Link cerita: http://battle-of-realms.blogspot.com/2014/04/round-1j-ravelt-tardigarde.html
Untuk pengenalan entri karakter bisa dilihat pada: http://battle-of-realms.blogspot.com/2014/03/ravelt-tardigarde.html
Apa aku salah?? pertanyaan – pertanyaan mulai timbul dikepalanya.
Apa….apa
yang telah kulakukan?Kenapa…….seperti ini??Dimana salahku?Apakah
membunuh dewa yang menyebabkan penderitaan kepada manusia adalah sebuah
kesalahan??
Apakah ini yang namanya hukuman Tuhan?
“Kalau memang ini hukuman Tuhan…..” Ravelt bangkit, berdiri, lalu menyeka air matanya.
“Biar aku yang menanggungnya sendiri..”
Recreate.
Disuatu
tempat yang entah dimana, terlihat seseorang sedang tidur bersandar
pada sebuah batu besar. Ia memakai kemeja putih, celana hitam, dan
sepasang sepatu van tofel berwarna hitam mengkilap. Dipundaknya juga
terlihat sebuah jubah merah berbulu, yang tampak agak mewah. Tak ada
yang menyadari keberadaan orang itu. Perlahan-lahan ia membuka matanya
yang terpejam, terbangun dari tidurnya. Kemudian ia mengambil tongkat
emasnya yang daritadi memang diletakkan disebelahnya. Ia menatap kearah
langit, termenung.
Pada akhirnya, aku tetap tidak bisa menyelamatkanmu, Alice.
———————————————TO ACT I———————————————
Act I
Ravelt’s part
Ravelt
berdiri, menatap daerah sekitarnya. Ia masih merasa asing ditempat
yang tidak ia ketahui. Dua jam telah berlalu sejak ia dipindahkan
kedunia ini oleh salah satu Hvyt untuk bertarung melawan peserta lain.
“Jadi
pada akhirnya aku dipermainkan oleh dewa untuk menjaga agar dia tidak
bosan?? Haahhh…… sudah berapa kali ini terjadi??” Ravelt menggerutu.
Baginya yang semasa hidupnya telah berkali-kali melawan berbagai macam
dewa , kemudian mati hanya untuk menghilangkan kebosanan dewa lain
adalah sebuah lelucon yang buruk.
“Tapi,
apakah benar ia yang menyebabkan kehancuran pada hari itu?? Kalau
dilihat-lihat dari kekuatannya, sepertinya tidak mungkin. Dan lagi, ia
bilang bahwa semua yang ada disana adalah jiwa yang dipadatkan. Tidak
dapat disadari oleh makhluk lain, akan tetapi dapat mempengaruhi
kegiatan fisik mereka secara langsung. Bagaimana mungkin ini terjadi?
Ditambah lagi, tempat ini……dari kelihatannya ini bukan tempat biasa,
seperti dunia yang sudah berada dalam ambang kehancuran dan bahkan ada
monster dimana-mana……untung mereka tidak bisa melihatku. Tapi,
bagaimana mungkin aku bisa menyentuh mereka?? Ahhh, ini semua
membingungkan!!” Ravelt menggerutu sambil menggaruk kepalanya.
Kemudian, ia melihat seekor harimau merah gelap berloreng hitam pekat dikejauhan sedang menoleh kearahnya.
“Ahh…..
kalau saja aku masih hidup, pasti harimau itu masuk daftar koleksi.”
Ravelt menghela nafasnya. Sedetik kemudian, harimau itu terbang dan
berlari kearahnya. Ravelt membiarkannya, menganggap harimau itu sedang
berlari mengincar target yang lain. Akan tetapi, perkiraanya salah.
“Eh…”
Begitu
mendekati Ravelt, harimau itu langsung menancapkan taringnya ke lengan
kirinya sedalam mungkin. Baru saja Ravelt menyadari apa yang sedang
terjadi, semuanya sudah terlambat.
Sebuah
anak panah melesat, menembus paha kanannya dan tertancap disana.
Disusul kemudian, dua buah anak panah lainnya mengarah tubuhnya dan
mengincar kepalanya. Akan tetapi keduanya meleset. Yang satu melenceng
jauh dari tubuhnya, yang satunya lagi hanya menggores pipi kanannya.
“Divine Access!!”
Aura
keemasan melapisi tubuhnya. Ravelt lalu menggunakan pukulannya untuk
mengusir sang harimau merah. Menyadari bahwa dirinya terancam bahaya,
sang harimau mengelak dan melepaskan gigitannya dari Ravelt, sambil
meloncat mundur beberapa langkah.
“Aku
baru saja bangun dari tidur dan sudah mengalami ini? Hmph…sial
sekali….” Ravelt menatap harimau itu dengan tajam. Lengan kirinya
terluka parah. Ia tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan orang yang
ingin menghabisi nyawanya.
“Keluarlah!!
Jangan hanya bersembunyi dibalik batu dan menyerang seperti seorang
pengecut! Kalau kau memang seorang pemberani, hadapi aku satu lawan
satu!!”
Ravelt
berteriak untuk memprovokasi lawannya meskipun tahu bahwa provokasinya
tidak akan berpengaruh apapun. Tanpa diduga, seseorang berteriak dari
belakangnya.
“Sialaaaan!! Bilang apa kau tadi!!!?”
Dari
balik bebatuan, seseorang yang memakai jubah berwarna merah dengan
wajah yang ditutupi oleh masker gas muncul dan langsung menerjang ke
arahnya. Panah yang tadi dipegangnya, dilempar entah kemana.
“Heeee………provokasiku
bekerja ya? Ah, ya sudahlah.” Ravelt keheranan. Bagaimana mungkin
provokasi kelas tiga seperti tadi membuat marah orang yang barusan
ingin membunuhnya.
“Ini
akan menjadi pertarungan jarak dekat kan?” Ravelt memasang kuda-kuda.
Panah di pahanya telah ia cabut, dan kedua lukanya sudah ia bekukan
dengan es. Senyum jahat menghiasi wajahnya. Tampaknya ia akan
mempermainkan musuh didepannya.
———————————
Andhika’s part
Andhika
marah besar. Ubun-ubunnya memanas. Bagaimana tidak? Baru saja dirinya
dikatakan sebagai seorang pengecut yang kerjanya hanya menyerang dari
balik batu. Apalagi, orang yang menjadi targetnya dalam pertarungan ini
berlagak sombong. Benar-benar tipe orang yang paling ia benci.
“Mati
kau keparat!!” Andhika mendekat, pisau bergelombang tinggi sudah ia
cabut dari sarungnya dan sekarang, ia bersiap untuk menikam musuhnya.
Saat pisaunya hampir menyentuh musuhnya…..
Orang
itu mengelak dari tebasannya. Kemarahan Andhika bertambah, ia sudah
tidak sabar ingin menghabisi orang didepannya. Serangan bertubi-tubi ia
lancarkan, berbagai macam tebasan maupun tusukan juga telah ia
lakukan. Kanan, kiri, kiri, kanan, atas, bawah, kanan, kanan, bawah,
kiri, atas, kiri, kiri. Namun, tetap tak ada satupun yang mengena.
“Jadi
kemampuanmu hanya segini saja? Ayolah, ini tidak menyenangkan sama
sekali.” orang itu menjauh beberapa langkah dari jangkauan pisau
Andhika.
“Diam kau! Dari tadi bisanya hanya menghindar terus!” jawab Andhika dengan penuh emosi.
“Hoho…..bukannya itu berarti kau yang lemah?” orang itu tertawa kecil.
“KURANG
AJAR!! Eza!!” Andhika berteriak penuh emosi, sambil memanggil harimau
merahnya. Namun yang terjadi berikutnya diluar dugaan.
“Terlambat.”
orang itu menghentakkan kakinya, dan tiba-tiba sebuah menara air
keluar dari tanah, mengenai Eza dengan telak. Eza terjatuh, tidak bisa
bergerak.
BUAAAKKKK!!
Sebuah
tendangan mendarat tepat dibagian dada Andhika, sehingga ia terpental
sejauh 30 meter, menabrak sebuah batu besar sekaligus menghancurkanya.
Ia merasa, tulang rusuknya pasti sudah patah dan kalau bukan karena
eksoskeleton yang ia pakai sudah pasti ia tidak akan selamat.
———————————
Conclusion
“Ahh……dia sekarat.” Ravelt memandang kearah Andhika yang sudah terpental jauh menabrak batu besar.
Andhika masih bergerak. Ia menggerakkan tangannya, mencoba memanggil harimaunya.
“E….za…..EZA!!” dengan suara terbata-bata, Andhika memanggil Eza.
Eza bangkit, kemudian terbang melesat cepat kearah tuannya. Sementara Ravelt bergerak mendekati Andhika.
“Dasar bodoh! Kalau saja kau tetap bersembunyi dibalik batuan dan terus memanahinya seperti tadi, kita sudah menang sekarang!”
“Diam
kau dasar binatang sialan! Kalau kau daritadi bertarung membantuku,
aku tidak akan menjadi seperti ini! Sekarang angkat aku! Kita akan
menggunakan itu!”
“Berhenti memerintahku seperti itu! Kalau memang itu maumu baiklah, posisi kita juga sudah terdesak.” balas Eza.
Kemudian
Eza merendahkan punggungnya untuk memudahkan tuannya menaikinya. Dalam
hati ia geram, ingin segera mencabik-cabik tuan tidak sopannya ini
akan tetapi, yang terutama baginya sekarang adalah bertahan hidup dari
serangan musuh didepannya.
“Ehhh…… harimau itu bisa bicara??” Ravelt terkejut.
Kemudian
Eza terbang setinggi-tingginya, sambil ditunggangi oleh tuannya.
Sementara Ravelt hanya diam memandangi mereka berdua. Bisa dibilang itu
memang kebiasaan buruknya, menunggu sesuatu datang.
“MATILAH KAU!!!” Andhika berteriak, hingga suaranya terdengar oleh Ravelt yang berada dibawah.
Ravelt hanya diam, masih melihat kearah atas. Saat itulah ia melihat sebuah objek ditembakkan dari tubuh Eza.
“Eh…..bukannya itu….misil?”
Saat
tiba mengenai target yang dituju, misil itu meledak dan menghasilkan
sebuah lubang hitam berdiameter sangat besar yang menghancurkan dataran
disekitarnya. Dalam sekejap, daerah bebatuan tersebut disulap menjadi
sebuah kawah raksasa.
“Hahahahahaha!
Eza! Lihat itu! Aku sudah berhasil membunuhnya!” Andhika bersorak
kegirangan. Sementara Eza diam tidak menjawab, mungkin karena
kelelahan.
“Membunuh
siapa?” keberadaan Ravelt dibelakang mengejutkan Andhika, yang mengira
ia sudah mati. Ditambah lagi, tak ada luka sedikitpun ditubuh Ravelt.
“K..Kau….”
“Kenapa
bisa? Aku bisa mengontrol ruang. Yang kulakukan hanyalah memindahkan
ruang tempatku berada ditambah dengan pengendalian angin agar bisa
berada disini. Itu saja.”
“Ti..tidak
mungkin…..hal seperti itu hanya bisa dilakukan oleh….” Eza, dengan
nada bicara seolah terkejut, mengomentari perktaan Ravelt.
“Dewa kan?” Jawab Ravelt “Karakter sampingan seperti kalian, seharusnya mati.”
Andhika
hanya bisa diam . Tubuhnya kaku, tidak mau bergerak. Tampaknya ia
sudah terjebak dalam keputusasaan, dihadapan orang yang kekuatannya
melebihi logika pikirannya.
“Selamat tinggal.” Ravelt berkata sambil mengayunkan tongkatnya. Seperti biasa, sebuah senyum jahat menghiasi wajahnya.
BLAAAAAAARRRRRR!!!
Sebuah kilat menyambar dengan dentuman keras, menghabisi sang harimau merah dan tuannya tanpa bekas.
“Fiuh, itu tadi pertarungan yang lumayan.” Gumam Ravelt, saat dirinya mendarat di pinggiran kawah.
“Oh ya, tadi aku lupa menanyakan siapa dia….ya sudahlah..” Ia tampak sedikit kecewa.
“Far Sight.” Ravelt mengaktifkan kekuatannya, melihat jauh untuk mencari peserta lain.
“Ah, disana ada satu.”
———————————————TO ACT II———————————————
Act II
Kuzunoha’s part
Baikai
Kuzunoha. Setengah demon, hasil perkawinan antara manusia dan demon.
Pekerjaan sehari-harinya adalah membasmi demon yang mengganggu manusia,
jadi berhadapan dengan demon baginya sudah seperti camilan sebelum
sarapan pagi. Tapi kali ini, yang ia hadapi bukanlah demon yang
biasanya.
“Mati kau!! Heaaahhhhh!!!” seorang laki-laki yang memakai jubah hitam-putih mengayunkan pisaunya tepat diatas kepala Kuzunoha.
Tapi…
Clang!!
Kuzunoha
berhasil menangkisnya, dengan Masakado - pedang miliknya. Melihat
kesempatan menyerang, ia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kuzunoha
balas maju menyerang. Tebasan demi tebasan, ia lancarkan kepada musuh
didepannya.
Satu
kali, tebasannya mengenai tangan kiri musuhnya. Dua kali, ia menebas
bagian kaki, ia yakin bahwa otot tendonnya pasti terpotong. Tiga kali,
Kuzunoha melakukan tebasan di tubuh musuhnya, sebuah serangan dari
bawah kanan menuju kebagian kiri atas yang meninggalkan luka yang cukup
dalam.
Menerima
serangan itu, lelaki itu meloncat kebelakang sampai diluar jangkauan
pedang Kuzunoha. Lukanya sembuh total, yang tersisa dari tebasan
musuhnya hanyalah sisa-sisa darah yang meninggalkan jejak dibajunya.
“Kau…..bisa regenerasi ya?? Sudah kuduga, kau pasti demon” Kuzunoha bertanya.
“Hei-hei….. jangan seenaknya menilai orang dari penampilan.” balas orang itu.
“Claude!
Cepat kau habisi dia! Aku merasa kalau ini diteruskan sepertinya akan
menjadi berbahaya.” suara yang sepertinya suara perempuan keluar dari
tas ransel yang dibawa oleh orang itu.
Kuzunoha berhenti sejenak. Ada sesuatu yang ingin ia pastikan.
********
3 menit yang lalu
Sniff…..
“Bau
ini, seperti bau mayat.” Kuzunoha mencium sesuatu yang tidak beres.
Sudah sekitar dua jam ia ditransfer kedunia yang penuh dengan lubang,
monster, dan benda jatuh ini, namun ia belum menemukan peserta lain
sama sekali. Kemudian ia berpapasan dengan seorang lelaki berjubah
hitam-putih ditengah hutan.
“Hei kau, apa yang didalam tas itu?” Kuzunoha bertanya pada lelaki itu dengan penuh kecurigaan.
“Kau….bisa
melihatku?? Berarti kau peserta lain kan?” tiba-tiba, lelaki itu
mencabut sebuah pisau jagal dari pinggangnya dan mengincar leher
Kuzunoha. Tetapi dengan sigap Kuzunoha berhasil menangkisnya, dengan
mengeluarkan pedangnya.
“Kau……!” Kuzunoha menatap tajam lelaki bermata hijau itu.
“Makin cepat kita saling membunuh, semakin cepat pula permainan ini selesai, iya kan?”
********
“Maaf agak terlambat, tapi siapa namamu?” Kuzunoha bertanya dengan kehati-hatian.
“Claude, Claude Higglfigr. Sedangkan yang didalam ransel itu istriku, Claudia Neuntzmann. Kalau kau?”
“Kuzunoha, Baikai Kuzunoha.”
“Kuzunoha ya? Baiklah kalau begitu.” Claude memutar pisau ditangannya.
“Sebelum kita melanjutkan ini, aku ingin bertanya. Siapa kalian sebenarnya?” Kuzunoha bertanya lagi.
“Hmm……mungkin kami disebut Dullahan.”
“Dullahan?” Kuzunoha berpikir keras. Seingatnya Dullahan adalah nama demon tanpa kepala.
“Berarti kalian demon sungguhan.” sambung Kuzunoha.
Whuuush
Kuzunoha tiba-tiba melesat maju menerjang Claude, sementara Claude dalam posisi bertahan.
Clang!!
Suara benturan besi menggema ditengah hutan, pertanda bahwa “permainan” kematian mereka telah dimulai.
———————————
Claude & Claudia’s part
Claude
masih dalam posisi bertahan, menangkis serangan Kuzunoha yang datang
bertubi-tubi. Sepertinya ia kesulitan untuk membalas serangan
dikarenakan jarak jangkau senjata yang sangat berbeda.
Clang!
Masih
dalam posisi bertahan, akan tetapi pertahanan Claude mulai goyah.
Claude memilih untuk melangkah mundur, karena setiap serangan Kuzunoha
semakin kuat dan cepat.
Clang!Clang!
Pertahanan
Claude terbuka lebar. Tepat saat itu, Claude tidak bisa lagi melangkah
mundur karena sebuah pohon besar menghalangi jalannya. Tanpa ragu,
Kuzunoha langsung menerjang ke arah Claude.
Entah
karena sebuah keberuntungan atau apa, saat Kuzunoha maju menerjang
Claude, sebuah batu seukuran bola kelereng ikut terpental tepat di
depan pedang Kuzunoha. Menyadari kesempatan emas ini, Claude menukar
batu tersebut dengan batang pohon yang berada dalam jarak pandangnya
dan membuat tebasan pedang Kuzunoha meleset dari jalurnya.
Memanfaatkan
situasi tersebut, Claude berhasil meloncat kesamping kanan dan
menghindari serangan fatal dari Kuzunoha dan bahkan berhasil menebas
lengan kiri Kuzunoha yang memegang pedang. Kuzunoha yang masih
kebingungan dengan apa yang barusan terjadi, hanya bisa melihat kearah
Claude yang berhasil menghindari serangannya.
“Barusan itu apa?” Tanya Kuzunoha dengan wajah penasaran.
“Tentu
saja rahasia. Memangnya kau pikir akan ada orang yang memberitahu
kemampuannya pada musuhnya dengan cuma-cuma?” jawab Claude. Ia tidak
tahu kalau barusan ditempat lain ada orang bodoh yang memberitahu
kekuatannya secara cuma-cuma, walaupun setelah itu musuhnya langsung
lenyap tak berbekas.
“Claude,
ganti aku! Cepat, kita tidak boleh menghabiskan waktu kita disini.
Masih ada tiga lagi yang harus kita hadapi!” Claudia berteriak dari
dalam ransel.
“Baiklah, tapi hati-hati… kemampuan berpedangnya mengerikan.” Jawab Claude.
“Mereka
dapat bertukar kepala?” Kuzunoha menerjang kembali, mencoba menyerang
mereka sebelum penggantian kepala selesai. Tapi sayang, sebelum
Kuzunoha mencapai tempat mereka berdua, penggantian kepala mereka sudah
selesai.
“Hm..”
Kaki
kanan Kuzunoha tiba-tiba terasa berat, tidak dapat digerakkan.
Kuzunoha langsung terjatuh, dan bersamaan dengan itu, sebuah pisau
jagal mengarah tepat ke kepalanya.
———————————
Conclusion
[Claustroclaucht]
Singkatnya,
sebuah kemampuan untuk memanipulasi ruang. Menukar posisi objek,
mengubah orientasi suatu benda, atau bahkan menciptakan suatu ruang
tersendiri yang dapat digunakan sebagai pertahanan ataupun penguncian
gerakan musuh dan baik Claude maupun Claudia, menguasai kemampuan ini.
Dan sekarang….
“Metatron!!”
Kuzunoha
memanggil salah satu demonnya. Rupanya ia sudah menarik tube yang
berisikan magnetite saat ia terjatuh tadi. Sesosok makhluk yang
berbentuk seperti malaikat muncul dan langsung menangkis serangan dari
Claudia.
“Tch……” Claudia terpaksa mundur. Aksinya untuk mengakhiri pertarungan dengan sekali serang gagal.
Metatron
mulai maju, dan menyerang Claudia dengan kemampuan mengendalikan
anginnya secara bertubi-tubi. Claudia terpaksa melawan, dengan
kemampuan yang ia miliki.
“Claustroclaucht!”
Claudia membuat ruang dan mengunci semua alat pergerakan Metatron.
Melihat Metatron tidak bisa menyerang, Claudia langsung maju dan
menebasnya. Tapi ia lupa satu hal.
Kuzunoha,
yang dari tadi berada dibelakang Metatron mengitari area pertarungan
dan berhasil menebas bagian belakang Claudia. Dua tebasan, itulah
jumlah serangan yang Kuzunoha lakukan dari belakang. Satu untuk menebas
kepala Claude yang berada didalam ransel, dan satu lagi untuk membelah
kepala Claudia menjadi dua.
“Ah…..”
Claudia terkejut, menyadari bahwa ia sudah tamat. Memang sudah tak ada
lagi yang bisa ia lakukan setelah kepalanya terbelah menjadi dua.
Claudia bingung, bagaimana mungkin ia, dan Claude lengah terhadap hal
seperti ini. Mereka berdua adalah orang yang telah berhasil mengelabui
kematian. Dan sekarang mereka dijemput oleh kematian, lagi.
———————————————TO FINAL ACT———————————————
Final Act
Deismo’s part
[Duster’s Experiment: Impure Spiritual Mutated Organism]
Atau
biasa dipanggil Deismo. Ia terlihat murung, dibenteng milik
penciptanya, Duster. Masalahnya , Duster sudah mati sehingga setengah
dari tujuannya untuk mengikuti Battle of Realms hilang. Satu jam yang
lalu, setelah ia melihat benteng Duster yang dalam keadaan
porak-poranda dan kosong, ia segera pergi menuju kesebuah desa dimana
orang yang ingin ia lindungi tinggal.
“Masih
tidak apa-apa…” katanya. Setelah itu, ia mencoba masuk kedalam sebuah
bar, dan mendengarkan percakapan orang-orang untuk mencaritahu apa yang
menyebabkan Duster mati.
Setelah
semua ia rasa cukup, ia memutuskan untuk kembali ke benteng Duster,
sambil menunggu peserta lainnya. Saat itulah seorang laki-laki berambut
pirang yang membawa tongkat emas datang.
“Woah! Ada hantu!! Besar sekali!! Mau menjadi koleksiku??” laki-laki itu bertanya.
Duster
hanya terdiam. Menurut yang ia ketahui dari makhluk merah yang mengaku
dewa tadi, yang hanya bisa melihat wujudnya hanyalah sesama peserta,
di permainan bertahan hidup ini.
“Jadi
disini kalian rupanya.” Seorang laki-laki yang memakai jaket dan
penutup dahi muncul dari balik bayangan hutan. Deismo meningkatkan
kewaspadaannya.
“Hei,
apa kalian berdua….” laki-laki itu melanjutkan bicaranya. Deismo
segera bersiap-siap, udara disekitarnya menjadi dingin. Sementara
laki-laki berambut pirang tampak tenang-tenang saja.
“Mau camilan??”
“Eh…?”
“Apa…??”
Sebuah pertanyaan tak terduga keluar dari mulut laki-laki yang memakai jaket itu.
30 menit kemudian.
“Oh, jadi kau dilahirkan disini dan kau mutan, begitu??”
“Ya.”
“Jadi kau bukan demon? Hampir saja aku mengayunkan pedang untuk membunuhmu.”
Tidak
ada yang tahu kenapa jadi begini, tapi beberapa menit kemudian mereka
sudah duduk santai diatas benteng sambil menikmati camilan dan mint tea
dan berceloteh tentang berbagai hal. Dari pembicaraan mereka, Deismo
tahu yang berambut pirang bernama Ravelt Tardigarde, sedangkan yang
berjaket dan memakai penutup dahi adalah Baikai Kuzunoha.
“Ahh…… camilan ini rasanya enak sekali….” Kata Ravelt sambil mengunyah camilan Kuzunoha.
“Mint tea-mu enak juga, dan gelas ini bagus.” Kuzunoha menimpali.
“Tentu saja, semua itu kan barang di daftar koleksiku….Deismo, kau tidak mau mencobanya?” tanya Ravelt.
“Aku tidak makan makanan manusia.” Deismo menjawab dengan suara pelan.
“Begitu ya? Sayang sekali…..” wajah Kuzunoha terlihat kecewa, mungkin karena camilannya tidak dimakan.
“Kau
baru saja melewatkan kesenangan dalam hidup.” Ravelt mengomentari
sambil memasukkan camilan lain kedalam mulutnya, ia cepat sekali
menghabiskan camilannya.
“Oh,
ya….. lanjutkan ceritamu, kenapa pemilik benteng ini mati?” Kuzunoha
berusaha mengembalikan topik pembicaraan mengenai masa lalu Deismo.
Deismo melanjutkan ceritanya.
Prak
Ravelt
menjatuhkan camilannya. Wajahnya pucat pasi, menunjukkan bahwa ia
sangat terkejut. Dari matanya, terlihat bahwa ia memikirkan sesuatu,
yang ada jauh di dalam ingatannya.
———————————
Last part
Ravelt terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Deismo, tentang bagaimana Duster mati.
Sekumpulan orang datang, setahun yang lalu. Jumlah mereka sekitar 200 orang.
Orang-orang itu terdiri dari berbagai ras.
Mereka dipimpin oleh pasangan kakak-beradik perempuan, yang memiliki rambut ungu dan tanduk dikepalanya.
Mereka
membawa sebuah bendera berwarna putih, dengan lambang dua dunia yang
dililit oleh seekor naga emas dengan mahkota diatasnya, dan dibawahnya
bertuliskan sesuatu yang tak dapat dipahami disini sama sekali.
Mereka bilang dunia mereka sudah hancur, dan raja mereka tidak diketahui keberadaannya.
Setelah
beberapa bulan tinggal disini, kedua kakak-beradik itu berhasil
memimpin seluruh penduduk desa terbuang untuk melawan Duster.
Para penduduk desa dan orang-orang itu berhasil menang dan lepas dari cengkraman Duster untuk selama-lamanya.
Akan tetapi sang kakak mati dalam perjuangan itu, sementara adiknya koma.
Jumlah mereka juga turun menjadi sepuluh orang.
Para penduduk sangat menghormati sang kakak, dan akhirnya mereka menguburkannya disuatu tempat dekat desa.
“Soal
tulisan di bendera yang mereka bawa, aku tidak tahu apa, tapi besar
kemungkinan petunjuk darimana mereka berasal ada disana.” Deismo
melanjutkan.
“Itu membuatku penasaran.” Kuzunoha menimpali.
“In our king we believe, so the heavens door shall open.” Ravelt mengucapkan sesuatu.
“Apa?” Deismo terheran-heran, tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Ravelt. Kuzunoha juga hanya diam mempehatikan.
“Itulah yang tertulis di bendera mereka.” Ravelt menjawab.
“Bagaimana mungkin kau bisa yakin?” Kuzunoha bertanya.
Ravelt
kemudian mengambil camilannya yang terjatuh, kemudian memakannya juga
menghabiskan sisa mint tea-nya. Lalu Ravelt berdiri, membelakangi
Kuzunoha dan Deismo. Aura keemasan melapisi tubuhnya.
“Ayo kita selesaikan ini. Sepertinya “dewa” sudah mulai bosan.”
“Waktu camilan sudah selesai?” Kuzunoha juga ikut berdiri dan menyiapkan pedangnya.
“Jadi akhirnya seperti ini ya?” Deismo juga bersiap, udara disekitarnya mulai dingin.
[Hero Essence]
Kemampuan
sebagai karakter utama. Kemampuan dari segala kemampuan, yang hanya
dimiliki oleh para pahlawan. Ini adalah sebuah kemampuan untuk
membalikkan takdir, sebuah kemampuan yang tentu saja akan membuat
siapapun yang memilikinya menang dengan mudah. Pola pertarungan
Ravelt sangat bergantung kepada kemampuan ini. Tapi sekarang, entah dewa
macam apa yang mampu membuat Ravelt kepayahan menghadapi Deismo dan
Kuzunoha. Divine auranya tidak berfungsi sama sekali untuk menahan
serangan mereka berdua.
“Kohryu!!
Serang dari kanannya! Yamata no Orochi!! Hentikan gerakannya dengan
es!!” terdengar suara Kuzunoha berteriak memberi perintah kepada demon
miliknya.
“Tch……..!!
Makan ini!!” Ravelt menendang bongkahan batu besar ke arah Yamata no
Orochi, sang ular berkepala delapan milik Kuzunoha. Serangan Yamata no
Orochi tdak mengenai Ravelt, akan tetapi Kohryu—seekor naga emas
berhasil menabrak Ravelt sekaligus menggunakan petirnya.
“Guhaakkkk……!!”
serangan telak barusan berhasil mengenai Ravelt dan membuatnya
memuntahkan darah dari mulutnya. Seakan-akan tidak diberi celah untuk
membalas, Deismo yang dari tadi berada di atas, mengirimkan kloning
hitam yang ia munculkan dari jubah hitamnya, di dekat Ravelt.
Serangan
dari kloning hitam milik Deismo, secara bertubi-tubi mengenai tubuh
Ravelt. Sekarang tubuh Ravelt dipenuhi oleh bekas luka dan cakaran,
luka yang ia terima tadi akibat pertarungannya dengan Andhika terbuka
lagi. Ravelt sudah hampir tidak dapat bergerak.
Saat
kloning hitam milik Deismo hampir menyentuhnya, Ravelt menembakkan
cahaya dari tangannya, membunuh langsung makhluk itu dengan sekali
serang. Kemudian Ravelt membuat bola cahaya yang lebih besar, dan
menembakkannya ke arah Deismo yang berada di atas.
Dengan
cepat, Deismo menggunakan sihirnya, menciptakan dinding es dan tornado
api untuk menghalangi Ravelt. Akan tetapi percuma, Ravelt telah
memasukkan divine aura kedalam bola cahayanya, membuat serangannya
kebal terhadap sihir lain.
“Uwwaaahhhhhhh………….!!!”
Ravelt berteriak. Berteriak adalah satu-satunya cara untuk membuat ia
tetap berdiri dan tidak kehilangan kesadaran, sementara tangan kanannya
terus bergerak mengendalikan bola cahaya yang ia tembakkan. Bola
cahaya miliknya berhasil menembus pertahanan sihir pengendalian suhu
milik Deismo, melubangi tubuh makhluk mutan itu dan menghabisinya.
Deismo terjatuh ke tanah.
Tanpa
diduga, Kuzunoha dan kedua demonnya maju menyerang Ravelt. Dalam dua
detik, Ravelt membuat tornado api dan membakar habis Yamata no Orochi
serta mengahajar bagian kepala Kohryu, membuat naga itu lumpuh
seketika.
Tetapi
Kuzunoha berhasil menebas tubuhnya dan mendaratkan sebuah tendangan.
Ravelt terpental sejauh lima meter, menabrak puing-puing Duster
Fortress dibelakangnya. Situasinya sama seperti saat ia melawan Andhika
tadi, hanya saat ini ia yang sedang tersudut.
Mata
Ravelt terpejam, ia hanya bisa mendengar suara langkah kaki Kuzunoha
yang berhasil mendekat. Saat itulah ia menyadari, alasan kenapa ia bisa
dihajar habis-habisan seperti sekarang.
Hero
Essence adalah kemampuan yang dimiliki oleh seorang pahlawan atau
karakter utama untuk menghadapi musuh yang jauh lebih kuat darinya.
Berdasarkan cerita Deismo—yang sudah kalah dan sifat-sifat Kuzunoha, Ravelt sadar bahwa mereka berdua adalah pahlawan. Dengan kata lain, mereka juga memiliki Hero Essence.
“Maaf, aku punya janji dan orang yang harus kulindungi…..” Terdengar suara Kuzunoha di depan Ravelt.
“Ahhhh……apakah ini akhirnya…?” suara Ravelt dalam pikirannya.
“Aku mati……tanpa menyelesaikan apapun…..maafkan aku, semua…….”
Ravelt
tertarik kedalam kegelapan, lama-kelamaan, ia juga merasakan tubuhnya
semakin dingin. Indra perabanya mulai menghilang, hampir tidak
berfungsi sama sekali. Tubuhnya melemas, tidak dapat ia gerakkan lagi.
“Jangan menyerah.” terdengar suara seorang perempuan.
“Kau raja kan? Katanya kau akan mempin kami.” terdengar lagi suara yang lain, masih perempuan.
“Kupercayakan semua padamu.” kali ini seorang laki-laki.
“Hidup raja!! Hidup raja!! Hidup raja!!” suara orang beramai-ramai.
Ravelt
kemudian teringat, apa yang membuatnya berakhir ditempat seperti ini.
Ia teringat, apa yang membuatnya tetap bertahan mengahadapi segala
macam ketidakmungkinan. Saat itulah keajaiban terjadi. Hero Essence
milik Ravelt, berfungsi.
Kuzunoha
mengayunkan pedangnya kearah Ravelt. Saat jarak antara mata pedangnya
dan kepala Ravelt tinggal sejengkal, semuanya berhenti. Kuzunoha
merasakan ada yang aneh, sama saat ia menghadapi Claude. Akan tetapi
semuanya terasa berbeda, seakan-akan waktu telah berhenti.
BUAAAKKKKK!!
Pukulan
tangan kanan Ravelt mengenai Kuzunoha, dan membuatnya terpelanting
jauh ke belakang. Akan tetapi Kuzunoha masih belum mati, hanya
pedangnya yang terpental jauh. Kemudian Kuzunoha menarik pistol
miliknya, membidik ke arah Ravelt. Kohryu masih ada, jadi ia masih bisa
menggunakan kekuatan elemen petirnya.
Saat
peluru ditembakkan, Ravelt sudah berdiri. Di tangan kanannya terkumpul
aliran listrik dalam jumlah besar. Ravelt menerjang maju ke arah
Kuzunoha, menghindari peluru petir yang ditembakkan oleh Kuzunoha.
Ravelt
tiba tepat di depan Kuzunoha. Saat itulah, Ravelt menghajar Kuzunoha,
tepat pada bagian dadanya, melumpuhkan sekaligus menghancurkan sebagian
besar organ dalam Kuzunoha. Kuzunoha terjatuh, ia tak dapat bangkit
lagi, namun masih sadarkan diri.
“Ahh……aku yang kalah.” Kuzunoha menggerutu.
“Jangan seperti itu, kau sudah membuatku hampir mati.” balas Ravelt.
“Oh…..ya…..k…kau akan menghajar…..orang itu..kan…?” Kuzunoha bertanya kepada Ravelt.
“Ya, tunggulah….kiita akan terbebas dari permainan bodoh ini.” jawab Ravelt.
“K…Kalau
begitu ambil ini, semoga membantu….” Kuzunoha memberikan sebuah tube
magnetite miliknya dan sepotong kain jubah milik Deismo.
“Kau…..”
“Terimalah, kau tidak mungkin mengalahkan makhluk itu sendiri, soal jubah itu aku dapatkan saat ia jatuh tadi.”
“Terima kasih sudah menambah daftar koleksiku.”
Kuzunoha
memejamkan matanya untuk selamanya. Meninggalkan janji yang ia buat
kepada temannya saat di pulau merah, juga keinginannya untuk kembali.
Angin bertiup pelan, kemudian dua Hvyt datang.
“Pemenang Blok-J, Ravelt Tardigarde. Sudah waktunya untuk kembali.”
Ravelt
sempat melihat kebelakang saat ia berada sudah diatas awan. Ia melihat
sebuah desa, yang disebelahnya terdapat pepohonan berdaun ungu. Ia
tidak memperhatikan, namun sepertinya ditempat ini sedang musim semi.
Salah
satu pohon yang paling besar dan terdepan, bergoyang saat terkena
angin, memberi kesan sedang melambai. Ravelt tersenyum. Bukan senyum
jahatnya yang biasa, akan tetapi senyuman yang biasa ia tunjukkan kepada
orang yang ia sayangi.
“Hei, sampaikan pesanku pada dewa kalian!” Ravelt berkata kepada kedua Hvyt yang menjemputnya.
“Aku yang akan memenggal kepalanya.”
FIN
No comments:
Post a Comment