Link cerita: http://battle-of-realms.blogspot.com/2014/05/round-2-ryax-ravelt-tardigarde.html
Untuk pengenalan entri karakter bisa dilihat pada: http://battle-of-realms.blogspot.com/2014/03/ravelt-tardigarde.html
[Round 2-Ryax] Ravelt Tardigarde
"Puppet of Pride"
Written by Harid Ziran
---
Prelude
Sebuah
pulau mulai tampak dalam pandangan mata. Sebuah pulau besar di
angkasa, menghiasi langit yang berwarna merah kehitaman. Angin bertiup
kencang disekitar pulau itu, seolah menampakkan keangkuhannya.
Sementara dari jauh terlihat bangunan – bangunan bertingkat yang
menggenggam langit menghiasi bagian tengah pulau.
[Ryax Island]
Satu
dari tujuh pulau terkutuk yang dimiliki oleh sang penguasa Devasche
Vadhi, Thurqk. Pulau yang telah diberi kekuatan untuk membuat siapapun
yang menginjakkan kaki di atasnya dikuasai oleh harga diri dan
keangkuhan yang luar biasa.
Terdiri
dari gedung – gedung pencakar langit yang tersususun melingkar,
membentuk sebuah perkotaan modern yang dilengkapi dengan berbagai macam
teknologi tingkat tinggi. Terdapat berbagai macam ukuran gedung
disini, akan tetapi yang paling mencolok adalah gedung pusat yang
berada di tengah, berwarna hitam legam dengan lingkaran cahaya berwarna
merah yang menunjukkan angka sepuluh di atasnya.
Pulau ini adalah arena permainan yang sengaja disiapkan oleh Thurqk untuk mereka yang dikirim ke Cachani Vadhi.
Dan
sekarang, seluruh peserta permainan di pulau ini telah berkumpul. Para
aktor dan aktris, yang sengaja dikumpulkan untuk menghibur sang dewa
yang kebosanan.
Sementara
sang dewa sedang duduk di singgasananya, menonton dari layar proyeksi
yang telah disiapkan oleh seorang pesuruh berkacamata. Menikmati
panggung bonekanya, yang telah ia atur sedemikian rupa.
Jauh
di ujung barat pulau, terlihat seseorang sedang berbicara dengan salah
satu Hvyt—bawahan sang "Tuhan". Orang itu berambut pirang, berjubah
merah, dan memegang sebuah tongkat emas bertahtakan batu ruby bulat
yang sepertinya mahal.
"Jadi, ini tempat apa?"
"Ini adalah pulau Ryax, tempat dimana anda akan menjalankan perintah yang mulia Thurqk. Biasa disebut juga sebagai The Island of Pride."
"Apa yang harus aku lakukan?"
"Mudah.
Bunuh semua, klaim diri anda sebagai yang terkuat serta kuasai pulau
ini, dan jangan sisakan satupun dalam sepuluh jam."
"Sudah? Hanya itu saja? Apa dewamu tidak punya peraturan lain selain bunuh semua? Membosankan sekali."
"Maaf tuan Ravelt, tapi yang apa yang diperintahkan oleh yang mulia Thurqk adalah mutlak."
Ravelt tertunduk lesu. Kemudian ia menarik nafas dalam – dalam dan menghembuskannya.
"Oke,
baiklah. Setidaknya aku akan membuatnya tertawa terpingkal – pingkal
di kursinya sebelum kepalanya terpisah dari badannya."
Hvyt terdiam. Kedua tangannya ia kepal seerat – eratnya, ingin mengahajar orang yang berani lancang terhadap tuannya.
"Saya
hanya bisa mengantarkan anda sampai sini. Kalau anda ingin menyerah,
cukup katakan saja, maka saya akan langsung datang. Tapi mungkin itu
artinya mati di tangan yang mulia Thurqk. Semoga berkat yang mulia
Thurqk bersama anda."
Kata
– kata terakhir yang diucapkan oleh Hvyt sebelum akhirnya makhluk itu
terbang menuju langit, membuat Ravelt tersenyum geli. Ia tak habis
pikir, kalau dewa seperti itu yang memberinya berkat, apa jadinya dunia
ini?
Ravelt
menatap ke arah Timur. Tangan kirinya ia topangkan ke dagunya,
sementara tangan kanannya memegang tongkat emasnya, sambil
menyandarkannya pada tanah.
"Hmm....tadi dia bilang bunuh semua ya? Kurasa, aku akan bermain-main dulu. Lagipula tak ada yang bisa mengalahkanku."
Ravelt
melangkah maju. Sebuah senyuman jahat khas dirinya menghiasi wajahnya.
Dari sorot matanya yang tajam, tak tampak sedikitpun keraguan.
Layaknya langkah seorang raja, ia melangkah maju kedepan dengan dada
yang agak dibusungkan.
Dalam
dirinya ia merasakan sesuatu yang aneh. Suatu bisikan misterius, sejak
ia menginjakkan kakinya ke pulau ini. Bisikan – bisikan yang
dihiraukannya. Bisikian yang ia rasa mampu ia tepis. Bisikan yang
mengatakan bahwa ia adalah raja, dengan harga diri tertinggi.
Sekarang, biarkanlah tirai pertunjukan dibuka.
Dan pendulum takdir berputar.
—TO ACT I—
Act I
Emils's part
Ditengah
gedung – gedung yang menjulang tinggi, terlihat sebuah benda melompat
di antara bayangan kota. Benda itu bulat mengkilap, berwarna biru
transparan yang agak menyilaukan.
Setelah
dilihat lebih dekat ternyata benda itu adalah Emils, salah satu
peserta dalam turnamen ini. Dari bentuk tubuh dan cara ia berjalan,
dapat disimpulkan bahwa dia adalah Slime.
Ya, Slime.
Makhluk terlemah yang biasanya ditemukan dalam permainan RPG, musuh
pertama dengan hit point paling sedikit dan merupakan musuh yang tak
akan pernah kau perhatikan begitu levelmu sudah diatas awan.
Emils
sedang berjalan – jalan ditengah kota. Sudah lebih dari satu jam sejak
pertama ia diturunkan oleh Hvyt—sang malaikat bersayap.
Dan
alasan kenapa ia berjalan – jalan (dengan melompat, mungkin) ditengah
kota adalah karena ia butuh air. Seluruh kemampuan bertarungnya
terletak pada air, sehingga air merupakan kebutuhan vital baginya.
"Hm....dimana aku bisa menemukan air ditempat ini?"
Emils
bergumam, sambil berjalan melompat – lompat dibawah bayangan gedung
kota untuk menghindari deteksi musuh. Tapi ia tidak menyadari, sepasang
mata sedang mengawasinya dari atas gedung.
Tak
lama, Emils menemukan sebuah peta denah kota dalam layar hologram. Ia
lalu memeriksa posisnya berada. Beruntung peta itu memiliki tanda
keberadaan ia sekarang.
Dan ia menemukan lokasi yang ia cari.
"Jadi air mancur belok kanan, lalu kiri, kemudian—"
"Ice Spike"
Sebelum
Emils menyelesaikan kata – katanya, sebuah suara terdengar dari atas
dan disusul dengan sebuah pasak es berukuran raksasa.
PRAAANG!
Dengan
instingnya yang tajam, Emils berhasil menghindari pasak es tersebut
tepat pada waktunya, dan berguling ke kanan dengan tubuhnya yang bulat.
"Cih, meleset."
Emils melihat ke atas gedung, sumber serangan itu datang dan melihat bayangan seseorang disana.
"Sial, sudah ada orang lain rupanya."
Tanpa
basa – basi, Emils melarikan diri. Tepat dibelakangnya, seorang
peserta lain mengejarnya. Akan tetapi, Emils punya rencana lain.
[Slime Swordman]
Sebuah
nama yang Emils dapat dari hasil kerja keras dan jerih payah dari
waktu semasa ia masih hidup. Sebagai slime yang seharusnya makhluk
terlemah, Ia berhasil menjadi seorang petarung dan ahli pedang sejati.
Setelah mati dan mengikuti Battle of Realms-pun, kemampuannya dalam bermain pedang tidak bisa dianggap enteng.
Akan tetapi, dihadapannya sekarang adalah musuh terbesar setiap ahli pedang.
Pengguna Sihir
Emils
sedikit menoleh kebelakang, memastikan orang yang mengejarnya. Seorang
pengguna sihir wanita yang berpakaian mini berwarna biru muda, dengan
masker dan rambut warna merah-biru berselang – seling.
"Kemari kau makhluk lendir hina! Akan kutunjukkan padamu, bahwa aku, Stella Sword sang Alexis Knight, adalah yang terkuat!"
"Lucu sekali. Julukanmu Knight tapi kau adalah Mage? Nenek tua, lain kali kau harus memikirkan job-mu sebelum memilih nama."
Emils
berlari melompat. Bentuknya saat menjadi slime memang benar – benar
tidak menguntungkan. Ditambah lagi, keinginan untuk menyerang musuhnya
semakin kuat, dikarenakan harga dirinya terluka setiap ia mengambil
langkah seribu. Di pulau Ryax ini, kehilangan harga diri sepertinya
bukanlah pilihan yang bagus.
Sementara
Stella mengangkat tangan kanannya sambil berlari mengejar Emils.
Seketika itu pula di udara terbentuk beberapa anak panah yang terbuat
dari es.
"Diamlah lendir! Terima ini! Ice Arrow!"
Belasan—atau
mungkin puluhan anak panah es menghujani Emils yang sedang berlari.
Tapi dengan kelihaiannya Emils berhasil menghindari setiap anak panah
yang mengincar tubuhnya.
"Sial! Berhentilah menghindar!"
Stella
berteriak, sambil terus mengejar Emils. Tapi Emils tetap tidak
menghiraukannya. Yang ada dalam pikirannya sekarang adalah bagaimana
cara membalas serangan.
Untuk
itu, ia harus menemukan air terlebih dahulu. Tujuannya memancing
Stella adalah agar ia dapat langsung menghabisinya begitu menemukan
sumber air.
"Ketemu!"
Pelarian
Emils berujung pada sebuah air mancur kota, yang di desain dengan
bentuk seperti huruf "T" dengan warna merah kehitaman. Air mancur itu
terlihat tidak menyala.
Tanpa pikir panjang, Emils langsung saja menceburkan dirinya kedalam air mancur yang memiliki persediaan air cukup banyak.
"Ice Explosion!"
Melihat
Emils yang menceburkan diri ke dalam kolam air mancur, Stella
mengayunkan tongkatnya dan menghujani tempat itu dengan bongkahan es
selebar satu meter.
"Rasakan itu lendir hina! Sekarang, waktunya menghabisi yang lain dan menunjukkan siapa yang berkuasa disini."
Merasa
Emils telah ia habisi, Stella membalikkan badannya kemudian menjauh
dari tempat itu. Ia melangkah, seolah semua telah selesai.
Akan
tetapi sayang, Emils ternyata masih hidup. Sebagai Slime, Emils kebal
terhadap serangan fisik jenis apapun. Tidak diketahui oleh Stella,
Emils melompat keluar dari kolam dengan wujud manusianya.
Saat jarak mereka hanya terpisah satu meter,
"Kau pikir slime tidak punya harga diri?"
Emils
mengubah tangannya menjadi pedang dengan cepat, kemudian menghujam
bagian jantung Stella. Semuanya terjadi begitu singkat, sampai – sampai
Stella tidak sempat menoleh dan hanya menerima tikaman pedang Emils di
jantungnya.
"Jadi kau masih hidup rupanya."
"!!!"
Menyadari
ada sesuatu yang aneh, Emils segera melangkah mundur sejauh – jauhnya
dari Stella. Benar saja, wanita didepannya tiba – tiba berubah menjadi
asap dan mengincar Emils.
Emils
meloncat ke belakang beberapa langkah, menghindari asap yang
mengincarnya. Kemudian, asap itu kembali ke tempat dimana ia menusuk
Stella tadi dan ajaibnya, Stella tidak terluka sama sekali.
"Serangan dari makhluk lendir sepertimu tidak akan melukaiku. Aku hanya bisa dilukai oleh angin."
Stella
mulai mengangkat tangan kirinya dan membuat bola api besar—dan
jumlahnya mencapai dua puluhan. Lalu ia melemparkannya ke arah Emils.
Namun
Emils telah bersiap ditempatnya. Ia membuat sebuah balok es tipis yang
berbentuk seperti dinding dan meregenerasi dinding itu menggunakan air
yang ia hisap dari kolam setiap balok itu mencair.
"K-kau!"
Mata Stella terbelalak. Tidak ada satupun dari bola api yang ia lemparkan mengenai Emils.
"Bagaimana bisa? Bisa dibilang prinsipnya mirip termos."
Stella masih terpaku tidak percaya. Sihir hebatnya dipermainkan oleh makhluk yang bahkan bukan manusia.
"Kau sudah selesai? Sekarang giliranku."
Emils
menghisap lebih banyak air dari kolam. Volume tubuhnya sekarang telah
mencapai dua kali lipat dari sebelumnya dan sekarang ia melompat
tinggi, bersiap untuk menghujam Stella dibawahnya.
Panik,
Stella membentuk bongkahan es dan melemparkannya ke arah Emils yang
sedang melayang di udara. Bongkahan itu mengenai telak tubuh Emils,
membuatnya hancur menjadi tetesan – tetesan air yang menghujani badan
Stella.
Stella
bernafas lega, urat – urat syarafnya melemas dan ia menghela nafas.
Tapi tiba – tiba sebuah tangan menyentuh punggungnya.
Dan itu adalah tangan Emils, yang intinya masih utuh.
"Selalu ada lebih dari satu cara untuk membunuhmu."
***
Stella's part
Stella
membatu, sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan. Kemudian sebuah hawa
dingin menyapu tubuhnya dari bagian punggungnya, menyebar ke seluruh
tubuhnya secara perlahan. Seluruh air yang tadi membasahi tubuhnya
sekarang membekukan badannya dan menghentikan pergerakannya.
"Jangan....."
Tubuh Stella menggigil dan tak bisa bergerak, akan tetapi ia masih bisa menggerakkan mulut dan lidahnya untuk berbicara.
"Main – main denganku!!"
Dengan
kemampuannya, Stella mengubah dirinya menjadi api dan membakar daerah
disekitarnya. Emils yang sedang berada di belakangnya ikut terkena api
itu. Volume cairan tubuh Emils kini berkurang.
"Tch, tak bisakah kau diam? Merepotkan sekali."
Emils berlari menjauhi sumber api.
Stella
kembali ke wujudnya yang semula, berdiri sambil menatap Emils dengan
tajam. Kedua tangannya dikepal dengan erat. Sesekali ia menggeram
kesal, akan tetapi karena masker yang menutup wajahnya tak dapat
dilihat ekspresi wajahnya dengan jelas.
"Karena kau sedah mempermainkanku, terima balasannya."
Stella mengangkat tongkat sihirnya ke atas.
"Fair Dragon"
Apa
yang keluar berikutnya membuat slime yang berada di depan Stella
terkejut. Seekor naga keluar dari balik awan yang merah kehitaman,
entah darimana datangnya. Naga itu kemudian menghampiri Stella dan
membungkukkan badannya, mempersilahkan Stella untuk naik sebelum
akhirnya terbang rendah di atas Emils.
"Hahaha! Lihat! Sebagai hukuman karena sudah mempermainkanku, terimalah ini!"
Naga
itu kemudian menyemburkan api dari mulutnya, mengincar Emils.
Sementara yang diincar hanya bisa menghindar dan terus menghindar, agar
volume tubuhnya tidak berkurang karena menguap.
"Lari! Larilah terus makhluk hina!"
Stella
tersenyum puas. Target dibawahnya hanya bisa lari kocar – kacir
menghindari serangan yang ia berikan. Sekarang ia benar – benar merasa
yang terkuat, menginjak – injak harga diri lawannya.
Sementara
Emils di bawah terus menghindari setiap nafas api yang dilancarkan
naga milik Stella padanya. Emils terus berlari dan menghindar menuju
kolam air mancur.
BLAAAARR!
Nafas api dikeluarkan oleh Fair Dragon
Stella hampir mengenai Emils dan membuatnya terpental. Akan tetapi
serangan itu datang bersamaan dengan keberuntungan. Emils terpental
jauh dan langsung masuk ke dalam kolam.
Stella
melihat Emils berdiri, bangkit dari kolam. Volume tubuh Emils kembali
seperti semula. Makhluk biru dengan tubuh didepannya sekarang berdiri
tegap menghadap Stella, seolah menantangnya.
"Aaaaargh! Kapan sih kau mati!"
Stella
kembali memerintahkan naganya untuk menyemburkan nafas api lagi. Tapi
Emils menahan api itu dengan menggunakan trik yang sama seperti saat ia
menahan bola api tadi.
"Sial Sial Sial!"
Merasa
dipermainkan, amarah Stella makin memuncak. Ia kemudian membuat bola
api di tangan kirinya dan melancarkan serangannya bertubi – tubi.
Ditambah dengan nafas api milik Fair Dragon, kini Emils menerima serangan mematikan yang dapat menguapkan seluruh tubuhnya.
Namun
yang terjadi adalah sebaliknya. Dinding es milik Emils tetap berdiri
dengan kokoh menerima serangan bertubi – tubi itu. Stella terus
melancarkan serangan – serangannya, sementara Emils terus memanipulasi
air untuk tetap menjaga ketahanan dindingnya.
Disatu
sisi, seorang pengguna sihir yang sedang menunggangi seekor naga dan
mengendalikan api. Disisi lain, seorang slime yang sedang mempertahankan
dirinya dengan menggunakan sihir es dan manipulasi air. Keduanya sama –
sama kuat, sama – sama lihai dalam pertarungan.
Dan sekarang, yang bisa menjawab hasil akhir pertarungan mereka hanyalah waktu.
***
Act I Conclusion
Masih
menerima serangan bertubi – tubi, Emils tetap tak bergeming. Ia sibuk
memanipulasi air, membuat pertahanan melawan pengguna sihir di
depannya. Perlu diakui musuhnya kali ini bukan orang sembarangan.
Akan tetapi, ada satu hal yang membuatnya gelisah.
Waktu
Emils
sedang berpacu dengan waktu. Batas waktu penggunaan tubuh manusianya
adalah sepuluh menit, dan sekarang sudah lebih dari delapan menit.
Dengan kata lain, waktu yang tersisa untuk menyelesaikan pertarungan
ini kurang dari dua menit.
Aku harus cepat. Kalau tidak maka aku yang akan kalah.
Emils
terus menunggu sebuah kesempatan emas yang tak boleh ia lewatkan.
Rupanya selain membuat dinding es, dari tadi ia juga menghitung dan
memperkirakan pola serangan Stella. Emils menyadari ada saat dimana
Stella menghentikan serangannya, untuk menciptakan bola – bola api
lagi.
Dan jika perhitungannya tidak salah, maka celah itu akan datang saat
"Sekarang!"
Emils meloncat kesamping kanan dindingnya, ditambah dengan gerakan berguling. Benar saja, serangan Stella terhenti.
Emils
kemudian menerjang maju ke arah Stella yang masih berada di atas
naganya. Tangan kanannya telah berganti bentuk menjadi sebuah pedang.
Beruntung baginya, naga itu sedang terbang rendah dan jarak dari
daratan ke atas punggung naga dapat dicapai dengan sebuah loncatan.
"Apa!?"
Stella
yang terkejut dengan segera melemparkan bola apinya ke arah Emils,
meskipun tidak sebanyak yang tadi. Lima buah bola api berukuran sedang
mengincar Emils yang sedang berlari lurus ke arah Stella.
Emils
melihat bola api di depannya. Ia sudah tidak punya cukup waktu dan air
untuk membuat dinding es seperti tadi. Satu – satunya cara yang
tersisa adalah menghindar.
Berbekal refleks setara manusia dan kelenturan tubuh ala slime, Emils menghindari bola api yang mengincar dirinya.
Bola
api pertama, Emils menekkukkan kedua lututnya dan menyejajarkan
tubuhnya dengan pinggang dengan posisi kepala dibelakang. Bola api
kedua, Emils bangkit dari posisinya dan melompatinya. Ketiga, meleset
jauh. Emils tak perlu memikirkannya. Keempat, Emils hanya sedikit
memiringkan badannya. Kelima, Emils meloncat dan bersalto di udara.
Bak
jagoan di film –film, Emils menghindari kelima bola api Stella dengan
lihai. Sementara pemilik serangan hanya bisa menggerutu di atas
punggung naganya.
Emils
kembali berlari. Jarak antara ia dengan Stella kini hanya terpaut dua
meter. Emils yakin, ia dapat menutupi jarak itu dengan sekali lompatan.
Emils lalu melompat, dengan pedang terhunus ke arah Stella.
Setengah meter.
Namun
secara tiba – tiba naga milik Stella mengepakkan sayapnya dan terbang
lebih tinggi. Emils yang meloncat tidak dapat sampai ke tempat Stella.
Tubuhnya kehilangan momentum dan mulai turun.
Malang baginya, sebab sekarang Emils berada tepat di depan mulut naga, yang sedang bersiap untuk menyemburkan nafas apinya.
Aku akan mati disini?
Di pikiran Emils muncul sebuah pertanyaan.
Aku tidak boleh mati.
Dalam sekejap, Emils mendapatkan sebuah ide brilian. Ide yang ia dapatkan karena kegigihannya untuk bertahan hidup.
Untuk
dapat lepas dari situasi ini, ia terpaksa harus membuang volume
tubuhnya. Ia mulai membuat sebuah pusaran air dikakinya, menjadikannya
sebuah jet air untuk mendapatkan dorongan ke atas.
Tepat
saat naga itu menyemburkan nafas apinya, Emils telah berada diluar
jangkauan api, melompat ke arah Stella yang masih menunggangi naganya.
Sementara
Stella sedang menunggangi naganya tanpa persiapan sama sekali, harus
dikejutkan dengan kedatangan Emils yang tiba – tiba dengan pedang
terhunus ke arahnya.
Emils
melesat maju ke arah Stella. Dari yang ia saksikan sebelumnya, gadis
pengguna sihir di depannya ini dapat berubah wujud menjadi asap maupun
api sehingga kebal dengan berbagai macam serangan fisik.
Hanya
ada satu cara yang dapat Emils lakukan dengan kemampuannya yang
sekarang. Ia harus membekukan gadis ini, menggunakan air dari volume
tubuhnya.
Emils
meraih Stella dengan tangan kirinya, membekukan tubuh bagian atas
gadis itu sekaligus dengan air yang membentuk tangannya. Di tangan
kanannya sebuah pedang air bertekanan tinggi menghunus. Emils mengincar
jantung gadis itu. Ia berniat untuk menyelesaikan ini dalam sekali
serangan.
Tiba
– tiba Emils tersentak. Saking inginnya ia menghabisi lawannya, ia
tidak menyadari bahwa dari tadi gerakannya melambat. Sebuah pertanda
bahwa waktu penggunaan tubuh manusianya sudah habis.
Emils
mendadak kembali ke wujudnya semula. Wujud sejati slime yang lemah.
Pedang air yang ia hunuskan tak pernah menembus jantung Stella.
Jangankan menembus jantung musuhnya, pedang itu sampai ke lapisan es
yang ia sengaja buat saja belum. Dan ia sekarang tergeletak tak berdaya
di hadapan gadis yang ingin ia bunuh.
Stella
sekarang berdiri di depan Emils—dalam wujud bola biru—yang tergeletak
begitu saja di atas naganya. Es yang tadi meliputi seluruh tubuhnya
telah meleleh seluruhnya, dan sekarang ia bebas bergerak.
Sang
Alexis Knight mencabut tongkatnya yang diletakkan di bagian
punggungnya, dan mengarahkan ujung tongkatnya yang tajam ke makhluk
lendir biru di depannya.
Ia menarik maskernya ke bawah, kemudian tersenyum lebar bagai anak kecil yang mendapat boneka yang ia inginkan.
"Kau mengejutkanku. Tapi sayang sekali, kau akan mati sekarang juga."
Emils
tetap tak bergeming. Ia sudah tak bisa lagi mengendalikan cairan
tubuhnya untuk bergerak dikarenakan efek samping penggunaan manipulasi
tubuh cair yang berlebihan. Sekarang ia hanya bisa pasrah, sambil dalam
hati menggerutu karena keburu nafsu membunuh lawannya dan malah
berakhir dengan kondisi yang mengenaskan.
"Sekarang matilah!"
Stella mengayunkan lengannya, menghujam Emils dengan tongkat sihirnya.
Tapi,
Tepat
saat hal itu terjadi, gedung disampingnya tiba – tiba meledak secara
misterius. Stella pun terkena imbasnya. Ia dan naganya terjatuh
kebawah, sementara Emils terlempar jauh entah kemana.
Beberapa
saat kemudian, Stella bangkit dari reruntuhan gedung yang hancur
berantakan. Alasan kenapa ia masih hidup setelah ditimpa reruntuhan
tampaknya dikarenakan seekor naga api melindunginya.
Ia bangkit dan berdiri, kemudian melihat keadaan sekitarnya.
Kacau
balau. Hanya itu kata yang tepat untuk mendeskripsikan keadaannya
sekarang. Kemudian ia segera bergerak, sepertinya mencari – cari
sesuatu.
Sepuluh
menit memeriksa reruntuhan, gadis itu terlihat sangat kecewa. Kemudian
ia mengadahkan kepalanya ke langit dan berteriak.
"DIMANA KAU MAKHLUK LENDIR SIALAN!!!"
—TO ACT II—
Act II
Carol's part
Seorang
gadis muda berambut karamel berdiri di atas sebuah gedung tinggi, di
bagian utara kota. Ia memakai baju kemeja putih lengan panjang dengan
rompi berwarna hitam yang berhias pita merah di kerahnya. Tak lupa rok
mini berwarna hitam dengan stocking sepanjang paha. Di tangan kanannya
terdapat sebuah buku yang agak usang dan cukup tebal, yang sepertinya
butuh waktu berhari – hari untuk membacanya. Sementara di pinggangnya
terdapat sebuah syal, dengan holster untuk senjata api. Untuk wajah, ia
cukup manis dengan iris berwarna biru yang menghiasi matanya.
Seandainya
karakter utama kita—sang raja mesum pastinya—bertemu dengan gadis ini,
pasti dia akan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama dan
mengatakan
"Maukah kau menjadi koleksiku?"
Kembali
ke gadis tadi. Namanya adalah Carol Lidell, seorang pustakawan. Dan
alasan kenapa dia disini adalah karena ia salah satu peserta permainan
berdarah yang di adakan oleh sang penguasa Devasche Vadhi, Thurqk.
"Huff...."
Carol
menghela nafas. Sudah lebih dari dua jam ia diturunkan oleh Hvyt ke
pulau misterius ini. Dan sampai saat ini, belum satupun peserta lain
yang ia temui.
"Aaaah..... kemana semua orang? Kalau seperti ini terus, batas waktu akan segera habis."
Ditengah
semilir angin yang berhembus, Carol melamun. Ia bernostalgia tentang
masa – masa dimana ia masih dalam pelatihan untuk menjadi anggota
pustakawan di [Library of Fate], sebuah perpustakaan yang terletak di
suatu dimensi lain, tempat dimana seluruh buku yang berisi berbagai
macam ilmu pengetahuan ada disana.
Carol
kemudian mengalihkan pandangannya ke daerah sekitarnya. Hanya terlihat
gedung yang tinggi menjulang sejauh mata memandang. Gedung – gedung
yang sebagian besar berwarna hitam pekat, dengan langit yang berwarna
merah kehitaman.
Warna yang membosankan
"Ng?"
Sejenak
kemudian, pandangan Carol teralih ke sebuah pemandangan yang
mengejutkan. Tak jauh dari tempatnya berada, ia melihat sebuah gedung
meledak hingga hancur berkeping – keping.
"Hoho, ada yang sedang memanas rupanya."
Tangan Carol bergerak, seolah mengambil sesuatu dari ruang kosong.
Tiba
– tiba, sebuah buku muncul entah dari mana dan langsung berada di
tangan Carol. Sebuah buku tebal dengan sampul berwarna merah.
"Waktuku telah tiba."
Carol
melompat dari gedung itu. Kalau ada orang biasa yang melihatnya, pasti
akan ada teriakan histeris. Sebab melihat seorang gadis muda yang
meloncat dari ketinggian gedung enam belas lantai memang sangat memicu
adrenalin.
Tapi Carol tetap tenang. Ia membuka buku itu dan membacanya dengan suara lantang.
"O the great bird of Garuda, come and heed my call."
Begitu
Carol selesai membaca kalimat terakhir, sebuah burung besar muncul
tepat dibawahnya dan kemudian terbang menuju tempat dimana ledakan
gedung tadi terjadi.
***
Luna's part
Namanya adalah Luna Aracellia. Umur empat belas tahun. ia memakai sebuah kemeja putih, jaket kasual berwarna hitam, dan rok berwarna hitam. Bekerja sebagai seorang freelance assassin—atau kalau – kalau kau tidak tahu, sebut saja dia pembunuh bayaran.
Luna
sedang mengamati targetnya, seorang wanita berambut biru merah selang –
seling yang bernama Stella Sword dan sedang mengendarai seekor naga.
Ia bersiap untuk menghabisinya dalam satu kali tembakan dari jarak satu
setengah kilometer, dari atap sebuah gedung.
Ya, dia sedang menggunakan sniper. Sebuah senjata laras panjang yang biasa digunakan untuk menghabisi target atau lawan dari jarak yang sangat jauh.
Dan Luna sudah terlatih menggunakannya.
Sebenarnya ini semua biasa saja. Pemandangan seorang assassin
yang sedang mengintai mangsanya, dari jarak yang tidak bisa dijangkau
oleh orang awam. Menunggu mangsanya lemah, kemudian menyergapnya dengan
satu kali tarikan pelatuk.
Hal yang mungkin dirasa spesial disini adalah:
Satu, assassin itu masih berumur empat belas tahun.
Dua, ini bukan di bumi.
Tiga, sniper itu baru saja ia pungut dari tempat ini, beserta beberapa perlengkapan lainnya.
Sesaat kemudian, Luna menyadari bahwa targetnya lengah. Sebuah kesempatan bagus untuk mengeksekusinya.
Satu
tarikan. Hanya itu yang Luna butuhkan untuk menghabisi targetnya.
Kemampuannya dalam mengeksekusi targetnya dengan menggunakan sniper
sudah tidak bisa dipertanyakan lagi. Rasio ia mengenai targetnya
mencapai di atas sembilan puluh persen.
Peluru yang keluar dari selongsong senjatanya melesat lurus menuju kepala Stella.
Tapi sebelum sampai disana, peluru itu harus melewati sebuah kaca
bangunan. Sasarannya ada di ujung lain bangunan, namun Luna yakin
peluru itu dapat menembusnya.
Begitu
peluru itu mengenai kaca, yang terjadi bukanlah seperti yang Luna
harapkan. Peluru itu meledak, menghancurkan gedung yang berada di
sebelah targetnya.
Luna hanya termangu ditempatnya.
"Ah."
"Aku meleset."
Kepalanya
tertunduk. Salahnya, karena tidak terlalu memperhatikan label
peringatan di tempat ia mengambil stok peluru tadi. Di kotak itu
tertulis:
WARNING: EXPLOSIVE
Mulanya
Luna mengira yang dimaksud adalah peluru – peluru ini mudah meledak,
wajar untuk sebuah kotak peluru. Tapi sayangnya, yang dimaksud meledak
adalah peluru – peluru itu "meledakkan" targetnya.
Sebenarnya Luna masih memiliki dua magazine—kotak peluru—berisi peluru sniper biasa, yang cocok untuk sniper Dragunov berwarna
hitam berkaliber besar yang baru saja ia ambil. Tapi apalah daya nasi
sudah menjadi bubur, kesempatan emas itu hilang begitu saja. Targetnya
sudah menghilang dari pandangannya, menuju ke tempat yang tak diketahui
rimbanya.
Sekarang Luna memasang sebuah magazine baru dan mencari target lain, berharap kesalahan bodohnya tak pernah ia ulangi lagi.
Tepat saat itu, seorang gadis berambut karamel tiba disampingnya dengaan menunggangi seekor burung elang raksasa.
"Apa
– apaan ini? Tadi ada orang menunggang naga dan sekarang datang
penunggang elang? Memangnya ini sebuah setting untuk sinetron murahan?
Ah, si merah arogan itu memang tahu caranya membuat hiburan."
Luna menutup mulutnya dan menahan tawanya.
"Apa!? Kau bilang Garuda-ku
ini setting untuk sinetron murahan? Hei bocah tak tahu diri, sebaiknya
tutup mulutmu dan berlututlah dihadapanku!" Gadis berambut karamel itu
membalas perkataannya.
"Hah? Bocah? Kau tidak pernah melihat kaca ya?"
"Diam! Pokoknya aku, Carol Lidell adalah orang yang paling kuat dan berpengetahuan paling tinggi disini!"
"Kenapa kita tidak membuktikannya?"
"Cerewet! Akan kubuat kau benar – benar berlutut!"
Garuda milik Carol maju dan menerjang Luna, sementara Carol sendiri melompat turun dari burungnya.
Garuda menyerang Luna, akan tetapi ia masih dapat menghindar.
Dengan
segera, Luna mengganti kotak peluru yang baru saja ia pasang dengan
yang lain, juga melepaskan laras Dragunov sniper miliknya dan
menggantinya dengan ujung yang lain. Luna mengarahkannya ke arah Garuda
yang sedang menukik untuk menyerangnya kedua kali, dengan satu tangan.
Carol tertawa melihat kebodohan musuh didepannya.
"Haha, kau tidak akan bisa menggunakan sniper dalam posisi seperti itu!"
Luna
tetap membidik burung besar di depannya. Begitu dirasanya burung itu
cukup dekat, Luna menarik pelatuknya dan yang keluar bukanlah peluru
biasa melainkan laser—cahaya bersuhu tinggi yang dipadatkan.
Garuda
musnah dalam sekali tembak. Laser yang ditembakkan Luna mengenai telak
bagian kepalanya dan tembus hingga ke bagian ekornya, menghabisi
burung berukuran abnormal itu dan membakarnya hingga hangus tak
bersisa.
Luna menoleh ke Carol yang berada dibelakangnya.
"Sekarang giliranmu gadis kecil."
"Kau!"
Tanpa basa – basi, keduanya—Carol dan Luna—saling bertukar tembakan. Carol dengan pistol Glock miliknya, Luna dengan senjata futuristik multifungsi yang ia temukan.
Mereka berlari, menghindar, melompat dari atap gedung satu ke atap gedung lainnya, dan saling membalas serangan.
Luna
semakin unggul. Senjata miliknya memang jauh lebih modern dibandingkan
milik gadis di depannya, yang hanya menggunakan sebuah pistol.
Langkah
mereka berdua akhirnya terhenti oleh jarak antar gedung yang tiba –
tiba menjadi lebar, dipisahkan oleh sebuah jalan raya besar.
"Menyerahlah. Kau sudah terpojok." kata Luna sambil mengarahkan moncong senjatanya ke arah Carol.
"Cih! Mana mau aku menyerah disini."
Luna
menekan pelatuknya, namun Carol dengan sigap menghindar dan
menjatuhkan diri (lagi?) dari atas gedung. Luna segera berlari mengejar
Carol, namun semuanya terlambat.
"Hei! Kau sudah gila—"
Mendadak Luna dikejutkan oleh elang emas yang melesat dari bawah. Di punggungnya terdapat Carol.
"Hahaha! Sambutlah Aquilla-ku! Sekarang coba kejar kalau kau bisa!"
"Oh, kau menantangku ya?"
Luna
mengeluarkan bola sebesar kelereng dari dalam sakunya yang ia dapatkan
dari pulau ini sebagai perlengkapan barunya, kemudian melemparnya
kedepan.
Dalam
sekejap, bola itu berubah menjadi sebuah jet ski yang biasa dipakai di
air, namun dengan tambahan roket. Luna langsung menggantungkan
senapannya di punggungnya dan menaiki jet itu.
"Tunggu aku gadis jelek!"
Luna langsung menggas kendaraan miliknya, sementara Carol terbang semakin jauh dengan Aquilla-nya.
Dan aksi akrobatik mereka di angkasa telah dimulai.
***
Nema's part
Nemaphila
sedang bersantai di taman kota, satu – satunya tempat yang memiliki
pohon. Ia benar – benar sangat menikmati keadaaanya sekarang.
Pertama
kali ia diturunkan oleh Hvyt di pulau ini, Nema serasa ingin muntah.
Ia diturunkan oleh Hvyt di tempat yang sangat penuh dengan gedung –
gedung pencakar langit dimana tak sebatang pohonpun ia temukan. Marah,
kesal, bercampur dengan perasaan jijik berkecamuk dalam dirinya,
melihat tempat yang sudah tak memiliki pesona alam sedikitpun.
Untungnya
setelah beberapa jam berkeliling dengan sangat hati – hati, Nema
menemukan sebuah taman kota yang kelihatan masih asri. Perasaan
gembiranya seperti menemukan sebuah oase di tengah padang pasir.
Nema
langsung saja membuat taman itu sebagai rumahnya, membuat satu –
satunya pohon di tengah taman membesar dan memiliki sulur – sulur yang
panjang. Semua ini ia lakukan dikarenakan kecintaannya pada alam dan
kebenciannya pada manusia.
Tak
perlu di ucapakan sebesar apa kecintaannya atau kebenciannya, yang
jelas Nema telah membuat daerah di sekitar taman itu—dalam radius dua
kilometer menjadi penuh dengan sulur berduri dan ditumbuhi lumut. Kota
yang tadinya penuh dengan desain – desain futuristik yang aneh dan
tanda – tanda dipinggir jalan dalam bentuk hologram telah berganti
menjadi sebuah kota tua yang dipenuhi dengan sulur – sulur berduri dan
akar – akar tanaman.
Dalam
pikirannya, sebelum ia menghabisi semua peserta, ia harus menghabisi
kota di pulau ini terlebih dahulu. Dengan kata lain, ia harus
menguasainya.
Tak
lama, Nema mendengar suara seperti suara sebuah pertarungan. Nema
mencari sumber suara itu berasal dengan mendengarkan secara lebih
seksama.
Di atas
Begitu
Nema menyadari sumber suara itu dan menengadahkan kepalanya ke atas,
belasan bola api dan sinar laser menghujani taman kesayangannya.
"Apa!?"
Nema
menggeram kesal. Dua manusia sedang melewati teritori pribadinya dan
merusaknya. Penghancuran alam adalah sebuah perbuatan yang tak bisa ia
maafkan. Segera Nema mengirimkan sulurnya untuk menangkap kedua manusia
yang telah berbuat lancang dihadapannya.
Kena.
Sulur dan akar tanamannya mengenai keduanya, mengikat mereka dengan erat kemudian membawa mereka berdua ke hadapan Nema.
"Kalian
manusia rendahan beraninya merusak tamanku hah!? Lancang sekali!" kata
Nema sambil berdiri di depan pohon di tengah taman.
Nema
berteriak sambil memperhatikan keduanya. Satu, gadis berambut putih
yang terikat bersama dengan sebuah jet ski dan yang satunya gadis
berambut karamel, terikat di dekat seekor burung raksasa.
"Memangnya kau siapa, sampai – sampai mengaku bahwa tempat ini milikmu?" gadis berambut putih membalas perkataannya.
"Diam!
Aku yang memiliki kuasa disini." Nema berjalan mendekat ke arah gadis
bermbut putih itu, yang masih terikat di sulurnya.
Tapi seperti tanpa rasa takut, gadis itu malah balas menatapnya dengan tajam. Nema merasa direndahkan.
"Hoho, aku tahu hukuman yang pantas untuk kalian berdua. Mati perlahan."
"Lepaskan!
Aku tak punya waktu untuk meladeni permainan penguasa kecil –
kecilanmu itu!" kali ini si gadis berambut karamel yang angkat bicara.
"Tutup
mulutmu bocah! Dan berhentilah meronta, percuma! Sulur itu akan
meremukkan tubuh kalian dan menghancurkan setiap tulang – tulang
kalian! Ditambah lagi..."
Nema
melemparkan benih Dandelion miliknya. Dua tumbuh di gadis rambut
karamel dan tiga tumbuh di gadis berambut putih disebelahnya.
"Bunga itu akan menghisap energi kehidupan kalian secara perlahan, jadi nikmatilah."
Nema
berbalik, kembali ke tempatnya di atas dahan pohon besar. Sebuah
senyuman sinis menghiasi wajahnya. Yah, dia memang sangat menikmati
menyiksa manusia.
Saat
Nema telah sampai ke tempatnya, ia sudah berelaksasi, menikmati alunan
merdu suara rintihan kesakitan kedua korbannya dengan keangkuhan
seorang ratu sejati.
***
Act II Conclusion
"Ughh.....Ca..Carol...?" Luna memanggil gadis berambut karamel di sebelahnya yang sama – sama berada dalam keadaan terikat.
"Berisik! Keadaanku sedang kritis dan kau mengajak bicara? Benar – benar kau i—Arrrgghhh!"
Jeratan
sulur dan akar tanaman Nema mulai meremukkan tulang Carol. Sementara
bunga dandelion yang tumbuh di permukaan tubuhnya menghisap energinya
secara perlahan, meraup Carol dari kesadaranya. Ia harus segera keluar
dari sini.
Tapi bagaimana?
Situasi
Carol sekarang seperti diujung tanduk. Sulur – sulur yang mengikatnya
membuat seluruh tubuhnya remuk redam, hingga hampir – hampir tidak bisa
menggerakkan seujung jaripun. Bunga dandelion yang tertancap padanya
cepat atau lambat akan menghabisi nyawanya.
Tak
lama, keputus asaan menghampiri Carol. Sudah tak ada gunanya lagi ia
berjuang. Kematian sudah ada di depan mata. Jika ia kalah dari
pertempuran ini, nasibnya akan sama seperti sebelas orang yang dibantai
habis – habisan oleh sang dewa merah.
Carol
pasrah kepada nasib buruknya, lagipula ia sudah bernasib buruk dari
awal. Dimulai dari terpisah dari orang tua kandung, dimasukkan ke panti
asuhan illegal dimana ia sering dipukuli, mati dalam tugas pertama
saat menjadi pustakawan, sampai menjadi suruhan hina seorang dewa yang
mengadakan sebuah pertarungan sampai mati demi kesenangan sementara.
Carol menundukkan kepalanya. Apapun yang terjadi setelah ini, ia terima dengan lapang dada.
Kemudian ia menyadari sesuatu jatuh dari kantungnya. Sebuah gulungan kecil kertas.
Kertas apa?
Gulungan kertas itu terjatuh tak jauh dari tempatnya, kemudian terbuka perlahan. Carol memperhatikannya dengan seksama.
"Itu.."
Puisi
yang ia buat. Sebagai seorang penikmat buku, wajar kalau terkadang
Carol memiliki keinginan untuk menulis. Apapun ia tulis, selama
inspirasi masih memenuhi pikiran kecilnya.
Carol menyeringai. Puisi buatannya sendiri itu baginya adalah jawaban untuk keluar dari jerat – jerat sulur ini.
"Haaaa.."
Perlahan udara masuk kedalam mulut Carol, memenuhi rongga dadanya. Carol bersiap untuk membaca puisi buatannya.
"Metal enriches water
Water nourishes wood
Wood feeds fire
The great land covered in roots, vanish."
Sebuah
percikan api muncul di dekat kakinya dan perlahan semakin membesar,
membakar sulur tanaman yang mengikatnya juga benda – benda
disekitarnya. Luna yang terikatpun terbebas dari jeratan yang
menyiksanya. Sedangkan bunga yang tadinya tumbuh di tubuh mereka berdua
ikut terbakar. Tak luput darinya juga Aquilla milik Carol yang baru
saja dipanggil lewat buku.
[Golden Tongue]
Kemampuan
khusus Carol untuk merealisasikan apapun yang ia baca. Yang barusan
adalah mengubah sebuah situasi fiksi menjadi kenyataan. Kemampuan yang
hampir setara dengan dewa yang menciptakan.
Tapi
sayangnya, dimana ada kekuatan pasti ada kelemahan. Situasi yang
diciptakan oleh kemampuan [Golden Tongue] memiliki durasi terbatas.
Hanya
sepuluh menit. Batas dari efek [Golden Tongue]. Setelah itu, semuanya
akan kembali seperti biasa. Tapi waktu sepuluh menit bagi Carol sudah
cukup untuk menggilas lawan yang telah meremehkan kemampuannya.
Begitu
Nema menyadari hal yang sedang terjadi, segalanya telah terlambat.
Tamannya kini menjadi lautan api yang merah membara, hanya tersisa
sedikit darinya yang masih dapat dikatakan sebagai "taman".
"Manusia kurang ajar!! Beraninya....beraninya kalian membakar semua!"
Kemarahan
Nema yang membara membuatnya buta sasaran. Bagi para Viridian yang
merupakan ras pecinta alam, keberadaan tanaman sudah seperti keluarga
sendiri. Siapa yang berhasil merawat alam sebaik – baiknya dapat
dikatakan sebagai teladan bagi yang lain, sehingga wajar kalau
dikatakan bahwa harga diri mereka terletak pada alam dan tanaman.
Namun
apa yang ada di depan mata Nema adalah seluruh harga dirinya sedang
dibakar. Ia mengamuk dan mulai menyebarkan benihnya ke segala arah.
Segala
serangan yang Nema lancarkan secara membabi buta dapat dengan mudah
dihindari oleh Carol. Apalagi asap hasil pembakaran yang mengenai Nema
membuatnya kehilangan kekuatan. Kelemahannya adalah asap.
Saat
Carol sedang menghindari setiap serangan yang Nema lancarkan, kakinya
tersandung dan ia terjatuh. Sekarang Carol menjadi sebuah sasaran
empuk.
"Haha! Matilah!"
Di
tangan kanan Nema terdapat segenggam benih yang berisi baby blue dan
dandelion. Bunga yang akan menghancurkan lawannya menjadi serpihan
tanah sambil menyerap energinya secara perlahan sekaligus.
Nema
mengayunkan tangannya, melempar benih itu ke arah Carol yang baru saja
terjatuh. Tapi ada yang aneh. Mendadak tangan kanannya mati rasa,
disusul dengan rasa perih yang amat sangat.
Usut
punya usut, ternyata tangannya telah tertembus oleh sebuah peluru yang
ditembakkan oleh Luna yang berada di belakang Carol dengan sebuah
sniper berkaliber besar.
Benih
– benih yang tadinya berada dalam genggaman tangannya kini tersebar,
tidak mencapai Carol dan malah tumbuh di sekujur tubuhnya. Sekarang
seluruh tubuhnya sebagian besar dipenuhi oleh baby blue, membuat
tubuhnya perlahan – lahan menjadi tanah.
Nema ambruk seketika, dengan keadaan yang mengenaskan.
Carol bangkit, berjalan ke arah Nema dan meletakkan kakinya di atas kepala Nema.
"Hah! Makhluk primitif sepertimu sudah ditakdirkan untuk takluk di depan ilmu pengetahuan."
"Ja-jangan...."
Nema
menatap sol sepatu Carol. Seluruh energinya sudah terkuras habis.
Selain karena baby blue yang mengubah tubuhnya menjadi tumpukan tanah,
Nema sudah terlalu banyak terkena asap.
"Tenanglah, kau hanya akan mencicipi sedikit 'neraka'. Selain itu, semuanya akan baik baik saja."
Carol menarik buku lain dari ruang hampa.
"May this unpure body blessed by the wrath of divine flames, turning them into a pure charcoal."
"Tidaaaaaaakkk!!!"
Dengan
cepat, api menyelimuti tubuh Nema. Seluruh tubuhnya hangus terbakar
dilalap si jago merah. Sebuah akhir yang mengenaskan untuk seorang
pecinta alam.
Beberapa
menit kemudian, api telah padam. Bagian yang tadinya menjadi lautan
api seakan – akan disulap kembali menjadi bentuknya seperti
sediakala—gedung – gedung tinggi pencakar langit yang berwarna hitam
pekat.
Dua orang gadis terlihat sedang berteriak antara satu sama lain, di tengah – tengah kompleks gedung megapolitan.
"Hah? Tadi aku yang membantumu, kalau tidak kau sudah lenyap dari pulau ini sekarang."
"Siapa
suruh? Aku kan tidak pernah minta bantuanmu. Lagipula aku, Carol
Lidell adalah orang yang paling berkompeten disini jadi diamlah!"
"AAAAH!! MENYEBALKAN! KAU BENAR – BENAR TIDAK BISA MENJAGA MULUTMU YA ANAK KECIL!!"
"APA! KATAKAN ITU SEKALI LAGI!"
Hati
memanas. Urat – urat menegang. Luna mengarahkan moncong senjatanya
pada Carol sementara Carol sendiri sudah menarik buku baru dan sekarang
berada di tangannya.
Saat adu otot di antara mereka sudah terlihat seperti tak terelakkan,
"Hentikan."
"Eh?"
Luna menurunkan senapannya. Carol masih terpaku ditempatnya.
"Aku benci mengatakan ini, tapi bagaimana kalau kita tunda dulu pertarungan kita."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku adalah—kita menunda pertarungan kita dan sebaiknya menghabisi peserta lainnya terlebih dahulu."
"Atas dasar apa kau berkata begitu?"
"Barusan."
Carol
mengingat – ingat kejadian barusan. Barusan dimana dia hampir saja
mati kalau seandainya dewi fortuna tidak berpihak padanya.
"Baiklah,
tapi dengan satu syarat. Yang paling banyak membunuh maka dia yang
menang, baru setelah itu kita bertarung sampai salah satu dari kita
mati."
"Diterima." Luna mengiyakan syarat dari Carol.
Kemudian mereka berjalan bersama, menuju bagian tengah pulau.
—TO FINAL ACT—
Final Act
Ravelt's part
Gedung tengah pulau Ryax.
Sebuah
gedung yang terletak di pusat pulau, sekaligus yang tertinggi di
antara gedung – gedung lainnya. Memeberikan sebuah kesan kemegahan dan
keagungan bagi siapapun yang memandangnya.
Diatasnya
terdapat sebuah lingkaran merah dari hasil proyeksi alat hologram yang
terletak di puncak gedung, menampilkan susunan angka – angka yang
merupakan sisa waktu dari pertandingan ronde ini.
[06:23:25]
Layaknya sebuah bom waktu, angka – angka itu terus bergerak mundur, menandakan bahwa sisa waktu yang ada semakin sedikit.
Kembali ke gedung tadi.
Sekarang,
kondisi bagian dalam bangunan berlantai seratus itu sudah porak –
poranda. Mulai dari pintu lantai satu yang hancur berantakan, bagian –
bagian tubuh robot penjaga yang berserakan, bagian kaca gedung yang
hancur lebur hingga lima puluh lantai, dan beberapa lantai yang sudah
rubuh—membuat beberapa tingkat menjadi satu.
Kemegahan yang tadinya terlihat dari gedung itu, sekarang tak menampakkan dirinya lagi.
Dan semua ini karena perbuatan satu orang.
"Aaaah, merepotkan sekali tempat ini."
Ravelt
sedang menggerutu di dalam lift yang berjalan dari lantai ke sembilan
puluh sembilan menuju lantai seratus. Seluruh daya listrik di gedung
itu telah mati. Beruntung ia sedang dalam kondisi Divine Access
dan lift ini dapat digerakkan secara manual selama memiliki energi,
sehingga sekarang ia dapat menjalankan lift ini menuju lantai terakhir
dengan menggunakan listrik yang ia hasilkan.
Tak
perlu diperjelas bahwa mulai dari halaman depan gedung sampai lantai
sembilan puluh sembilan sudah dihancurkan olehnya. Sebagai catatan, ia
bahkan menghancurkan pintu masuk menggunakan robot pribadinya hanya
untuk membuat kedatangannya terlihat "keren".
Ting
Bel
lift berbunyi, menandakan bahwa ia telah sampai di tujuannya. Pintu
otomatis lift terbuka, kemudian Ravelt melangkah keluar dari kotak
kecil yang telah membawanya kesini.
"Hmm?"
Ravelt menyadari bahwa ada yang berbeda dari lantai ini.
Tidak
sebagaimana lantai – lantai sebelumnya, di lantai ini tidak terdapat
sistem keamanan apapun seperti kamera pengawas, puluhan android yang
menunggu dengan senjata mengarah tepat ke wajah, sinar laser yang akan
menghanguskan badan jika tersentuh, dan sensor yang mendeteksi
keberadaan penyusup lalu mengaktifkan berbagai macam senjata yang siap
membunuh target.
Malahan,
di lantai ini terdapat sebuah ruangan besar yang hampir tidak terdapat
satu bendapun, kecuali sebuah singgasana yang hanya bisa dicapai oleh
tangga.
Ravelt
mempercepat langkahnya menuju singgasana itu dengan tanpa keraguan
sedikitpun. Tidak takun akan kemungkinan jebakan yang mungkin berada
disana.
Saat
Ravelt tiba di bagian terbawah anak tangga yang menuju singgasana,
sebuah hal aneh terjadi. Langkahnya dihalangi oleh sebuah dinding tak
terlihat. Sementara bayangan – bayangan bergerak, membentuk sesuatu
dibelakang tubuhnya.
"Lucifer." Ravelt memanggil sebuah nama perlahan.
"Hebat. Bagaimana kau bisa tahu kalau itu aku?" bayangan di belakangnya menjawab dengan suara berat.
"Menyadari
keberadaanmu semudah mencari ayam hitam di siang bolong. Lagipula,
kenapa kau bisa berada disini? Bukankah seharusnya kau sudah mati?"
"Mati? Memangnya kau pikir siapa yang memberimu kekuatan untuk mengakses Dark Power-mu? Kalau aku benar – benar mati, kau tidak akan bisa menang melawan musuh – musuhmu selama ini."
Ravelt menghela nafasnya.
"Oke, urusan matimu bisa dibahas belakangan. Sekarang jawab aku, kenapa kau di tempat ini?"
"Kau ingin tahu?" bayangan itu membentuk mulut yang kemudian menyeringai.
"Jawab aku!" Ravelt berbalik, menatap bayangan itu dengan tatapan tajam yang seakan – akan menembus jiwa.
"Hahaha, selalu memaksa orang yang tidak mendengarkanmu dengan intimidasi, ini benar – benar terasa seperti nostalgia."
"Lucifer, cukup. Kalau kau tak bisa bicara, enyahlah dari sini."
Atmosfir
di ruangan itu mendadak menegang, menciptakan sebuah tekanan mental
yang luar biasa. Beberapa detik kemudian seluruh tubuh Ravelt telah
diliputi oleh aura kuning keemasan. Tongkat ruby yang berada di
tangannya menghilang, berubah bentuk menjadi dua buah cincin yang
terpasang di jari – jarinya.
"Hei hei, tenanglah, aku disini tidak mungkin melawanmu."
"Kalau begitu bicaralah."
"Ruangan ini adalah tempat pemanggilan kegelapan dirimu yang terdalam. Dengan kata lain, aku adalah personifikasi dirimu."
"Jangan bercanda, yang kulakukan padamu hanya menyerap jiwamu saat kau mati di Underworld sana."
"Kau
masih tak percaya? Kalau begitu coba pikirkan, manusia macam apa yang
mampu menghisap jiwa iblis yang terkuat dan bahkan mengendalikannya
sesuka hati?"
Ravelt
tertegun. Ia tersadar dengan sebuah fakta bahwa iblis hanya akan
mengakui sesuatu yang lebih jahat dari iblis itu sendiri.
"Untuk melindungi, terkadang kegelapan itu perlu." Ravelt menjawab perkataan Lucifer.
"Hah! Teruslah berdalih dengan omong kosongmu, aku bosan mendengarnya."
"Terserah padamu."
"Sebenarnya
tempat ini dibuat untuk menguji keangkuhan mereka yang datang kesini,
tapi apa boleh buat. Kau sudah mengalahkanmu sebelumnya dan aku tak
bisa berbuat banyak dengan wujud ini."
"Kalau begitu enyahlah, aku masih banyak urusan."
"Lihat
itu! Kau seharusnya berkaca! Pandanganmu barusan adalah pandangan
merendahkan dari mereka yang berada di atas. Pandangan yang kau sebut –
sebut sebagai yang paling kau benci."
"Tutup mulutmu!"
Segera
bayangan hitam itu membeku, membuat sebuah patung es. Tapi kemudian es
yang terbentuk segera mencair, digantikan oleh asap hitam.
"Satu peringatan dariku." Asap hitam itu berbicara dengan nada suara yang sama seperti bayangan sebelumnya.
"Jiwamu akan hancur, sebentar lagi kau harus memilih."
Kata
– kata itu mengirim sinyal di otak Ravelt, membuatnya terpaku di
tempat selama beberapa detik. Ia telah menyadari hal itu, semenjak
pertama kali ia melakukan pertarungan pertamanya di dunia Deismo, Parallel World.
Tapi kemudian Ravelt balik membalas perkataan asap hitam di depannya tanpa keraguan sedikitpun.
"Jangan bodoh. Aku orang yang selalu berjalan di garis batas antara cahaya dan kegelapan."
"Hmph, aku penasaran apakah kau masih dapat menjawab seperti itu saat jiwamu berada di ambang kehancuran."
Sesaat
kemudian asap hitam itu lenyap, bersamaan dengan hilangnya dinding
yang menghalangi antara ia dengan tangga yang menuju ke singgasana.
Segera Ravelt menaiki tangga menuju singgasana, lalu duduk diatasnya.
Begitu
Ravelt duduk, ia segera menyilangkan kakinya dengan posisi yang kanan
di bawah. Ravelt merebahkan punggungnnya ke sandaran, sementara kedua
tangannya ia letakkan di sisi samping kursi.
"Ah, nyaman sekali."
Kemudian ia menyadari bahwa ada sebuah tombol merah di sandaran tangan kanannya.
"Ini?"
Penasaran, Ravelt menekan tombol itu dan mengaktifkan beberapa layar hologram persegi empat yang muncul di depannya.
"Hooooooo...."
Sebuah senyuman jahat khas dirinya muncul di wajahnya.
"Ini bisa digunakan."
***
Stallza's part
Seorang pria sedang duduk di ruangan salah satu gedung di pulau Ryax. Rambut berwarna hitam dipotong pendek. Mata berwarna karamel, alis mata berbentuk sayap elang, kulit berwarna coklat, berambut hitam pendek.
Ia adalah peserta dari permainan ini, namanya Stallza. Daan ia baru satu jam diturunkan oleh Hvyt ke pulau ini.
Stallza
hanya duduk di pojokan ruangan. Perlu diperhatikan, sejak pertama kali
ia datang ke pulau ini, yang ia lakukan adalah menghindari setiap
peserta. Ia juga berjuang melawan suara hati yang menyuruhnya untuk
angkuh dan menghadapi pertarungan.
Berkali
– kali ia mendengar suara ledakan dan pertarungan, akan tetapi semua
berusaha ia hiraukan. Baginya yang biasa berpikir rasional sebelum
melakukan apapun, keinginan tiba – tiba untuk berlomba menjadi yang
terkuat dan menjadi penguasa di pulau ini adalah sebuah hal yang
abnormal.
"Ini pasti salah satu tipuan dari dewa palsu itu!" gumamnya pada dirinya sendiri.
Ia
memang tidak berniat untuk mengikuti pertarungan ini.Tujuannya
sekarang adalah menentang entitas yang bernama Thurqk, jadi sebisa
mungkin ia tidak membunuh orang.
Kaulah yang terkuat.
Suara itu kembali menghantui kepalanya.
"Tidak!" Stallza berteriak, mensugesti dirinya sendiri untuk tidak mengikuti pikirannya.
Habisi mereka semua.
"Tidak akan!"
Stallza masih terus melawan. Musuhnya kali ini adalah dirinya sendiri.
Kenapa? Bertarunglah dan tunjukkan mereka bahwa kau yang paling tinggi.
"Tidak...akan...pernah...UAAAAAAAAHHHHHH!!"
Stallza
memegang kepalanya, melawan segala bisikan yang masuk dan berusaha
mengusirnya. Keringat membasahi tubuhnya, pertanda bahwa perjuangan
yang ia lakukan bukan sembarangan.
Mendadak
suara itu menghilang, lalu Stallza langsung ambruk dan terjatuh ke
atas lantai. Kesadarannya hilang, pertanda bahwa tubuhnya butuh
istirahat.
Beberapa
jam kemudian, ia terbangun dari tidurnya. Suara dan bisikan yang dari
tadi mengganggu pikirannya sekarang sudah tidak terdengar lagi, dan ia
memutuskan bahwa sekarang waktunya bertindak.
Ia harus keluar dari pulau ini, tanpa membunuh siapapun.
"Aku
harus mencari yang lain." Stallza bangkit, dan segera bersiap untuk
pergi setelah beberapa menit duduk dan menghilangkan pusingnya.
Setelah
susah payah keluar dari gedung itu dan melewati beberapa android
penjaga, Stallza menemukan dirinya sedang menunggangi salah satu
spiritia miliknya, Helia—seekor ubur – ubur yang dapat terbang di
angkasa.
"Helia, kesana!"
Stallza
memerintahkan spiritia miliknya menuju gedung tengah pulau Ryax. Dari
jauh pun terlihat bahwa ada sesuatu yang tidak beres disana. Stallza
berharap bahwa setidaknya ia akan menemukan peserta lain yang masih
bisa diajak bicara.
Akhirnya
ia sampai ke bagian depan gedung. Pemandangan yang ia dapatkan disini
benar – benar tak dapat dipercaya. Ratusan sisa – sisa tubuh android
berserakan, seperti baru terjadi sebuah pembantaian masal. Pintu bagian
depan gedung hancur lebur, sampai – sampai tak ada sedikitpun yang
tersisa.
Stallza kemudian kembali lagi ke atas Helia.
"Helia, sekarang ke atas, terbang!"
Dengan
satu perintah Helia melesat ke bagian atas gedung, lantai ke seratus
sekaligus yang terakhir dari bangunan yang sudahh porak – poranda ini.
Beruntung baginya, di lantai terdapat sebuah lubang masuk yang cukup besar untuk dia dan spiritianya masuki.
Begitu
ia masuk, Stallza menyaksikan seorang pria sedang duduk di atas sebuah
singgasana. Pria juga tampaknya menyadari kehadirannya, ditandai oleh
sepasang mata yang mengawasi setiap gerak – geriknya.
"Aku sudah menunggumu disini." Pria berambut pirang itu angkat bicara.
"Kau sudah tahu bahwa aku akan kesini?"
"Ya, dan aku bahkan tahu yang lainnya juga sedang menuju kesini, tapi itu masalah nanti. Siapa namamu?"
"Stallza"
"Namamu pendek sekali."
"Sudah darisananya, kau sendiri siapa?"
"Ravelt, Ravelt Tardigarde."
Ia menjawabnya, kemungkinan bisikian pulau ini tidak berpengaruh padanya.
Stallza memperhitungkan hasil dari percakapannya.
"Ravelt, bisakah aku memintamu melakukan sesuatu?"
"Dan itu adalah?"
"Bantu aku untuk mengalahkan Thurqk."
"Ditolak."
"Kenapa? Bukankah seharusnya kau juga membencinya?"
"Karena aku sendiri yang akan memenggal kepalanya."
Jawaban yang keluar dari mulut Ravelt membuat Stallza tertegun.
Apakah dia sekuat itu?
"Ah, simpan ocehanmu untuk nanti. Kita punya jadwal sekarang." Ravelt melanjutkan kata – katanya.
Tepat saat Ravelt mengatakan itu, dua orang gadis sedang bersiap untuk memasuki gedung dari lantai pertama.
***
Final Act — Last Conclusion
Lantai ke-100 gedung tengah pulau Ryax.
Ravelt melihat situasinya sekarang. Keenam orang peserta yang tersisa telah berkumpul di satu tempat.
Seorang gadis berambut karamel yang manis.
Seorang lagi gadis berambut putih yang tidak kalah manisnya.
Perempuan berambut norak yang memegang sebatang tongkat.
Pria bertudung.
Makhluk lendir bulat berwarna biru.
Dan terakhir adalah dirinya, yang sedang duduk di atas singgasana yang baru saja menjadi miliknya.
"Hoaaaaaaamhh, Sepertinya masih kurang satu." Ravelt bergumam sambil menguap.
"Kenapa ini.....kenapa tiba – tiba?" pria bertudung tampak bingung dengan apa yang terjadi.
Jelas
saja ia bingung, sebab sekitar lima menit yang lalu yang datang
hanyalah si gadis berambut karamel dengan gadis berambut putih, hanya
mereka berdua.
Namun tiba – tiba muncul dua peserta lainnya, entah darimana.
Ravelt berdiri dari singgasananya, kemudian berjalan menyusuri tangga dan menghampiri kumpulan orang di bawahnya.
"Aku
hanya mendistorsi ruang dan mentransfer yang tersisa kesini, itu cukup
mudah. Sekarang kalian semua menyerangku, majulah, jangan malu –
malu."
"Cih, aku tak punya waktu meladeni orang lemah sepertimu. Lebih baik aku menghabisi makhluk lendir disana itu."
"Hoho, buruan yang merelakan dirinya sendiri untuk dihabisi. Carol, mundur, yang satu ini milikku."
"Tidak akan. Orang ini sudah menghinaku dengan menyuruh menyerangnya beramai – ramai, dia pikir aku ini siapa?"
"Kalian semua, hentikan!" Stallza berusaha melerai, tapi usahanya sia – sia.
"..." Emils hanya diam di pojok ruangan.
Situasi
memanas, tampaknya hanya tinggal sedikit lagi sebelum pertempuran
besar – besaran yang sengaja Ravelt akan segera terjadi. Tapi untuk
membuatnya seru, ia harus membuat semua yang berada di situ
menyerangnya.
Kemudian Ravelt menyentuh pundak perempuan yang berambut merah-biru, sambil menampilkan senyumnya.
"Nona
maaf, tapi tujuanku memindahkanmu kesini adalah agar permainan bodoh
ini berakhir lebih cepat, aku tidak punya banyak waktu."
"Enyahlah!"
Tubuh
perempuan itu mendadak membeku, ditempat dimana Ravelt meltakkan
tangannya. Tangan Ravelt mati rasa. Tidak hanya itu saja, tapi perlahan
– lahan bagian tangan Ravelt juga membeku.
"Pengendalian es? Ini hanya buang – buang waktu saja."
Tepat di saat itu, sebuah peluru berdesing melewati kepalanya, menggores pipi kanannya. Ditambah lagi dengan sebuah dropkick yang mengarah pada kepalanya.
Namun Ravelt berhasil menghentikan tendangan itu dengan satu tangan dan menangkap kaki yang mengincarnya barusan.
"Kau cukup hebat juga. Tapi tetap aku yang lebih hebat!" kata Luna, sang gadis berambut putih.
Luna mengangkat tubuhnya dan melayangkan tendangan samping menggunakan kakinya yang lain.
Ravelt
yang tidak dapat bertahan menggunakan tangan kanan terpaksa harus
melepaskan tangannya yang sedang menahan kaki Luna, melemparkan tubuh
kecil Luna kebelakang, sementara Luna berhasil mendarat dengan sebuah
salto.
"Mengagumkan, aku tak menyangka kau bisa selincah itu."
"Belum semua." Luna menjentikkan jarinya.
Ravelt
menyadari ada sesuatu yang tertempel di bajunya, dan itu adalah sebuah
bom tempel. Soal kapan benda itu ada disana sudah jelas, momen
tendangan barusan hanyalah pengecoh.
BLAAARR!!
Sebuah
dentuman keras terdengar di seluruh ruangan sekaligus menggetarkannya.
Ledakan besar menelan Ravelt, sementara yang lainnya hanya terhempas
sedikit oleh gelombang udara yang dihasilkan.
"Fiuh, untung dia lengah. Carol, catat satu poin untukku."
"Catat sendiri, aku sibuk disini!"
Carol sedang berdiri berhadap – hadapan dengan Stallza, sang pria bertudung.
"Kau. Berlututlah dihadapanku, Carol Lidell."
"Maaf nona, tapi gadis kecil seperti nona..."
"APA! KECIL! KAU SUDAH BOSAN HIDUP YA?" Carol menerjang maju ke arah Stallza, dengan sebuah buku ditangannya.
"Oh
sial, Helia kembali! Ferra!" Stallza memanggil spiritia yang lain,
kali ini seorang gadis berambut merah yang membawa sebuah palu besar.
"Aku disini tuan."
"King of Ire,
Orphan's shield,
Pathmaker,
Pathfinder,
Landlord of terraced hills." Carol membaca bukunya sambil berlari. Tangannya yang tadi masih bebas kini menggenggam sebuah pisau lipat.
Orphan's shield,
Pathmaker,
Pathfinder,
Landlord of terraced hills." Carol membaca bukunya sambil berlari. Tangannya yang tadi masih bebas kini menggenggam sebuah pisau lipat.
"Pisau kecil seperti itu tidak akan bisa menahan paluku!" Ferra maju menyambut Carol.
Biasanya
apabila sebuah palu diadu dengan pisau kecil, pisaunya akan langsung
patah. Tapi pisau milik Carol telah bertambah secara drastis
kekerasannya, dikarenakan yang baru ia baca adalah sebuah puisi tentang
Ogun, seorang dewa yang dikenal di Afrika sebagai dewa yang menguasai
besi.
Palu dan pisau beradu.
Sementara
itu di tempat yang berjarak hanya dua puluh meter dari area
pertempuran antara Carol dan Stallza, sebuah "pertempuran" pribadi
dimulai.
"Kembali kau kemari, makhluk lendir!"
Emils dan Stella sedang mengulangi adegan kejar – kejaran mereka saat pertama kali bertemu.
"Nenek tua ini lagi, sial! Tactical retreat!"
Emils
terjun segera terjun dari lantai itu ke bawah, sambil menghindari
pasak es yang Stella lemparkan. Baginya, mundur disaat terdesak untuk
mencari celah dari lawan adalah sebuah kekuatan.
"Jangan kabur!"
Stella menyusul Emils terjun, sementara Luna
"Ah, mereka sudah pergi. Tapi tidak akan bisa lari, haha!"
Menyiapkan snipernya.
Tapi,
Luna tidak menyadari bahwa ada sesosok manusia yang mendekatinya dari
belakang. Ia terlalu fokus membidik antara Emils dan Stella yang sedang
terjun kebawah.
"Kau membiarkan bagian belakangmu terbuka nona."
"Hya~"
Luna
merasa tergelitik. Sebuah jari mengusap bagian belakang lehernya
dengan pelan. Seseorang telah berhasil mengendap ke belakang tubuhnya,
yang mana hal itu ia rasa hampir tidak mungkin dilakukan, kecuali kalau
orang itu memiliki kemampuan jauh di atas dirinya. Dan orang ini baru
saja melakukannya.
"Oh, barusan suara yang manis." Ravelt hanya diam di tempatnya, tersenyum.
"Bagaimana mungkin kau bisa bertahan? Bahkan sampai menyusup ke belakangku"
"Dari
bom itu? Kecil, sedikit pengendalian elemen api tidak akan membuat
ledakan itu melukaiku. Untuk soal menyusup, aku hanya sedikit menghapus
eksistensi diriku kemudian mengembalikannya."
Lagi,
pikir Luna. Dari tadi orang ini membicarakan tentang hal yang benar –
benar diluar akal sehat. Oke, semua orang disini memang tidak ada yang
dapat dicerna oleh akal sehat. Tapi bagi Luna, yang ini benar – benar
diluar akal sehat. Manipulasi ruang? Tidak mati dengan bom dalam jarak
nol? Menghapus eksistensi? Luna merasa, satu – satunya yang bisa
menandingi kekuatan orang ini hanyalah eksistensi sang penguasa Jagatha
Vadhi.
Sebenarnya
jauh di dalam lubuk hatinya, Luna merasa bahwa orang ini kuat. Tapi
hatinya sudah terlanjur termakan oleh kutukan pulau ini.
"Sampai matipun....."
"?"
Luna tertunduk.
"Aku tak akan mengakuimu sebagai yang terkuat!"
"Tidak walaupun setelah melihat ini?"
Ravelt
menghancurkan atap bangunan dengan satu tangan, menyebabkan
pertarungan antara Carol dan Stallza terhenti. Puing – puing bangunan
sudah pasti akan menghancurkan Stallza, kalau bukan karena reaksi Ferra
yang cekatan melindungi tuannya. Lebih beruntung lagi Carol, yang
tidak terkena reruntuhan sama sekali.
Sekarang
yang terlihat bukan lagi atap gelap yang menyembunyikan, akan tetapi
sebuah langit berwarna merah kehitaman yang luas, mengingatkan kepada
setiap peserta bahwa ini adalah realm milik Thurqk, Devasche Vadhi.
Luna menyadari sesuatu.
Cahaya Bulan
Luna
berpikir bahwa sekarang ia dapat menggunakan seluruh kekuatan
maksimalnya, dengan catatan ia memiliki waktu untuk meng-cast [Song of
the Moonlight]
"Ada apa?" Ravelt bertanya ke Luna, tapi yang ditanya tidak mau menjawab.
"Kalau kau masih punya kekuatan tersembunyi, keluarkanlah. Aku memberimu kesempatan."
Orang ini memandang rendah diriku.
"Benarkah? kau akan menyesal."
Aku akan membasminya!
"Song of the Moonlight."
Luna mulai menyanyikan sebuah lagu, meng-enhance kekuatannya menggunakan sihir cahaya bulan.
Ravelt
masih diam, menunggu Luna selesai. Tapi ia dihujani serangan bertubi –
tubi dari pistol dan pisau Carol. Gadis itu menggunakan Aru-kata, sejenis beladiri yang menggunakan pistol dalam pertarungan jarak dekat.
Luna
selesai mengucapkan manteranya, dan maju menghadang Ravelt yang
berjarak tiga meter darinya. Sekarang Ravelt menerima kombinasi
serangan jarak dekat Carol dan jarak menengah Luna.
Stella
dan Emils yang tadi terjun ke bawah, kini sedang mengulangi
pertandingan mereka. Perbedaannya adalah Emils semakin terdesak.
Musuhnya tahu kelemahan tahanannya.
"Hah!
Jadi dinding es mu hanya tahan terhadap suhu dan bukan tekanan ya?
Bagus, sekarang dinding rapuhmu tidak akan bisa menahan seranganku"
Stella terus meneyerang Emils bertubi – tubi , sehingga Emils terpaksa bertahan.
Kembali ke pertarungan Ravelt.
Sekarang
Ravelt sudah terbang di jarak yang cukup jauh dari Luna dan Carol.
Seluruh permukaan tubuhnya dipenuhi oleh luka – luka dan goresan –
goresan.
"Kalian berdua cukup kompeten. Akan lebih baik lagi kalau kalian menjadi bagian koleksiku."
"Tak sudi!"
"Tak sudi!"
Luna dan Carol menjawab bersamaan.
"Sangat disayangkan. Kalau kalian tidak mau, aku yang akan mengambil secara paksa. Supreme Existence!"
Wujud
Ravelt menjadi semakin terang. Aura keemasan yang menyelimuti tubuhnya
membuatnya semakin diperhatikan. Seluruh pandangan mata orang lain
tertuju padanya. Sekarang Ravelt menjadi pusat perhatian.
Bahkan Stella pun menunda serangannya terhadap Emils.
"Sekarang, waktunya Battle Royale." Senyuman jahat khas Ravelt tergambar jelas di wajahnya
Stella yang berada dibawah langsung memanggil Fair Dragon,
menghiraukan Emils dan langsung maju menuju Ravelt. Luna menghujani
Ravelt dengan tembakannya lebih parah dari yang tadi. Carol mengambil
buku lain, dan mulai membacanya keras – keras.
Stallza memanggil dua buah spiritia lagi. Satu wanita berzirah perak dan satu lagi seekor burung layang – layang berwarna biru.
"Argia, Hidro, Ferra, Spiritialis bersamaan sekarang!"
"Tapi tuan itu akan.." Argia menyampaikan keberatannya.
"Aku setuju, terlalu beresiko." Ferra juga menolak.
"Lakukan!
Dihadapan kita sekarang adalah entitas dengan kekuatan luar biasa!
Kalau kita tidak melakukannya, kita yang akan mati."
"Baiklah." Ferra mengiyakan, sementara Argia hanya mengangguk.
Beberapa
saat kemudian, Stallza telah memakai sebuah armor perak dengan sebilah
pedang, dan sarung tangan berwarna merah. Stallza sekarang berbagi
kesadaran dengan ketiga spiritia yang ada dalam tubuhnya.
Kekuatan
dan kecepatan. Stallza memiliki keduanya, dan sekarang ia menghadapi
Ravelt. Stella yang sedang menunggang naga juga ikut menghujani Ravelt
dengan bola api dan pasak – pasak es.
Pada
awal pertarungan, Ravelt tampak kewalahan mengatasi kombinasi serangan
mereka berdua, akan tetapi semakin lama durasi pertempuran, kecepatan
Stallza akhirnya menurun. Melakukan spiritialis bersama tiga spirita
beresiko menghilangkan nyawanya kapanpun.
Dihitung
dari staminanya, Satllza hanya bisa melakukan satu kali lagi
pergerakan kecepatan suara. Ia mempertaruhkan segalanya pada saat momen
itu tiba. Pedang milik Argia telah diperkuat dengan pasak besi milik
Ferra.
Tapi
pertaruhannya gagal. Meskipun berhasil melukai Ravelt cukup dalam,
butuh kurang dari satu detik untuk melihatnya menerima bogem mentah
dari Ravelt yang membuat beberapa tulang rusuknya patah.
Stallza terpental jauh, menabrak dinding gedung lain.
Sekarang
Ravelt beralih menghadapi Stella, yang hanya efektif menyerang dari
jarak menengah. Fair dragon milik Stella dikalahkan hanya menggunakan
tangan kosong.
"Loki
went to those dwarves who are called Ívaldi's Sons; and they made the
hair, and Skídbladnir also, and the spear which became Odin's
possession, and was called Gungnir." Carol selesai membaca bukunya, lalu melemparkan sebuah tombak.
Saat
posisi Ravelt sejajar dengan Stella, sebuah tombak menembus jantung
Stella dan menghujam dada Ravelt, disusul dengan sebuah ledakan besar.
Ternyata Luna juga menambahkan tembakan dari snipernya, dengan peluru
ledak.
Stella
tidak dapat menggunakan kekuatan logianya. Ia tidak dapat mengubah
dirinya menjadi air, api, maupun asap. Kekuatan tombak yang dilempar
oleh Carol adalah tidak akan dapat meleset dari targetnya, apapun yang
terjadi.
Ravelt jatuh ke tempat dimana Luna dan Carol berada, sambil membawa Stella yang telah menjadi mayat.
Bukannya kesakitan, Ravelt malah tersenyum setelah menaruh Stella disampingnya.
"Kalian
berdua memang yang terbaik. Aku jadi semakin ingin memiliki kalian dan
melempar kalan berdua ke kasur, tapi sayang sekali. Aku punya
pekerjaan yang harus dilakukan."
"Dark Access"
Aura yang menyelimuti tubuh Ravelt berganti menjadi hitam pekat. Petir berkumpul di tangan kanannya.
"Selamat tinggal."
Ravelt
menghantamkan tinjunya ke arah lantai, merobohkan gedung berlantai
seratus itu dalam sekejap dan menimbulkan suara menggelegar yang
mengerikan.
"Apa?"
"Ah..."
Carol
dan Luna terjatuh, dari lantai seratus. Sebenarnya mereka berdua masih
ada kemungkinan untuk selamat tapi begitu sampai dibawah, pedang air
Emils menghabisi mereka berdua. Emils merasa senang, untung ia
mendapatkan suplai air dari sekitar gedung utama, dimana tempat itu
dihiasi oleh banyak kolam air.
Sekarang
misi Emils hanya tinggal satu: menghabisi Ravelt. Ia tidak perlu susah
payah mengeluarkan tenaga ekstra. Dengan cepat, Emils menaiki tumpukan
reruntuhan yang berjatuhan, menuju ke arah Ravelt.
Dan Emils berhasil. Sekarang ia berada di belakang Ravelt. Cukup satu ayunan untuk membebaskan dirinya dari tempat ini.
Saat pedangnya hampir menyentuh Ravelt dalam jarak satu inci, waktu berhenti baginya. Emils terjebak dalam pusaran waktu.
"Kau lemah." Ravelt berkata pada Emils. Kemudian tangan Ravelt masuk ke dalam tubuh Emils, menyentuh intinya.
"Matilah."
Ravelt menggenggam inti Emils hingga hancur berkeping – keping.
Sekarang,
hanya tersisa satu lagi. Stallza yang sedang sekarat. Tanpa basa –
basi, Ravelt langsung terbang mengendalikan angin, pergi ke tempat
Stallza tersungkur.
"Uhuk- uhuk, gahk...!"
Leher Stallza dicengkram dengan erat oleh Ravelt.
"Kenapa? Padahal kita satu tujuan?"
"Maaf,
tapi ini satu – satunya jalan keluar. Lagipula kalaupun kau berakhir
di neraka, aku punya cara untuk menarikmu dari neraka Thurqk itu."
"Kau....apa...?"
"Tak usah banyak bicara. Terimalah kematianmu."
Krak
Leher
Stallza patah. Nyawanya hilang, bersamaan dengan hilangnya ketiga
spritia miliknya yang masih belum sadarkaan diri. Selesai sudah
pertempuran Ravelt kali ini.
Kemudian
Ravelt pergi ke arah singgasana yang tadi. Anehnya, singgasana itu
masih berdiri tegak melayang di udara, tepat di tempatnya yang tadi.
"Sekarang tumbal sudah diberikan. Akuilah aku sebagai rajamu, Ryax."
Singgasana
itu berpendar, mengeluarkan cahaya merah dengan intensitas tinggi.
Detik berikutnya, singgasana itu sudah berubah bentuk menjadi sebuah
kubus besi dengan ukiran huruf aneh di sisi – sisinya.
Sempurna
Dalam hati, Ravelt bergembira. Dengan ini rencananya untuk membunuh Thurqk semakin mulus.
Seketika
kubus itu mengeluarkan beberapa layar hologram berbentuk persegi di
depan Ravelt. Tanpa basa – basi, ia dengan cepat menggerakkan kesepuluh
jarinya di depan layar hologram itu, memasukkan perintah – perintah
dalam bentuk data – data. Ravelt selesai memasukkan data tepat saat
Hvyt datang menjemputnya.
"Selamat tuan Ravelt. Sekali lagi, anda pemenangnya." Hvyt yang datang dari atas memberinya selamat.
Ravelt
hanya bisa menunjukkan ekspresi kemenangan yang pahit. Bagaimanapun,
ia baru saja membunuh orang. Kubus yang berada dalam genggamannya sudah
ia lemparkan ke tanah.
"Hvyt, antarkan aku ke tempat berikutnya."
"Baik jika itu keinginan anda."
Di tengah langit yang memerah dan hembusan angin pelan, Ravelt teringat perkataan Lucifer.
Sebentar lagi, kau harus memilih.
—END—
No comments:
Post a Comment