenai telak bagian kepalanya dan tembus hingga ke bagian ekornya, menghabisi burung berukuran abnormal itu dan membakarnya hingga hangus tak bersisa.

Luna menoleh ke Carol yang berada dibelakangnya.

"Sekarang giliranmu gadis kecil."

"Kau!"

Tanpa basa – basi, keduanya—Carol dan Luna—saling bertukar tembakan. Carol dengan pistol Glock miliknya, Luna dengan senjata futuristik multifungsi yang ia temukan.

Mereka berlari, menghindar, melompat dari atap gedung satu ke atap gedung lainnya, dan saling membalas serangan.

Luna semakin unggul. Senjata miliknya memang jauh lebih modern dibandingkan milik gadis di depannya, yang hanya menggunakan sebuah pistol.

Langkah mereka berdua akhirnya terhenti oleh jarak antar gedung yang tiba – tiba menjadi lebar, dipisahkan oleh sebuah jalan raya besar.

"Menyerahlah. Kau sudah terpojok." kata Luna sambil mengarahkan moncong senjatanya ke arah Carol.

"Cih! Mana mau aku menyerah disini."

Luna menekan pelatuknya, namun Carol dengan sigap menghindar dan menjatuhkan diri (lagi?) dari atas gedung. Luna segera berlari mengejar Carol, namun semuanya terlambat.

"Hei! Kau sudah gila—"

Mendadak Luna dikejutkan oleh elang emas yang melesat dari bawah. Di punggungnya terdapat Carol.

"Hahaha! Sambutlah Aquilla-ku! Sekarang coba kejar kalau kau bisa!"

"Oh, kau menantangku ya?"

Luna mengeluarkan bola sebesar kelereng dari dalam sakunya yang ia dapatkan dari pulau ini sebagai perlengkapan barunya, kemudian melemparnya kedepan.

Dalam sekejap, bola itu berubah menjadi sebuah jet ski yang biasa dipakai di air, namun dengan tambahan roket. Luna langsung menggantungkan senapannya di punggungnya dan menaiki jet itu.

"Tunggu aku gadis jelek!"

Luna langsung menggas kendaraan miliknya, sementara Carol terbang semakin jauh dengan Aquilla-nya.

Dan aksi akrobatik mereka di angkasa telah dimulai.

***

Nema's part

Nemaphila sedang bersantai di taman kota, satu – satunya tempat yang memiliki pohon. Ia benar – benar sangat menikmati keadaaanya sekarang.

Pertama kali ia diturunkan oleh Hvyt di pulau ini, Nema serasa ingin muntah. Ia diturunkan oleh Hvyt di tempat yang sangat penuh dengan gedung – gedung pencakar langit dimana tak sebatang pohonpun ia temukan. Marah, kesal, bercampur dengan perasaan jijik berkecamuk dalam dirinya, melihat tempat yang sudah tak memiliki pesona alam sedikitpun.

Untungnya setelah beberapa jam berkeliling dengan sangat hati – hati, Nema menemukan sebuah taman kota yang kelihatan masih asri. Perasaan gembiranya seperti menemukan sebuah oase di tengah padang pasir.

Nema langsung saja membuat taman itu sebagai rumahnya, membuat satu – satunya pohon di tengah taman membesar dan memiliki sulur – sulur yang panjang. Semua ini ia lakukan dikarenakan kecintaannya pada alam dan kebenciannya pada manusia.

Tak perlu di ucapakan sebesar apa kecintaannya atau kebenciannya, yang jelas Nema telah membuat daerah di sekitar taman itu—dalam radius dua kilometer menjadi penuh dengan sulur berduri dan ditumbuhi lumut. Kota yang tadinya penuh dengan desain – desain futuristik yang aneh dan tanda – tanda dipinggir jalan dalam bentuk hologram telah berganti menjadi sebuah kota tua yang dipenuhi dengan sulur – sulur berduri dan akar – akar tanaman.

Dalam pikirannya, sebelum ia menghabisi semua peserta, ia harus menghabisi kota di pulau ini terlebih dahulu. Dengan kata lain, ia harus menguasainya.

Tak lama, Nema mendengar suara seperti suara sebuah pertarungan. Nema mencari sumber suara itu berasal dengan mendengarkan secara lebih seksama.

Di atas

Begitu Nema menyadari sumber suara itu dan menengadahkan kepalanya ke atas, belasan bola api dan sinar laser menghujani taman kesayangannya.

"Apa!?"

Nema menggeram kesal. Dua manusia sedang melewati teritori pribadinya dan merusaknya. Penghancuran alam adalah sebuah perbuatan yang tak bisa ia maafkan. Segera Nema mengirimkan sulurnya untuk menangkap kedua manusia yang telah berbuat lancang dihadapannya.

Kena.

Sulur dan akar tanamannya mengenai keduanya, mengikat mereka dengan erat kemudian membawa mereka berdua ke hadapan Nema.

"Kalian manusia rendahan beraninya merusak tamanku hah!? Lancang sekali!" kata Nema sambil berdiri di depan pohon di tengah taman.

Nema berteriak sambil memperhatikan keduanya. Satu, gadis berambut putih yang terikat bersama dengan sebuah jet ski dan yang satunya gadis berambut karamel, terikat di dekat seekor burung raksasa.

"Memangnya kau siapa, sampai – sampai mengaku bahwa tempat ini milikmu?" gadis berambut putih membalas perkataannya.

"Diam! Aku yang memiliki kuasa disini." Nema berjalan mendekat ke arah gadis bermbut putih itu, yang masih terikat di sulurnya.

Tapi seperti tanpa rasa takut, gadis itu malah balas menatapnya dengan tajam. Nema merasa direndahkan.

"Hoho, aku tahu hukuman yang pantas untuk kalian berdua. Mati perlahan."

"Lepaskan! Aku tak punya waktu untuk meladeni permainan penguasa kecil – kecilanmu itu!" kali ini si gadis berambut karamel yang angkat bicara.

"Tutup mulutmu bocah! Dan berhentilah meronta, percuma! Sulur itu akan meremukkan tubuh kalian dan menghancurkan setiap tulang – tulang kalian! Ditambah lagi..."

Nema melemparkan benih Dandelion miliknya. Dua tumbuh di gadis rambut karamel dan tiga tumbuh di gadis berambut putih disebelahnya.

"Bunga itu akan menghisap energi kehidupan kalian secara perlahan, jadi nikmatilah."

Nema berbalik, kembali ke tempatnya di atas dahan pohon besar. Sebuah senyuman sinis menghiasi wajahnya. Yah, dia memang sangat menikmati menyiksa manusia.

Saat Nema telah sampai ke tempatnya, ia sudah berelaksasi, menikmati alunan merdu suara rintihan kesakitan kedua korbannya dengan keangkuhan seorang ratu sejati.

***

Act II Conclusion

"Ughh.....Ca..Carol...?" Luna memanggil gadis berambut karamel di sebelahnya yang sama – sama berada dalam keadaan terikat.

"Berisik! Keadaanku sedang kritis dan kau mengajak bicara? Benar – benar kau i—Arrrgghhh!"

Jeratan sulur dan akar tanaman Nema mulai meremukkan tulang Carol. Sementara bunga dandelion yang tumbuh di permukaan tubuhnya menghisap energinya secara perlahan, meraup Carol dari kesadaranya. Ia harus segera keluar dari sini.

Tapi bagaimana?

Situasi Carol sekarang seperti diujung tanduk. Sulur – sulur yang mengikatnya membuat seluruh tubuhnya remuk redam, hingga hampir – hampir tidak bisa menggerakkan seujung jaripun. Bunga dandelion yang tertancap padanya cepat atau lambat akan menghabisi nyawanya.

Tak lama, keputus asaan menghampiri Carol. Sudah tak ada gunanya lagi ia berjuang. Kematian sudah ada di depan mata. Jika ia kalah dari pertempuran ini, nasibnya akan sama seperti sebelas orang yang dibantai habis – habisan oleh sang dewa merah.

Carol pasrah kepada nasib buruknya, lagipula ia sudah bernasib buruk dari awal. Dimulai dari terpisah dari orang tua kandung, dimasukkan ke panti asuhan illegal dimana ia sering dipukuli, mati dalam tugas pertama saat menjadi pustakawan, sampai menjadi suruhan hina seorang dewa yang mengadakan sebuah pertarungan sampai mati demi kesenangan sementara.

Carol menundukkan kepalanya. Apapun yang terjadi setelah ini, ia terima dengan lapang dada.

Kemudian ia menyadari sesuatu jatuh dari kantungnya. Sebuah gulungan kecil kertas.

Kertas apa?

Gulungan kertas itu terjatuh tak jauh dari tempatnya, kemudian terbuka perlahan. Carol memperhatikannya dengan seksama.

"Itu.."

Puisi yang ia buat. Sebagai seorang penikmat buku, wajar kalau terkadang Carol memiliki keinginan untuk menulis. Apapun ia tulis, selama inspirasi masih memenuhi pikiran kecilnya.

Carol menyeringai. Puisi buatannya sendiri itu baginya adalah jawaban untuk keluar dari jerat – jerat sulur ini.

"Haaaa.."

Perlahan udara masuk kedalam mulut Carol, memenuhi rongga dadanya. Carol bersiap untuk membaca puisi buatannya.

"Metal enriches water
Water nourishes wood
Wood feeds fire
The great land covered in roots, vanish."

Sebuah percikan api muncul di dekat kakinya dan perlahan semakin membesar, membakar sulur tanaman yang mengikatnya juga benda – benda disekitarnya. Luna yang terikatpun terbebas dari jeratan yang menyiksanya. Sedangkan bunga yang tadinya tumbuh di tubuh mereka berdua ikut terbakar. Tak luput darinya juga Aquilla milik Carol yang baru saja dipanggil lewat buku.

[Golden Tongue]

Kemampuan khusus Carol untuk merealisasikan apapun yang ia baca. Yang barusan adalah mengubah sebuah situasi fiksi menjadi kenyataan. Kemampuan yang hampir setara dengan dewa yang menciptakan.

Tapi sayangnya, dimana ada kekuatan pasti ada kelemahan. Situasi yang diciptakan oleh kemampuan [Golden Tongue] memiliki durasi terbatas.

Hanya sepuluh menit. Batas dari efek [Golden Tongue]. Setelah itu, semuanya akan kembali seperti biasa. Tapi waktu sepuluh menit bagi Carol sudah cukup untuk menggilas lawan yang telah meremehkan kemampuannya.

Begitu Nema menyadari hal yang sedang terjadi, segalanya telah terlambat. Tamannya kini menjadi lautan api yang merah membara, hanya tersisa sedikit darinya yang masih dapat dikatakan sebagai "taman".

"Manusia kurang ajar!! Beraninya....beraninya kalian membakar semua!"

Kemarahan Nema yang membara membuatnya buta sasaran. Bagi para Viridian yang merupakan ras pecinta alam, keberadaan tanaman sudah seperti keluarga sendiri. Siapa yang berhasil merawat alam sebaik – baiknya dapat dikatakan sebagai teladan bagi yang lain, sehingga wajar kalau dikatakan bahwa harga diri mereka terletak pada alam dan tanaman.

Namun apa yang ada di depan mata Nema adalah seluruh harga dirinya sedang dibakar. Ia mengamuk dan mulai menyebarkan benihnya ke segala arah.

Segala serangan yang Nema lancarkan secara membabi buta dapat dengan mudah dihindari oleh Carol. Apalagi asap hasil pembakaran yang mengenai Nema membuatnya kehilangan kekuatan. Kelemahannya adalah asap.

Saat Carol sedang menghindari setiap serangan yang Nema lancarkan, kakinya tersandung dan ia terjatuh. Sekarang Carol menjadi sebuah sasaran empuk.

"Haha! Matilah!"

Di tangan kanan Nema terdapat segenggam benih yang berisi baby blue dan dandelion. Bunga yang akan menghancurkan lawannya menjadi serpihan tanah sambil menyerap energinya secara perlahan sekaligus.

Nema mengayunkan tangannya, melempar benih itu ke arah Carol yang baru saja terjatuh. Tapi ada yang aneh. Mendadak tangan kanannya mati rasa, disusul dengan rasa perih yang amat sangat.

Usut punya usut, ternyata tangannya telah tertembus oleh sebuah peluru yang ditembakkan oleh Luna yang berada di belakang Carol dengan sebuah sniper berkaliber besar.

Benih – benih yang tadinya berada dalam genggaman tangannya kini tersebar, tidak mencapai Carol dan malah tumbuh di sekujur tubuhnya. Sekarang seluruh tubuhnya sebagian besar dipenuhi oleh baby blue, membuat tubuhnya perlahan – lahan menjadi tanah.

Nema ambruk seketika, dengan keadaan yang mengenaskan.

Carol bangkit, berjalan ke arah Nema dan meletakkan kakinya di atas kepala Nema.

"Hah! Makhluk primitif sepertimu sudah ditakdirkan untuk takluk di depan ilmu pengetahuan."

"Ja-jangan...."

Nema menatap sol sepatu Carol. Seluruh energinya sudah terkuras habis. Selain karena baby blue yang mengubah tubuhnya menjadi tumpukan tanah, Nema sudah terlalu banyak terkena asap.

"Tenanglah, kau hanya akan mencicipi sedikit 'neraka'. Selain itu, semuanya akan baik baik saja."

Carol menarik buku lain dari ruang hampa.

"May this unpure body blessed by the wrath of divine flames, turning them into a pure charcoal."

"Tidaaaaaaakkk!!!"

Dengan cepat, api menyelimuti tubuh Nema. Seluruh tubuhnya hangus terbakar dilalap si jago merah. Sebuah akhir yang mengenaskan untuk seorang pecinta alam.

Beberapa menit kemudian, api telah padam. Bagian yang tadinya menjadi lautan api seakan – akan disulap kembali menjadi bentuknya seperti sediakala—gedung – gedung tinggi pencakar langit yang berwarna hitam pekat.

Dua orang gadis terlihat sedang berteriak antara satu sama lain, di tengah – tengah kompleks gedung megapolitan.

"Hah? Tadi aku yang membantumu, kalau tidak kau sudah lenyap dari pulau ini sekarang."

"Siapa suruh? Aku kan tidak pernah minta bantuanmu. Lagipula aku, Carol Lidell adalah orang yang paling berkompeten disini jadi diamlah!"

"AAAAH!! MENYEBALKAN! KAU BENAR – BENAR TIDAK BISA MENJAGA MULUTMU YA ANAK KECIL!!"

"APA! KATAKAN ITU SEKALI LAGI!"

Hati memanas. Urat – urat menegang. Luna mengarahkan moncong senjatanya pada Carol sementara Carol sendiri sudah menarik buku baru dan sekarang berada di tangannya.

Saat adu otot di antara mereka sudah terlihat seperti tak terelakkan,

"Hentikan."

"Eh?"

Luna menurunkan senapannya. Carol masih terpaku ditempatnya.

"Aku benci mengatakan ini, tapi bagaimana kalau kita tunda dulu pertarungan kita."

"Apa maksudmu?"

"Maksudku adalah—kita menunda pertarungan kita dan sebaiknya menghabisi peserta lainnya terlebih dahulu."

"Atas dasar apa kau berkata begitu?"

"Barusan."

Carol mengingat – ingat kejadian barusan. Barusan dimana dia hampir saja mati kalau seandainya dewi fortuna tidak berpihak padanya.

"Baiklah, tapi dengan satu syarat. Yang paling banyak membunuh maka dia yang menang, baru setelah itu kita bertarung sampai salah satu dari kita mati."

"Diterima." Luna mengiyakan syarat dari Carol.

Kemudian mereka berjalan bersama, menuju bagian tengah pulau.

—TO FINAL ACT—

Final Act

Ravelt's part

Gedung tengah pulau Ryax.

Sebuah gedung yang terletak di pusat pulau, sekaligus yang tertinggi di antara gedung – gedung lainnya. Memeberikan sebuah kesan kemegahan dan keagungan bagi siapapun yang memandangnya.

Diatasnya terdapat sebuah lingkaran merah dari hasil proyeksi alat hologram yang terletak di puncak gedung, menampilkan susunan angka – angka yang merupakan sisa waktu dari pertandingan ronde ini.

[06:23:25]

Layaknya sebuah bom waktu, angka – angka itu terus bergerak mundur, menandakan bahwa sisa waktu yang ada semakin sedikit.

Kembali ke gedung tadi.

Sekarang, kondisi bagian dalam bangunan berlantai seratus itu sudah porak – poranda. Mulai dari pintu lantai satu yang hancur berantakan, bagian – bagian tubuh robot penjaga yang berserakan, bagian kaca gedung yang hancur lebur hingga lima puluh lantai, dan beberapa lantai yang sudah rubuh—membuat beberapa tingkat menjadi satu.

Kemegahan yang tadinya terlihat dari gedung itu, sekarang tak menampakkan dirinya lagi.

Dan semua ini karena perbuatan satu orang.

"Aaaah, merepotkan sekali tempat ini."

Ravelt sedang menggerutu di dalam lift yang berjalan dari lantai ke sembilan puluh sembilan menuju lantai seratus. Seluruh daya listrik di gedung itu telah mati. Beruntung ia sedang dalam kondisi Divine Access dan lift ini dapat digerakkan secara manual selama memiliki energi, sehingga sekarang ia dapat menjalankan lift ini menuju lantai terakhir dengan menggunakan listrik yang ia hasilkan.

Tak perlu diperjelas bahwa mulai dari halaman depan gedung sampai lantai sembilan puluh sembilan sudah dihancurkan olehnya. Sebagai catatan, ia bahkan menghancurkan pintu masuk menggunakan robot pribadinya hanya untuk membuat kedatangannya terlihat "keren".

Ting

Bel lift berbunyi, menandakan bahwa ia telah sampai di tujuannya. Pintu otomatis lift terbuka, kemudian Ravelt melangkah keluar dari kotak kecil yang telah membawanya kesini.

"Hmm?"

Ravelt menyadari bahwa ada yang berbeda dari lantai ini.

Tidak sebagaimana lantai – lantai sebelumnya, di lantai ini tidak terdapat sistem keamanan apapun seperti kamera pengawas, puluhan android yang menunggu dengan senjata mengarah tepat ke wajah, sinar laser yang akan menghanguskan badan jika tersentuh, dan sensor yang mendeteksi keberadaan penyusup lalu mengaktifkan berbagai macam senjata yang siap membunuh target.

Malahan, di lantai ini terdapat sebuah ruangan besar yang hampir tidak terdapat satu bendapun, kecuali sebuah singgasana yang hanya bisa dicapai oleh tangga.

Ravelt mempercepat langkahnya menuju singgasana itu dengan tanpa keraguan sedikitpun. Tidak takun akan kemungkinan jebakan yang mungkin berada disana.

Saat Ravelt tiba di bagian terbawah anak tangga yang menuju singgasana, sebuah hal aneh terjadi. Langkahnya dihalangi oleh sebuah dinding tak terlihat. Sementara bayangan – bayangan bergerak, membentuk sesuatu dibelakang tubuhnya.

"Lucifer." Ravelt memanggil sebuah nama perlahan.

"Hebat. Bagaimana kau bisa tahu kalau itu aku?" bayangan di belakangnya menjawab dengan suara berat.

"Menyadari keberadaanmu semudah mencari ayam hitam di siang bolong. Lagipula, kenapa kau bisa berada disini? Bukankah seharusnya kau sudah mati?"

"Mati? Memangnya kau pikir siapa yang memberimu kekuatan untuk mengakses Dark Power-mu? Kalau aku benar – benar mati, kau tidak akan bisa menang melawan musuh – musuhmu selama ini."

Ravelt menghela nafasnya.

"Oke, urusan matimu bisa dibahas belakangan. Sekarang jawab aku, kenapa kau di tempat ini?"

"Kau ingin tahu?" bayangan itu membentuk mulut yang kemudian menyeringai.

"Jawab aku!" Ravelt berbalik, menatap bayangan itu dengan tatapan tajam yang seakan – akan menembus jiwa.

"Hahaha, selalu memaksa orang yang tidak mendengarkanmu dengan intimidasi, ini benar – benar terasa seperti nostalgia."

"Lucifer, cukup. Kalau kau tak bisa bicara, enyahlah dari sini."

Atmosfir di ruangan itu mendadak menegang, menciptakan sebuah tekanan mental yang luar biasa. Beberapa detik kemudian seluruh tubuh Ravelt telah diliputi oleh aura kuning keemasan. Tongkat ruby yang berada di tangannya menghilang, berubah bentuk menjadi dua buah cincin yang terpasang di jari – jarinya.

"Hei hei, tenanglah, aku disini tidak mungkin melawanmu."

"Kalau begitu bicaralah."

"Ruangan ini adalah tempat pemanggilan kegelapan dirimu yang terdalam. Dengan kata lain, aku adalah personifikasi dirimu."

"Jangan bercanda, yang kulakukan padamu hanya menyerap jiwamu saat kau mati di Underworld sana."

"Kau masih tak percaya? Kalau begitu coba pikirkan, manusia macam apa yang mampu menghisap jiwa iblis yang terkuat dan bahkan mengendalikannya sesuka hati?"

Ravelt tertegun. Ia tersadar dengan sebuah fakta bahwa iblis hanya akan mengakui sesuatu yang lebih jahat dari iblis itu sendiri.

"Untuk melindungi, terkadang kegelapan itu perlu." Ravelt menjawab perkataan Lucifer.

"Hah! Teruslah berdalih dengan omong kosongmu, aku bosan mendengarnya."

"Terserah padamu."

"Sebenarnya tempat ini dibuat untuk menguji keangkuhan mereka yang datang kesini, tapi apa boleh buat. Kau sudah mengalahkanmu sebelumnya dan aku tak bisa berbuat banyak dengan wujud ini."

"Kalau begitu enyahlah, aku masih banyak urusan."

"Lihat itu! Kau seharusnya berkaca! Pandanganmu barusan adalah pandangan merendahkan dari mereka yang berada di atas. Pandangan yang kau sebut – sebut sebagai yang paling kau benci."

"Tutup mulutmu!"

Segera bayangan hitam itu membeku, membuat sebuah patung es. Tapi kemudian es yang terbentuk segera mencair, digantikan oleh asap hitam.

"Satu peringatan dariku." Asap hitam itu berbicara dengan nada suara yang sama seperti bayangan sebelumnya.

"Jiwamu akan hancur, sebentar lagi kau harus memilih."

Kata – kata itu mengirim sinyal di otak Ravelt, membuatnya terpaku di tempat selama beberapa detik. Ia telah menyadari hal itu, semenjak pertama kali ia melakukan pertarungan pertamanya di dunia Deismo, Parallel World.

Tapi kemudian Ravelt balik membalas perkataan asap hitam di depannya tanpa keraguan sedikitpun.

"Jangan bodoh. Aku orang yang selalu berjalan di garis batas antara cahaya dan kegelapan."

"Hmph, aku penasaran apakah kau masih dapat menjawab seperti itu saat jiwamu berada di ambang kehancuran."

Sesaat kemudian asap hitam itu lenyap, bersamaan dengan hilangnya dinding yang menghalangi antara ia dengan tangga yang menuju ke singgasana. Segera Ravelt menaiki tangga menuju singgasana, lalu duduk diatasnya.

Begitu Ravelt duduk, ia segera menyilangkan kakinya dengan posisi yang kanan di bawah. Ravelt merebahkan punggungnnya ke sandaran, sementara kedua tangannya ia letakkan di sisi samping kursi.

"Ah, nyaman sekali."

Kemudian ia menyadari bahwa ada sebuah tombol merah di sandaran tangan kanannya.

"Ini?"

Penasaran, Ravelt menekan tombol itu dan mengaktifkan beberapa layar hologram persegi empat yang muncul di depannya.

"Hooooooo...."

Sebuah senyuman jahat khas dirinya muncul di wajahnya.

"Ini bisa digunakan."

***

Stallza's part

Seorang pria sedang duduk di ruangan salah satu gedung di pulau Ryax. Rambut berwarna hitam dipotong pendek. Mata berwarna karamel, alis mata berbentuk sayap elang, kulit berwarna coklat, berambut hitam pendek.

Ia adalah peserta dari permainan ini, namanya Stallza. Daan ia baru satu jam diturunkan oleh Hvyt ke pulau ini.

Stallza hanya duduk di pojokan ruangan. Perlu diperhatikan, sejak pertama kali ia datang ke pulau ini, yang ia lakukan adalah menghindari setiap peserta. Ia juga berjuang melawan suara hati yang menyuruhnya untuk angkuh dan menghadapi pertarungan.
Berkali – kali ia mendengar suara ledakan dan pertarungan, akan tetapi semua berusaha ia hiraukan. Baginya yang biasa berpikir rasional sebelum melakukan apapun, keinginan tiba – tiba untuk berlomba menjadi yang terkuat dan menjadi penguasa di pulau ini adalah sebuah hal yang abnormal.

"Ini pasti salah satu tipuan dari dewa palsu itu!" gumamnya pada dirinya sendiri.

Ia memang tidak berniat untuk mengikuti pertarungan ini.Tujuannya sekarang adalah menentang entitas yang bernama Thurqk, jadi sebisa mungkin ia tidak membunuh orang.

Kaulah yang terkuat.

Suara itu kembali menghantui kepalanya.

"Tidak!" Stallza berteriak, mensugesti dirinya sendiri untuk tidak mengikuti pikirannya.

Habisi mereka semua.

"Tidak akan!"

Stallza masih terus melawan. Musuhnya kali ini adalah dirinya sendiri.

Kenapa? Bertarunglah dan tunjukkan mereka bahwa kau yang paling tinggi.

"Tidak...akan...pernah...UAAAAAAAAHHHHHH!!"

Stallza memegang kepalanya, melawan segala bisikan yang masuk dan berusaha mengusirnya. Keringat membasahi tubuhnya, pertanda bahwa perjuangan yang ia lakukan bukan sembarangan.

Mendadak suara itu menghilang, lalu Stallza langsung ambruk dan terjatuh ke atas lantai. Kesadarannya hilang, pertanda bahwa tubuhnya butuh istirahat.

Beberapa jam kemudian, ia terbangun dari tidurnya. Suara dan bisikan yang dari tadi mengganggu pikirannya sekarang sudah tidak terdengar lagi, dan ia memutuskan bahwa sekarang waktunya bertindak.

Ia harus keluar dari pulau ini, tanpa membunuh siapapun.

"Aku harus mencari yang lain." Stallza bangkit, dan segera bersiap untuk pergi setelah beberapa menit duduk dan menghilangkan pusingnya.

Setelah susah payah keluar dari gedung itu dan melewati beberapa android penjaga, Stallza menemukan dirinya sedang menunggangi salah satu spiritia miliknya, Helia—seekor ubur – ubur yang dapat terbang di angkasa.

"Helia, kesana!"

Stallza memerintahkan spiritia miliknya menuju gedung tengah pulau Ryax. Dari jauh pun terlihat bahwa ada sesuatu yang tidak beres disana. Stallza berharap bahwa setidaknya ia akan menemukan peserta lain yang masih bisa diajak bicara.

Akhirnya ia sampai ke bagian depan gedung. Pemandangan yang ia dapatkan disini benar – benar tak dapat dipercaya. Ratusan sisa – sisa tubuh android berserakan, seperti baru terjadi sebuah pembantaian masal. Pintu bagian depan gedung hancur lebur, sampai – sampai tak ada sedikitpun yang tersisa.

Stallza kemudian kembali lagi ke atas Helia.

"Helia, sekarang ke atas, terbang!"

Dengan satu perintah Helia melesat ke bagian atas gedung, lantai ke seratus sekaligus yang terakhir dari bangunan yang sudahh porak – poranda ini.

Beruntung baginya, di lantai terdapat sebuah lubang masuk yang cukup besar untuk dia dan spiritianya masuki.

Begitu ia masuk, Stallza menyaksikan seorang pria sedang duduk di atas sebuah singgasana. Pria juga tampaknya menyadari kehadirannya, ditandai oleh sepasang mata yang mengawasi setiap gerak – geriknya.

"Aku sudah menunggumu disini." Pria berambut pirang itu angkat bicara.

"Kau sudah tahu bahwa aku akan kesini?"

"Ya, dan aku bahkan tahu yang lainnya juga sedang menuju kesini, tapi itu masalah nanti. Siapa namamu?"

"Stallza"

"Namamu pendek sekali."

"Sudah darisananya, kau sendiri siapa?"

"Ravelt, Ravelt Tardigarde."

Ia menjawabnya, kemungkinan bisikian pulau ini tidak berpengaruh padanya.

Stallza memperhitungkan hasil dari percakapannya.

"Ravelt, bisakah aku memintamu melakukan sesuatu?"

"Dan itu adalah?"

"Bantu aku untuk mengalahkan Thurqk."

"Ditolak."

"Kenapa? Bukankah seharusnya kau juga membencinya?"

"Karena aku sendiri yang akan memenggal kepalanya."

Jawaban yang keluar dari mulut Ravelt membuat Stallza tertegun.

Apakah dia sekuat itu?

"Ah, simpan ocehanmu untuk nanti. Kita punya jadwal sekarang." Ravelt melanjutkan kata – katanya.

Tepat saat Ravelt mengatakan itu, dua orang gadis sedang bersiap untuk memasuki gedung dari lantai pertama.

***

Final Act — Last Conclusion

Lantai ke-100 gedung tengah pulau Ryax.

Ravelt melihat situasinya sekarang. Keenam orang peserta yang tersisa telah berkumpul di satu tempat.

Seorang gadis berambut karamel yang manis.

Seorang lagi gadis berambut putih yang tidak kalah manisnya.

Perempuan berambut norak yang memegang sebatang tongkat.

Pria bertudung.

Makhluk lendir bulat berwarna biru.

Dan terakhir adalah dirinya, yang sedang duduk di atas singgasana yang baru saja menjadi miliknya.

"Hoaaaaaaamhh, Sepertinya masih kurang satu." Ravelt bergumam sambil menguap.

"Kenapa ini.....kenapa tiba – tiba?" pria bertudung tampak bingung dengan apa yang terjadi.

Jelas saja ia bingung, sebab sekitar lima menit yang lalu yang datang hanyalah si gadis berambut karamel dengan gadis berambut putih, hanya mereka berdua.

Namun tiba – tiba muncul dua peserta lainnya, entah darimana.

Ravelt berdiri dari singgasananya, kemudian berjalan menyusuri tangga dan menghampiri kumpulan orang di bawahnya.

"Aku hanya mendistorsi ruang dan mentransfer yang tersisa kesini, itu cukup mudah. Sekarang kalian semua menyerangku, majulah, jangan malu – malu."

"Cih, aku tak punya waktu meladeni orang lemah sepertimu. Lebih baik aku menghabisi makhluk lendir disana itu."

"Hoho, buruan yang merelakan dirinya sendiri untuk dihabisi. Carol, mundur, yang satu ini milikku."

"Tidak akan. Orang ini sudah menghinaku dengan menyuruh menyerangnya beramai – ramai, dia pikir aku ini siapa?"

"Kalian semua, hentikan!" Stallza berusaha melerai, tapi usahanya sia – sia.

"..." Emils hanya diam di pojok ruangan.

Situasi memanas, tampaknya hanya tinggal sedikit lagi sebelum pertempuran besar – besaran yang sengaja Ravelt akan segera terjadi. Tapi untuk membuatnya seru, ia harus membuat semua yang berada di situ menyerangnya.

Kemudian Ravelt menyentuh pundak perempuan yang berambut merah-biru, sambil menampilkan senyumnya.

"Nona maaf, tapi tujuanku memindahkanmu kesini adalah agar permainan bodoh ini berakhir lebih cepat, aku tidak punya banyak waktu."

"Enyahlah!"

Tubuh perempuan itu mendadak membeku, ditempat dimana Ravelt meltakkan tangannya. Tangan Ravelt mati rasa. Tidak hanya itu saja, tapi perlahan – lahan bagian tangan Ravelt juga membeku.

"Pengendalian es? Ini hanya buang – buang waktu saja."

Tepat di saat itu, sebuah peluru berdesing melewati kepalanya, menggores pipi kanannya. Ditambah lagi dengan sebuah dropkick yang mengarah pada kepalanya.

Namun Ravelt berhasil menghentikan tendangan itu dengan satu tangan dan menangkap kaki yang mengincarnya barusan.

"Kau cukup hebat juga. Tapi tetap aku yang lebih hebat!" kata Luna, sang gadis berambut putih.

Luna mengangkat tubuhnya dan melayangkan tendangan samping menggunakan kakinya yang lain.

Ravelt yang tidak dapat bertahan menggunakan tangan kanan terpaksa harus melepaskan tangannya yang sedang menahan kaki Luna, melemparkan tubuh kecil Luna kebelakang, sementara Luna berhasil mendarat dengan sebuah salto.

"Mengagumkan, aku tak menyangka kau bisa selincah itu."

"Belum semua." Luna menjentikkan jarinya.

Ravelt menyadari ada sesuatu yang tertempel di bajunya, dan itu adalah sebuah bom tempel. Soal kapan benda itu ada disana sudah jelas, momen tendangan barusan hanyalah pengecoh.

BLAAARR!!

Sebuah dentuman keras terdengar di seluruh ruangan sekaligus menggetarkannya. Ledakan besar menelan Ravelt, sementara yang lainnya hanya terhempas sedikit oleh gelombang udara yang dihasilkan.

"Fiuh, untung dia lengah. Carol, catat satu poin untukku."

"Catat sendiri, aku sibuk disini!"

Carol sedang berdiri berhadap – hadapan dengan Stallza, sang pria bertudung.

"Kau. Berlututlah dihadapanku, Carol Lidell."

"Maaf nona, tapi gadis kecil seperti nona..."

"APA! KECIL! KAU SUDAH BOSAN HIDUP YA?" Carol menerjang maju ke arah Stallza, dengan sebuah buku ditangannya.

"Oh sial, Helia kembali! Ferra!" Stallza memanggil spiritia yang lain, kali ini seorang gadis berambut merah yang membawa sebuah palu besar.

"Aku disini tuan."

"King of Ire,
Orphan's shield,
Pathmaker,
Pathfinder,
Landlord of terraced hills." Carol membaca bukunya sambil berlari. Tangannya yang tadi masih bebas kini menggenggam sebuah pisau lipat.

"Pisau kecil seperti itu tidak akan bisa menahan paluku!" Ferra maju menyambut Carol.

Biasanya apabila sebuah palu diadu dengan pisau kecil, pisaunya akan langsung patah. Tapi pisau milik Carol telah bertambah secara drastis kekerasannya, dikarenakan yang baru ia baca adalah sebuah puisi tentang Ogun, seorang dewa yang dikenal di Afrika sebagai dewa yang menguasai besi.

Palu dan pisau beradu.

Sementara itu di tempat yang berjarak hanya dua puluh meter dari area pertempuran antara Carol dan Stallza, sebuah "pertempuran" pribadi dimulai.

"Kembali kau kemari, makhluk lendir!"

Emils dan Stella sedang mengulangi adegan kejar – kejaran mereka saat pertama kali bertemu.

"Nenek tua ini lagi, sial! Tactical retreat!"

Emils terjun segera terjun dari lantai itu ke bawah, sambil menghindari pasak es yang Stella lemparkan. Baginya, mundur disaat terdesak untuk mencari celah dari lawan adalah sebuah kekuatan.

"Jangan kabur!"

Stella menyusul Emils terjun, sementara Luna

"Ah, mereka sudah pergi. Tapi tidak akan bisa lari, haha!"

Menyiapkan snipernya.

Tapi, Luna tidak menyadari bahwa ada sesosok manusia yang mendekatinya dari belakang. Ia terlalu fokus membidik antara Emils dan Stella yang sedang terjun kebawah.

"Kau membiarkan bagian belakangmu terbuka nona."

"Hya~"

Luna merasa tergelitik. Sebuah jari mengusap bagian belakang lehernya dengan pelan. Seseorang telah berhasil mengendap ke belakang tubuhnya, yang mana hal itu ia rasa hampir tidak mungkin dilakukan, kecuali kalau orang itu memiliki kemampuan jauh di atas dirinya. Dan orang ini baru saja melakukannya.

"Oh, barusan suara yang manis." Ravelt hanya diam di tempatnya, tersenyum.

"Bagaimana mungkin kau bisa bertahan? Bahkan sampai menyusup ke belakangku"

"Dari bom itu? Kecil, sedikit pengendalian elemen api tidak akan membuat ledakan itu melukaiku. Untuk soal menyusup, aku hanya sedikit menghapus eksistensi diriku kemudian mengembalikannya."

Lagi, pikir Luna. Dari tadi orang ini membicarakan tentang hal yang benar – benar diluar akal sehat. Oke, semua orang disini memang tidak ada yang dapat dicerna oleh akal sehat. Tapi bagi Luna, yang ini  benar – benar diluar akal sehat. Manipulasi ruang? Tidak mati dengan bom dalam jarak nol? Menghapus eksistensi? Luna merasa, satu – satunya yang bisa menandingi kekuatan orang ini hanyalah eksistensi sang penguasa Jagatha Vadhi.

Sebenarnya jauh di dalam lubuk hatinya, Luna merasa bahwa orang ini kuat. Tapi hatinya sudah terlanjur termakan oleh kutukan pulau ini.

"Sampai matipun....."

"?"

Luna tertunduk.

"Aku tak akan mengakuimu sebagai yang terkuat!"

"Tidak walaupun setelah melihat ini?"

Ravelt menghancurkan atap bangunan dengan satu tangan, menyebabkan pertarungan antara Carol dan Stallza terhenti. Puing – puing bangunan sudah pasti akan menghancurkan Stallza, kalau bukan karena reaksi Ferra yang cekatan melindungi tuannya. Lebih beruntung lagi Carol, yang tidak terkena reruntuhan sama sekali.

Sekarang yang terlihat bukan lagi atap gelap yang menyembunyikan, akan tetapi sebuah langit berwarna merah kehitaman yang luas, mengingatkan kepada setiap peserta bahwa ini adalah realm milik Thurqk, Devasche Vadhi.

 Luna menyadari sesuatu.

Cahaya Bulan

Luna berpikir bahwa sekarang ia dapat menggunakan seluruh kekuatan maksimalnya, dengan catatan ia memiliki waktu untuk meng-cast [Song of the Moonlight]

"Ada apa?" Ravelt bertanya ke Luna, tapi yang ditanya tidak mau menjawab.

"Kalau kau masih punya kekuatan tersembunyi, keluarkanlah. Aku memberimu kesempatan."

Orang ini memandang rendah diriku.

"Benarkah? kau akan menyesal."

Aku akan membasminya!

"Song of the Moonlight."

Luna mulai menyanyikan sebuah lagu, meng-enhance kekuatannya menggunakan sihir cahaya bulan.

Ravelt masih diam, menunggu Luna selesai. Tapi ia dihujani serangan bertubi – tubi dari pistol dan pisau Carol. Gadis itu menggunakan Aru-kata, sejenis beladiri yang menggunakan pistol dalam pertarungan jarak dekat.

Luna selesai mengucapkan manteranya, dan maju menghadang Ravelt yang berjarak tiga meter darinya. Sekarang Ravelt menerima kombinasi serangan jarak dekat Carol dan jarak menengah Luna.

Stella dan Emils yang tadi terjun ke bawah, kini sedang mengulangi pertandingan mereka. Perbedaannya adalah Emils semakin terdesak. Musuhnya tahu kelemahan tahanannya.

"Hah! Jadi dinding es mu hanya tahan terhadap suhu dan bukan tekanan ya? Bagus, sekarang dinding rapuhmu tidak akan bisa  menahan seranganku"

Stella terus meneyerang Emils bertubi – tubi , sehingga Emils terpaksa bertahan.

Kembali ke pertarungan Ravelt.

Sekarang Ravelt sudah terbang di jarak yang cukup jauh dari Luna dan Carol. Seluruh permukaan tubuhnya dipenuhi oleh luka – luka dan goresan – goresan.

"Kalian berdua cukup kompeten. Akan lebih baik lagi kalau kalian menjadi bagian koleksiku."

"Tak sudi!"

"Tak sudi!"

Luna dan Carol menjawab bersamaan.

"Sangat disayangkan. Kalau kalian tidak mau, aku yang akan mengambil secara paksa. Supreme Existence!"

Wujud Ravelt menjadi semakin terang. Aura keemasan yang menyelimuti tubuhnya membuatnya semakin diperhatikan. Seluruh pandangan mata orang lain tertuju padanya. Sekarang Ravelt menjadi pusat perhatian.

Bahkan Stella pun menunda serangannya terhadap Emils.

"Sekarang, waktunya Battle Royale." Senyuman jahat khas Ravelt tergambar jelas di wajahnya

Stella yang berada dibawah langsung memanggil Fair Dragon, menghiraukan Emils dan langsung maju menuju Ravelt. Luna menghujani Ravelt dengan tembakannya lebih parah dari yang tadi. Carol mengambil buku lain, dan mulai membacanya keras – keras.

Stallza memanggil dua buah spiritia lagi. Satu wanita berzirah perak dan satu lagi seekor burung layang – layang berwarna biru.

"Argia, Hidro, Ferra, Spiritialis bersamaan sekarang!"

"Tapi tuan itu akan.." Argia menyampaikan keberatannya.

"Aku setuju, terlalu beresiko." Ferra juga menolak.

"Lakukan! Dihadapan kita sekarang adalah entitas dengan kekuatan luar biasa! Kalau kita tidak melakukannya, kita yang akan mati."

"Baiklah." Ferra mengiyakan, sementara Argia hanya mengangguk.

Beberapa saat kemudian, Stallza telah memakai sebuah armor perak dengan sebilah pedang, dan sarung tangan berwarna merah. Stallza sekarang berbagi kesadaran dengan ketiga spiritia yang ada dalam tubuhnya.

Kekuatan dan kecepatan. Stallza memiliki keduanya, dan sekarang ia menghadapi Ravelt. Stella yang sedang menunggang naga juga ikut menghujani Ravelt dengan bola api dan pasak – pasak es.

Pada awal pertarungan, Ravelt tampak kewalahan mengatasi kombinasi serangan mereka berdua, akan tetapi semakin lama durasi pertempuran, kecepatan Stallza akhirnya menurun. Melakukan spiritialis bersama tiga spirita beresiko menghilangkan nyawanya kapanpun.

Dihitung dari staminanya, Satllza  hanya bisa melakukan satu kali lagi pergerakan kecepatan suara. Ia mempertaruhkan segalanya pada saat momen itu tiba. Pedang milik Argia telah diperkuat dengan pasak besi milik Ferra.

Tapi pertaruhannya gagal. Meskipun berhasil melukai Ravelt cukup dalam, butuh kurang dari satu detik untuk melihatnya menerima bogem mentah dari Ravelt yang membuat beberapa tulang rusuknya patah.

Stallza terpental jauh, menabrak dinding gedung lain.

Sekarang Ravelt beralih menghadapi Stella, yang hanya efektif menyerang dari jarak menengah. Fair dragon milik Stella dikalahkan hanya menggunakan tangan kosong.

"Loki went to those dwarves who are called Ívaldi's Sons; and they made the hair, and Skídbladnir also, and the spear which became Odin's possession, and was called Gungnir." Carol selesai membaca bukunya, lalu melemparkan sebuah tombak.

Saat posisi Ravelt sejajar dengan Stella, sebuah tombak menembus jantung Stella dan menghujam dada Ravelt, disusul dengan sebuah ledakan besar. Ternyata Luna juga menambahkan tembakan dari snipernya, dengan peluru ledak.

Stella tidak dapat menggunakan kekuatan logianya. Ia tidak dapat mengubah dirinya menjadi air, api, maupun asap. Kekuatan tombak yang dilempar oleh Carol adalah tidak akan dapat meleset dari targetnya, apapun yang terjadi.

Ravelt jatuh ke tempat dimana Luna dan Carol berada, sambil membawa Stella yang telah menjadi mayat.

Bukannya kesakitan, Ravelt malah tersenyum setelah menaruh Stella disampingnya.

"Kalian berdua memang yang terbaik. Aku jadi semakin ingin memiliki kalian dan melempar kalan berdua ke kasur, tapi sayang sekali. Aku punya pekerjaan yang harus dilakukan."

 "Dark Access"

Aura yang menyelimuti tubuh Ravelt berganti menjadi hitam pekat. Petir berkumpul di tangan kanannya.

"Selamat tinggal."

Ravelt menghantamkan tinjunya ke arah lantai, merobohkan gedung berlantai seratus itu dalam sekejap dan menimbulkan suara menggelegar yang mengerikan.

"Apa?"

"Ah..."

Carol dan Luna terjatuh, dari lantai seratus. Sebenarnya mereka berdua masih ada kemungkinan untuk selamat tapi begitu sampai dibawah, pedang air Emils menghabisi mereka berdua. Emils merasa senang, untung ia mendapatkan suplai air dari sekitar gedung utama, dimana tempat itu dihiasi oleh banyak kolam air.

Sekarang misi Emils hanya tinggal satu: menghabisi Ravelt. Ia tidak perlu susah payah mengeluarkan tenaga ekstra. Dengan cepat, Emils menaiki tumpukan reruntuhan yang berjatuhan, menuju ke arah Ravelt.

Dan Emils berhasil. Sekarang ia berada di belakang Ravelt. Cukup satu ayunan untuk membebaskan dirinya dari tempat ini.

Saat pedangnya hampir menyentuh Ravelt dalam jarak satu inci, waktu berhenti baginya. Emils terjebak dalam pusaran waktu.

"Kau lemah." Ravelt berkata pada Emils. Kemudian tangan Ravelt masuk ke dalam tubuh Emils, menyentuh intinya.

"Matilah."

Ravelt menggenggam inti Emils hingga hancur berkeping – keping.

Sekarang, hanya tersisa satu lagi. Stallza yang sedang sekarat. Tanpa basa – basi, Ravelt langsung terbang mengendalikan angin, pergi ke tempat Stallza tersungkur.

"Uhuk- uhuk, gahk...!"

Leher Stallza dicengkram dengan erat oleh Ravelt.

"Kenapa? Padahal kita satu tujuan?"

"Maaf, tapi ini satu – satunya jalan keluar. Lagipula kalaupun kau berakhir di neraka, aku punya cara untuk menarikmu dari neraka Thurqk itu."

"Kau....apa...?"

"Tak usah banyak bicara. Terimalah kematianmu."

Krak

Leher Stallza patah. Nyawanya hilang, bersamaan dengan hilangnya ketiga spritia miliknya yang masih belum sadarkaan diri. Selesai sudah pertempuran Ravelt kali ini.

Kemudian Ravelt pergi  ke arah singgasana yang tadi. Anehnya, singgasana itu masih berdiri tegak melayang di udara, tepat di tempatnya yang tadi.

"Sekarang tumbal sudah diberikan. Akuilah aku sebagai rajamu, Ryax."

Singgasana itu berpendar, mengeluarkan cahaya merah dengan intensitas tinggi. Detik berikutnya, singgasana itu sudah berubah bentuk menjadi sebuah kubus besi dengan ukiran huruf aneh  di sisi – sisinya.

Sempurna

Dalam hati, Ravelt bergembira. Dengan ini rencananya untuk membunuh Thurqk semakin mulus.

Seketika kubus itu mengeluarkan beberapa layar hologram berbentuk persegi di depan Ravelt. Tanpa basa – basi, ia dengan cepat menggerakkan kesepuluh jarinya di depan layar hologram itu, memasukkan perintah – perintah dalam bentuk data – data. Ravelt selesai memasukkan data tepat saat Hvyt datang menjemputnya.

"Selamat tuan Ravelt. Sekali lagi, anda pemenangnya." Hvyt yang datang dari atas memberinya selamat.

Ravelt hanya bisa menunjukkan ekspresi kemenangan yang pahit. Bagaimanapun, ia baru saja membunuh orang. Kubus yang berada dalam genggamannya sudah ia lemparkan ke tanah.

"Hvyt, antarkan aku ke tempat berikutnya."

"Baik jika itu keinginan anda."

Di tengah langit yang memerah dan hembusan angin pelan, Ravelt teringat perkataan Lucifer.

Sebentar lagi, kau harus memilih.
—END—

No comments:

Post a Comment