KATA PENGANTAR
Masalah kependudukan dan lingkungan
hidup adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang
lainnya. Hal ini disebabkan karena manusia bersama dengan makhluk-makhluk hidup
lainnya merupakan komponen hidup yang senantiasa berinteraksi dengan
lingkungannya.
Dalam ekosistem, tempat hidup manusia
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari yang lainnya. Karena itu
kelangsungan hidup manusia tergantung dari kelestarian ekosistemnya. Untuk
menjaga kelestarian ekosistem, manusia harus menjaga keserasian hubungan dengan
lingkungan hidupnya.
Gejala yang menghawatirkan dan
mengganggu kelestarian lingkungan hidup adalah ledakan penduduk. Ledakan
penduduk akan membawa akibat buruk terhadap keadaan sumber alam. Seperti
semakin menyempitnya lahan pertanian untuk tempat tinggal, bangunan, jalan,
dana pengolahan lingkungan yang semena-mena, makin sempitnya area hutan, dan
lain-lain.
Dari kenyataan tersebut, maka perlu
adanya usaha untuk menyadarkan penduduk akan masalah-masalah yang ditimbulkan
oleh pertumbuhan penduduk yang sangat cepat, serta masalah lingkungan hidupnya.
Pendidikan lingkungan dan kependudukan dirasa sangat perlu segera dikembangkan
dan disebarluaskan kepada masyarakat.
Penulis
BAB I
Perkembangan Penduduk Indonesia
Landasan
Perkembangan Penduduk Indonesia
Penduduk
adalah orang atau sekumpulan orang-orang yang mendiami suatu tempat (kampung,
negara, dan pulau) yang tercatat sesuai dengan persyaratan dan ketentuan yang
berlaku di tempat tersebut. Berdasarkan tempat lahir dan lama tinggal penduduk
suatu daerah dapat dibedakan menjadi empat golongan, yaitu penduduk asli,
penduduk pendatang, penduduk sementara, dan tamu.
Ø Penduduk
asli adalah orang yang menetap sejak lahir.
Ø Penduduk
pendatang adalah orang yang menetap, tetapi lahir dan berasal dari tempat lain.
Ø Penduduk
sementara adalah orang yang menetap sementara waktu dan kemungkinan akan pindah
ke tempat lain karena alasan pekerjaan, sekolah, atau alasan lain.
Ø Tamu
adalah orang yang berkunjung ke tempat tinggal yang baru dalam rentang waktu
beberapa hari dan akan kembali ke tempat asalnya.
Yang
mendasari perkembangan penduduk di Indonesia adalah banyaknya masyarakat yang
menikahkan anaknya yang masih muda. Dan gagalnya program (KB) Keluarga
Berencana yang di usung oleh pemerintah untuk menekan jumlah penduduk
Indonesia. Karena faktor – faktor tersebut tidak dapat berjalan dengan
semestinya, maka penduduk Indonesia tidak terkendali dalam perkembangannya.
Karena perkembangan penduduk yang sangat tidak terkendali, maka banyak
terjadinya kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, gelandangan, anak jalanan,
dan sebagainya.
Pertumbuhan penduduk adalah perubahan populasi sewaktu-waktu,
dan dapat dihitung sebagai perubahan dalam jumlah individu dalam sebuah
populasi menggunakan "per waktu unit" untuk pengukuran. Sebutan pertumbuhan
penduduk merujuk pada semua spesies, tapi selalu mengarah
pada manusia, dan sering digunakan secara informal untuk sebutan demografi nilai pertumbuhan penduduk, dan
digunakan untuk merujuk pada pertumbuhan penduduk
dunia.
Ketika pertumbuhan penduduk dapat melewati kapasitas muat suatu
wilayah atau lingkungan hasilnya berakhir dengan kelebihan penduduk. Gangguan dalam populasi manusia dapat
menyebabkan masalah seperti polusi dan kemacetan lalu lintas, meskipun dapat ditutupi perubahan teknologi dan
ekonomi. Wilayah tersebut dapat dianggap "kurang penduduk" bila
populasi tidak cukup besar untuk mengelola sebuah sistem ekonomi
Pertambahan
Penduduk dan Lingkungan Pemukiman
Strategi
konservasi dunia dicanangkan 6 Maret 1980. Juga di Indonesia strategi tersebut
memberikan cetak biru bagi aksi konservasi dan pemanfaatan sumber daya alam
secara berkesinambungan serta menunjuk pentingnya aksi terpadu dalam memecahkan
masalah-masalah lingkungan hidup, sumber daya alam, dan kependudukan. Hubungan
antara masalah-masalah kependudukan dan lingkungan hidup memang sangat kompleks
dan sangat majemuk sifatnya, karena di dalamnya tercakup banyak sekali
faktor-faktor, misalnya saja dampak teknologinya, pola konsumsinya, dan
faktor-faktor sosial, ekonomi, serta politiknya. Adanya Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup dalam Kabinet sekarang ini sudah memberikan
gambaran adanya hubungan timbal balik yang erat sekali antara penduduk dan
lingkungan hidup ini. Kepadatan penduduk yang tinggi akan memberikan tekanan
pada daya dukung alam lingkungannya. Manakala tekanan tersebut melampaui batas
kemampuan daya dukung alam lingkungan tersebut, mejadi rusak lingkungan
hidupnya. Sebaliknya, suatu lingkungan hidup yang terpelihara kelestariannya
akan sangat menunjang bagi kelangsungan hidup suatu masyarakat.
Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah,
sementara lahan untuk pertanian dan pemukiman sangat terbatas, memungkinkan
timbulnya “lapar tanah”. Lapar tanah untuk pertanian sangat terasa di Jawa yang
jumlah penduduknya hanya 60% dari seluruh penduduk Indonesia. Sedangkan
sawah-sawah kelas satu di pinggiran kota dan di sepanjang jalan ekonomi menciut
akibat perluasan daerah pemukiman serta kegiatan industri.
Kaki-kaki gunung di Jawa sekarang sudah tidak
luput dari jamahan tangantangan manusia. Kelaparan akan tanah ini jelas
terlihat dengan merayapnya kegiatan pengolahan tanah serta pembangunan menuju
puncak-puncak bukit dan gunung. Kesinambungan kehidupan alami sudah tidak
diperhitungkan lagi. Tegakan pepohonan yang tadinya berfungsi untuk menahan
curah hujan dan mengatur aliran air, sekarang sudah digantikan dengan tanaman
ketela pohon atau jagung. Akibatnya, di musim hujan terjadi genangan air,
tetapi di musim kemarau orang sulit mencari air. Ahli-ahlipun mengatakan daya
dukung lingkungan sudah terlampaui oleh kepadatan penduduk. Akibatnya,
keseimbangan kehidupan antara manusia dan lingkungannya terganggu. Gangguan
tersebut akan mengarah kepada keadaan yang lebih parah dan merugikan, apabila
tidak ada usaha untuk memperbaikinya.
Berbagai
cara telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal itu, anatar lain program
penghijauan dan reboisasi, sementara untuk mengurangi tekanan penduduk agar tidak
melampaui daya dukung alam serta lingkungan dilakukan transmigrasi. Namun,
semua usaha ini masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Dari gambaran
tadi, jelas nampak ada hubungan erat antara unsur manusia dalam kaitannya
dengan kelestarian lingkungan hidup (Tanah Air, 1983)
Sejak
masalah kependudukan dilontarkan oleh Thomas Robert Malthus lebih dari satu
abad yang lalu, maka masalah itu mulai diapandang serta didekati dari berbagai
aspek dan kemudian berkembang menjadi subyek, dengan dimensi aneka ragam. Di
negara-negara berkembang hal ini berjalan cepat, karena tuntutan pembangunan
nasional telah melibatkan masalah kependudukan sebagai masalah pokok. Berbagai
aspek kehidupan mulai terganggu oleh pertambahan penduduk yang cepat, seperti
kehidupan sosial ekonomi, budaya politik, hankamnas, dan lingkungan hidup.
Hambatan
untuk menekan laju pertumbuhan penduduk di negara berkembang umumnya karena
adanya pola berpikir masyarakat yang konservatif, yang pada hakekatnya menolak
perubahan nilai tradisional dan budaya Indonesia termasuk dalam masyarakat
heterogen yang sifatmya tradisional dan religius, misalnya bahwa banyak anak
berarti banyak rejeki atau pola berpikir bahwa anak adalah investasi bagi orang
tuanya di masa depan.
Pola
berpikir dan sikap seperti itu merupakan hambatan, khususnya bagi penduduk yang
sebagaian besar tinggal di pedesaan, dimana nilai budaya tradisional tumbuh
subur. Contoh lain, untuk mencapai pemerataan penduduk dalam mencapai
keseimbangan ekonomi dan ekologi, dilaksanakan transmigrasi dari pulau yang
padat penduduk ke Pelau yang konsentrasi penduduknya rendah. Usaha itu tidak
dapat menghindari perubahan nilai-nilai tradisional, sebab masih ada yang
beranggapan bahwa tanah kelahiran adalah warisan leluhur yang tak boleh
ditinggalkan. Timbullah istilah transmigrasi bedol desa yang mengangkut seluruh
harta miliknya berikut sedikit tanah kelahirannya. Perubahan di bidang
nilai-budaya memerlukan waktu yang lama dan perlu dilaksanakan dengan seksama.
Tetapi, membiarkannya sebagai proses evolusi, berdasarkan berbagai pertimbangan
akan memperlambat pencapaian tujuan. Tujuan dalam konteks ini adalah
pembangunan segala bidang bagi kesejahteraan rakyat banyak (Tanah Air, 1983).
Di
sisi lain, sebagian pengamat sosial berpendapat bahwa pelaksanaan transmigrasi
yang dilakukan selama ini terkesan hanyalah sekedar upaya membuang orang dari
kepadatan. Meski ada yang berhasil, secara umum yang ada hanyalah kegagalan,
keluhan, jeritan perasaan disingkirkan. Namun, itu dipoles atas nama
pembangunan yang dicanangkan pemerintah.
Pertumbuhan
Penduduk dan Tingkat Pendidikan
Pertumbuhan penduduk adalah perubahan
jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan
waktu sebelumnya. Misalnya pertumbuhan penduduk Indonesia dari tahun 1995 ke
tahun 2000 adalah perubahan jumlah penduduk Indonesia dari tahun 1995 sampai
2000.
Selain
merupakan sasaran pembangunan, penduduk juga merupakan pelaku pembangunan. Maka
kualitas penduduk yang tinggi akan lebih menunjang laju pembangunan ekonomi.
Usaha yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kualitas penduduk melalui
fasilitas pendidikan, perluasan lapangan pekerjaan dan penundaan usia kawin
pertama.
Di
negara-negara yang anggaran pendidikannya paling rendah, biasanya menunjukkan
angka kelahiran yang tinggi. Tidak hanya persediaan dana yang kurang, tetapi
komposisi usia secara piramida pada penduduk yang berkembang dengan cepat juga
berakibat bahwa rasio antara guru yang terlatih dan jumlah anak usia sekolah
akan terus berkurang. Akibatnya, banyak negara yang sebelumnya mengarahkan
perhatian terhadap pendidikan universitas, secara diam-diam mengalihkan
sasarannya.
Helen
Callaway, seorang ahli antropologi Amerika yang mempelajari masayakat buta
huruf, menyimpulkan bahwa perkembangan ekonomi dan perluasan pendidikan dasar
telah memperluas jurang pemisah antara pria dan wanita. Hampir di mana-mana
pria diberikan prioritas untuk pendidikan umum dan latihan-latihan teknis.
Mereka adalah orang-orang yang mampu menghadapi tantangan-tantangan dalam
dunia. Sebaliknya pengetahuan dunia ditekan secara tajam pada tingkat yang
terbawah.
Pertambahan
penduduk yang cepat, lepas daripada pengaruhnya terhadap kualitas dan kuantitas
pendidikan, cenderung untuk menghambat perimbangan pendidikan. Kekurangan
fasilitas pendidikan menghambat program persamaan/perimbangan antara laki-laki
dan wanita, pedesaan dan kota, dan antara bagian masyarakat yang kaya dan
miskin.
Pengaruh
daripada dinamika penduduk terhadap pendidikan juga dirasakan pada keluarga.
Penelitian yang dilakukan pada beberapa negara dengan latar belakang budaya
yang berlainan menunjukkan bahwa jika digabungkan dengan kemiskinan, keluarga
dengan jumlah anak banyak dan jarak kehamilan yang dekat, menghambat
perkembangan berfikir anak-anak, berbicara dan kemauannya, di samping kesehatan
dan perkembangan fisiknya. Kesulitan orang tua dalam membiayai anak-anak yang
banyak, lebih mempersulit masalah ini.
Pertambahan
penduduk yang cepat menghambat program-program perluasan pendidikan, juga
mengarah pada aptisme di dunia yang kesulitan untuk mengatasinya.
Dalam
pembangunan pendidikan dijumpai berbagai masalah antara lain: (1) Masih
rendahnya angka partisipasi pendidikan pada jenjang pendidikan menengah dan
tinggi; (2) Masih rendahnya mutu pendidikan; dan (3) Belum mantapnya sistem
pendidikan nasional terutama menyangkut kelembagaan dan manajemen pendidikan.
Perluasan jangkauan
pendidikan dapat diamati dari partisipasi pendidikan menurut kelompok usia
tertentu. Partisipasi pendidikan untuk
jenjang pendidikan dasar dapat dilihat dari angka partisipasi penduduk usia
7-12 tahun dan 13-15 tahun. Pada tahun
1998/99, angka partisipasi kasar (APK) untuk tingkat SD-MI dan SLTP-MTs
mencapai 114,7 persen dan 56,1 persen.
Rendahnya partisipasi pendidikan pada kelompok usia 13-15 tahun antara lain
terkait dengan faktor ekonomi keluarga.
Untuk jenjang sekolah menengah (usia 16-18 tahun) yang
terdiri dari Sekolah Menengah Umum (SMU), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan
Madrasah Aliyah (MA), APK-nya baru mencapai 36,3. APK tersebut masih tergolong
rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya yang rata-rata telah
berada di atas 50 persen. Angka melanjutkan lulusan SLTP-MTs ke SLTA pada tahun
1998/99 baru mencapai 71 persen. Selain masalah ekonomi dan kecenderungan untuk
memilih bekerja, daya tampung pada jenjang sekolah menengah juga masih
menghambat rendahnya partisipasi sekolah.
Pada jenjang pendidikan tinggi (usia 19-24 tahun), APK-nya
baru mencapai 10,4 persen, hal ini tergolong lebih rendah jika dibandingkan
dengan APK perguruan tinggi negara-negara ASEAN yang telah mencapai di atas 30
persen. Lambannya peningkatan APK jenjang pendidikan tinggi antara lain
disebabkan oleh terbatasnya daya tampung dan mahalnya biaya pendidikan di
perguruan tinggi bagi sebagian besar masyarakat.
Rendahnya mutu pendidikan secara umum antara lain disebabkan
oleh: (1) Kurangnya jumlah dan rendahnya mutu guru; (2) Kurangnya sarana dan
prasarana belajar; (3) Lemahnya metode mengajar dan kurikulum yang berlaku; (4)
Lemahnya sistem pengelolaan persekolahan; dan (5) Belum optimalnya peran orang
tua, masyarakat dan pemerintah dalam mendukung pembangunan pendidikan yang bermutu.
Guru merupakan kunci dari keberhasilan sebuah proses
belajar-mengajar pada semua jenis dan jenjang pendidikan. Namun demikian
kondisi guru pada umumnya mulai dari SD-MI sampai dengan SMU-MA masih sangat
memprihatinkan, baik dari segi kualitas, jumlah maupun penyebarannya. Data menunjukkan bahwa dari sekitar 1,3 juta guru
SD-MI, baru 21,65 persen yang berkualifikasi D2 atau lebih tinggi. Pada jenjang
SLTP-MTs, dari sekitar 572,8 ribu guru, 56,6 persen diantaranya berkualifikasi
D3 atau lebih tinggi. Pada jenjang SLTA (SMU dan SMK, tidak termasuk MA) 65
persen guru memiliki kualifikasi S1 atau lebih tinggi.
Penyebaran guru yang tidak merata juga merupakan masalah yang
menyebabkan kurangnya guru di suatu sekolah atau daerah, dan kelebihan guru di
sekolah atau daerah lainnya. Selain itu di SLTP-MTs dan SMK-MA banyak terdapat
ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan dengan mata pelajaran yang
diajarkan, yang berakibat pada rendahnya kualitas mengajar. Dari data yang
tersedia pada tahun 1995/96 ketidaksesuaian tersebut berkisar antara 3,6 persen
- 25,3 persen. Pembinaan guru termasuk sistem promosi juga dinilai belum dapat
meningkatkan kualitas guru, karena pada praktiknya sistem tersebut hanya
menguntungkan mereka yang rajin melakukan kegiatan administrasi untuk
mengumpulkan angka kredit dan kurang menghargai guru yang berprestasi dalam
tugas mengajarnya.
Rendahnya kualitas tenaga akademik dapat dilihat dari masih
banyaknya tenaga akademik yang berpendidikan akhir S-1. Pada tahun 1997 jumlah
tenaga akademik perguruan tinggi negeri dan swasta yang berpendidikan akhir
S-1, S-2 dan S-3 berturut-turut adalah 80,6 persen, 15,7 persen dan 3,6
persen. Dibanding perguruan tinggi
swasta, kualitas staf pengajar perguruan tinggi negeri relatif lebih baik,
yakni 68,2 persen S-1, 24,4 persen S-2, dan 7,4 persen S-3, sedangkan di
perguruan tinggi swasta berturut-turut adalah 86 persen, 12 persen, dan 2
persen.
Sarana dan prasarana pendidikan yang mempengaruhi rendahnya
mutu pendidikan antara lain adalah kurang tersedianya buku pelajaran pokok pada
tingkat SD-MI, SLTP-MTs dan SMU-MA. Meskipun rasio satu buku satu siswa pada
tingkat SD-MI dan SLTP-MTs telah tercapai pada tahun 1998/99, namun karena
distribusi buku tersebut kurang sesuai dengan data jumlah murid di sekolah,
maka masih dijumpai kekurangan buku pada sekolah-sekolah terutama di daerah
yang prasarana transportasinya belum memadai, daerah terpencil dan kepulauan.
Kendala lain yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah penyediaan peralatan
dan fasilitas pendidikan yang belum memadai seperti alat peraga, alat praktik,
perpustakaan sekolah, dan prasarana olah raga.
Masalah lain yang masih dihadapi dalam pembangunan pendidikan
adalah manajemen pendidikan. Manajemen pendidikan nasional secara keseluruhan
masih bersifat sentralistis, meskipun pada jenjang sekolah dasar (SD-MI)
pemerintah daerah berperan cukup besar terutama dalam penyediaan sarana,
prasarana dan personal. Pada jenjang pendidikan dasar, sarana fisik sekolah
menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, sedangkan kualitas pendidikan menjadi
tanggung jawab Departemen Pendidikan Nasional melalui mekanisme kontrol di
tingkat kabupaten. Pengelolaan pendidikan yang sentralistik dan oleh berbagai
lembaga telah menyebabkan sekolah tidak dapat mengembangkan diri secara
optimal.
Pertumbuhan
Penduduk dan Penyakit yang Berkaitan dengan Lingkungan Hidup
Kualitas
penduduk antara lain dapat diamati dari angka indeks pembangunan manusia (IPM)
dengan parameter: angka harapan hidup,
tingkat buta huruf, pendidikan
yang ditamatkan, dan pendapatan per kapita. Kualitas penduduk Indonesia masih
bervariasi antarpropinsi dan masih jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan
negara Asia Tenggara lain seperti Malaysia dan Thailand.
Kuantitas
penduduk dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penduduk. Meskipun laju pertumbuhan
penduduk Indonesia menurun menjadi 1,56 persen, namun jumlah penduduk Indonesia
pada awal tahun 2000 diperkirakan telah mencapai 209,5 juta orang yang terdiri
dari laki-laki 104,3 juta dan perempuan 105,3 juta. Salah satu penyebab masih
cukup tingginya laju pertumbuhan penduduk adalah masih relatif tingginya angka
kelahiran total (TFR). Angka kelahiran total (TFR) Indonesia dewasa ini adalah
2,56 per perempuan, dan cukup bervariasi baik antardaerah maupun antarpropinsi.
Persebaran
penduduk Indonesia juga masih belum merata. Sebagian besar penduduk
terkonsentrasi di Pulau Jawa (58 persen). Hal ini berakibat pada perbedaan
kepadatan penduduk yang sangat mencolok di beberapa propinsi seperti DKI
Jakarta dengan 14,5 ribu penduduk per km2, sedangkan di Irian Jaya
hanya 5 penduduk per km2. Dampak dari persebaran yang tidak seimbang
ini antara lain adalah sulitnya pelaksanaan program pembangunan yang lebih
merata dan memperberat daya tampung lingkungan. Sementara itu, mobilitas
penduduk di Indonesia juga belum mampu memperbaiki pemerataan persebaran
penduduk antarwilayah. Mobilitas penduduk yang menonjol akhir-akhir ini lebih
bersifat mobilitas dengan motif terpaksa sebagai akibat terjadinya kerusuhan
sosial di berbagai wilayah.
Perumusan
kebijakan kependudukan memerlukan data dan informasi yang akurat. Namun
demikian data dan informasi kependudukan yang tersedia saat ini masih terbatas sampai dengan tingkat
kabupaten dan propinsi. Hal ini berkaitan dengan belum terselenggaranya
registrasi dan administrasi kependudukan yang terintegrasi secara nasional.
Krisis ekonomi yang terjadi baru-baru ini berdampak pada
meningkatnya angka pengangguran dan membengkaknya jumlah penduduk miskin. Salah
satu akibatnya adalah terjadinya penurunan derajat kesehatan dan gizi
masyarakat. Gejala itu tampak pada timbulnya berbagai kasus gizi buruk pada
kelompok umur bawah lima tahun yang dapat mengakibatkan turunnya kualitas
generasi mendatang.
Derajat kesehatan antara lain dapat diamati dari beberapa
indikator seperti angka harapan hidup (AHH), angka kematian bayi (AKB), angka
kematian balita (AKABA) dan angka kematian ibu (AKI) waktu melahirkan.
Indikator AHH waktu lahir penduduk Indonesia tercatat 66 tahun (Inkesra, 1999).
Rendahnya AHH tersebut erat kaitannya dengan masih tingginya indikator AKB
yaitu sebesar 46 per 1000 kelahiran hidup (Inkesra, 1999). Pada indikator AKB
di Indonesia terdapat perbedaan antar propinsi yang cukup mencolok. Beberapa
propinsi telah jauh melampaui target nasional, seperti D.I. Yogyakarta (18 per
1.000 kelahiran hidup) dan DKI Jakarta (24 per 1000 kelahiran hidup). Sedangkan
beberapa propinsi lainnya masih jauh ketinggalan antara lain Nusa Tenggara
Barat (96 per 1.000 kelahiran hidup) dan Sulawesi Tengah (65 per 1.000
kelahiran hidup). Di samping itu, kematian neonatal yang memberikan kontribusi
cukup besar pada AKB belum mendapat perhatian yang memadai. Indikator AKABA
tercatat 63 per 1000 kelahiran hidup (Susenas, 1999).
Indikator lain yaitu Angka Kematian Ibu melahirkan (AKI)
masih memprihatinkan. Pada tahun 1995 tercatat 373 per 100.000 kelahiran hidup
(SKRT, 1995). Tingginya AKI tersebut erat kaitannya dengan kurangnya
pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan reproduksi dan pemeriksaan kesehatan
selama kehamilan. Hal ini tercermin dari masih rendahnya pertolongan persalinan yang dibantu tenaga
kesehatan (46 persen), meskipun pelayanan bidan sudah mencakup hampir seluruh
desa.
Status gizi masyarakat dapat diamati dari prevalensi empat
masalah gizi utama, yaitu: gizi kurang, anemia gizi besi, gangguan akibat
kurang yodium (GAKY), dan kurang vitamin A (KVA). Kelompok umur yang paling
rawan menderita gizi kurang adalah 6 - 23 bulan. Prevalensi gizi kurang per
propinsi juga menunjukkan adanya kesenjangan antarwilayah, seperti di Aceh
tercatat 56,1 persen, Nusa Tenggara Timur 52 persen, dan di DKI hanya 22,1
persen. Disamping itu adanya prevalensi gizi buruk yang meningkat dari 6,3
persen pada tahun 1989 menjadi 8,1 persen pada tahun 1999. Anemia gizi besi pada ibu hamil pada tahun
1995 tercatat 50,9 persen. Tingginya prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil
memberikan kontribusi terhadap masih tingginya AKI. Prevalensi GAKY yang diukur
dengan Total Goiter Rate (TGR) menunjukkan penurunan cukup tajam dari
27,7 persen pada tahun 1990 menjadi 9,8 persen pada tahun 1998. Namun demikian
prevalensi GAKY di beberapa propinsi masih tinggi seperti Nusa Tenggara Timur,
Maluku dan Sulawesi Tenggara berturut-turut sebesar 38,1 persen, 33,3 persen
dan 24,9 persen. Hal ini perlu mendapat
perhatian karena di beberapa propinsi tingkat konsumsi garam beryodium ternyata
masih rendah. Kebutaan karena KVA sudah tidak merupakan masalah kesehatan
masyarakat lagi. Namun masih rendahnya kadar vitamin A dalam darah anak balita
saat ini berdampak pada peningkatan angka kesakitan dan kematian akibat
penyakit infeksi terutama campak dan diare. Selain itu KVA pada ibu hamil dan
balita cenderung meningkat.
Rendahnya status gizi masyarakat disebabkan oleh berbagai
faktor yang saling berkaitan terutama dipengaruhi oleh ketersediaan pangan di
tingkat rumah tangga, kemiskinan, pendidikan dan lingkungan serta budaya yang
ada di masyarakat. Pada tahun 1999 tercatat sekitar 8 juta balita menderita
gizi kurang, 1,7 juta diantaranya mengalami gizi buruk. Memburuknya status gizi
pada kelompok rentan yaitu wanita usia subur, ibu hamil, dan ibu menyusui, mengakibatkan
rendahnya tingkat kesehatan bayi baru
lahir. Hal ini diperburuk lagi oleh pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif yang
semakin berkurang dan pola pemberian makanan pendamping ASI yang tidak tepat,
sehingga akan menyebabkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan intelektual
balita. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan intelektual yang terjadi sejak
dalam kandungan dan berlanjut pada usia balita akan mengancam kualitas
sumberdaya manusia generasi mendatang.
Angka kesakitan beberapa penyakit menular cenderung
meningkat, seperti penyakit malaria, tuberculosis (TB), demam berdarah
(DBD) dan HIV/AIDS. Akibat dari penyakit TB setiap tahunnya tercatat penderita
baru sekitar 583 ribu orang dan menyebabkan kematian sekitar 140 ribu orang. Walaupun berbagai upaya penanggulangan
penyakit TB sudah dilakukan tapi hasilnya belum memuaskan. Kasus HIV/AIDS terus
menunjukkan peningkatan sejak pertama kali ditemukan (1987) dan pada tahun 1998
tercatat sekitar 120 ribu kasus (0,06 persen dari penduduk). Selain itu,
Indonesia perlu mewaspadai timbulnya atau masuknya penyakit-penyakit baru yang
berpotensi wabah dan menimbulkan korban seperti Ebola, radang otak, virus
Nipah, dan radang paru Nanta virus. Beberapa penyakit degeneratif dan penyakit
tidak menular yang berkaitan dengan perubahan gaya hidup juga memperlihatkan
kecenderungan meningkat. Saat ini angka kesakitan dan kematian yang disebabkan
berbagai penyakit berbasis lingkungan seperti infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA), diare, penyakit kulit, dan kecacingan juga masih tinggi.
Diamati pula kecenderungan meningkatnya masalah kecacatan
yang disebabkan baik oleh kelahiran, kecelakaan maupun rudapaksa. Kejadian bayi
lahir cacat belum mendapat perhatian khusus terutama dalam pelayanan khusus
tumbuh kembangnya, sehingga hak-hak untuk hidup mandiri dan berkualitas belum
terjamin. Selain itu masalah kesehatan remaja yang makin menonjol seperti
penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA), merokok,
pergaulan bebas, dan perubahan pola makan terutama di kota besar belum mendapat
perhatian khusus. Keadaan ini ditambah dengan melemahnya sistem dukungan
masyarakat dalam mencegah dan menanggulangi masalah tersebut.
Pertumbuhan
Penduduk dan Kelaparan
Pangan adalah hak azasi manusia yang didasarkan atas 4
(empat) hal berikut:
1.
Universal
Declaration of Human Right (1948) dan The International Covenant on Economic,
Social, and Cultural Rights (1966) yang menyebutkan bahwa “everyone should have
an adequate standard of living, including adequate food, cloothing, and housing
and that the fundamental right to freedom from hunger and malnutrition”.
2.
Rome
Declaration on World Food Security and World Food Summit 1996 yang ditanda
tangani oleh 112 kepala negara atau penjabat tinggi dari 186 negara peserta,
dimana Indonesia menjadi salah satu di antara penandatangannya. Isinya adalah
pemberian tekanan pada human right to adequate food (hak atas pemenuhan
kebutuhan pangan secara cukup), dan perlunya aksi bersama antar negara untuk
mengurangi kelaparan.
3.
Millenium
Development Goals (MDGs) menegaskan bahwa tahun 2015 setiap negara termasuk
Indonesia menyepakati menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuhnya.
4.
Hari
Pangan Sedunia tahun 2007 menekankan pentingnya pemenuhan Hak Atas
Pangan.
Maka jika membahas tentang
tingkat kelaparan dan gizi buruk, tentu tak bisa lepas dari angka pertumbuhan
penduduk dan akibatnya pada stock produksi pangan [dunia]. Laju pertumbuhan
penduduk memberikan dampak secara langsung yaitu meningkatnya (demand)
konsumsi bahan pangan dan dampak tidak langsung yakni bertambahnya kebutuhan
pemukiman yang otomatis akan mengubah lahan pertanian untuk dijadikan tempat
tinggal. Secara lebih sederhana, sebab dan akibat tersebut seperti multiple
efect yang tak terpisahkan. Pertambahan penduduk membutuhkan papan dan
pangan, sedang produksi pangan juga sangat tergantung oleh lahan yang saat ini
juga mengalami penyempitan karena alih fungsi untuk pemukiman. Krisis
pangan sekarang dan di masa mendatang bukan hanya masalah kronis negara-negara
miskin, tetapi juga akan jadi masalah serius bagi negara-negara maju dari semua
belahan benua. Tanda-tanda dunia mengalami kekurangan pangan terlihat dari
ketidakseimbangan jumlah penduduk dunia dengan produksi pangan global dimana
asumsi jumlah penduduk dunia bisa mencapai 9 miliar pada tahun 2045. Kondisi
demografi ini membutuhkan produksi pangan dunia yang harusnya naik 70 persen
dari produksi saat ini.
Akan tetapi, target produksi pangan yang sedemikian besar terkendala oleh faktor bencana alam, fluktuasi iklim yang semakin tidak menentu, krisis energi, krisis ekonomi dan krisis politik ( yang berdampak pada mahalnya harga pupuk dan obat) serta pola penanaman yang menggunakan bahan-bahan kimia mengakibatkan penurunan tingkat kesuburan tanah dalam jangka panjang yang semua itu merupakan penghalang significant terhadap peningkatan produksi pangan. Kondisi tersebut masih ditambah lagi dengan menyempitnya lahan pertanian karena pergerakan alih fungsi untuk pemukiman (sebagai konsekuensi lain dari pertumbuhan jumlah penduduk juga) yang juga merupakan penyebab yang cukup kritis untuk dicermati. Laju penurunan lahan pertanian di Indonesia setiap tahunnya mencapai sekitar 2,8 juta hektar/tahun dan tingkat alih fungsi lahan pun terus meningkat setiap tahunnya sekitar 110.000 hektar/tahun (Data Kementerian Pertanian, 2011).
Pertanian, secara khusus dalam
komoditi padi merupakan sektor yang penting dalam memenuhi kebutuhan pangan
masyarakat dunia. Bersama Filipina dan Malaysia, Indonesia disiapkan
menjadi lumbung pangan di ASEAN yang diharapkan bisa bersama-sama mendukung
Jepang, China, dan Korea Selatan untuk menjadi solusi dari masalah [krisis]
pangan dunia. Untuk mencapai target menjadi food basket tersebut,
tentu dibutuhkan pengembangan teknologi yang support terhadap produksi
pertanian, anggaran yang memadai, dan peran aktif semua elemen masyarakat,
terutama terkait dengan berkurangnya lahan pertanian akibat konversi lahan
pertanian menjadi pemukiman atau area industri.
Masalah tersebut berakar pada masalah ketersediaan,
distribusi, keterjangkauan pangan, kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan serta
perilaku masyarakat. Selain itu, jumlah penduduk Indonesia yang besar dan
tersebar dalam berbagai wilayah memerlukan penanganan ketahanan pangan yang
terpadu dan terintegrasi. Penanganan ketahanan pangan yang dimaksud memerlukan perencanaan
lintas sektor dan dengan sasaran serta tahapan yang jelas dan terukur dalam
jangka menengah maupun panjang.
Kemiskinan
dan Kelaparan
Berbicara tentang kemiskinan, pada
dasarnya dapat didefinisikan secara sederhana maupun dalam arti luas.Dalam
pengertian yang sederhana kemiskinan dapat diterangkan sebagai kurangnya
pemilikan materi atau ketidakcukupan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Sementara itu dalam arti yang lebih luas kemiskinan dapat meliputi
ketidakcukupan yang lain seperti : rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya
kesempatan kerja dan berusaha, keterbatasan akses terhadap berbagai hal, dan
lain-lain.
Dimensi kemiskinan, secara dinamis me-ngalami
perubahan dengan mempertimbangkan aspek nonekonomi masyarakat miskin.
Sedikitnya terdapat sembilan dimensi kemiskinan yang perlu dipertimbangkan,
yaitu :
(a)
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar (papan, sandang, dan peru-mahan);
(b)
aksessibilitas ekonomi yang rendah terhadap kebutuhan dasar lainnya (kesehatan,
pendidikan, sanitasi yang baik, air bersih, dan transportasi);
(c)
lemahnya kemampuan untuk melakukan akumulasi kapital;
(d)
rentan terhadap goncangan faktor eksternal yang bersifat individual maupun
massal;
(e)
rendahnya kualitas sumber daya manusia dan penguasaan sumber daya alam;
(f)
ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan;
(g) terbatasnya akses terhadap kesempatan
kerja secara berkelanjutan;
(h) ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat
fisik maupun mental; dan
(i) mengalami ketidakmampuan dan
ketidakberuntungan sosial.
Karakteristik
penduduk miskin secara lebih spesifik, di antaranya dicirikan oleh beberapa hal
sebagai berikut :
(a)
masyarakat miskin sebagian besar tinggal di pedesaan dengan mata pencaharian
dominan berusaha sendiri di sektor pertanian (60,0 %);
(b) sebagian besar (60 %) penduduk
berpenghasilan rendah mengkonsumsi energi kurang dari 2.100 kkal/ hari;
(c)
berdasarkan indikator silang proporsi pengeluaran pangan (> 60 %) dan
kecukupan gizi (energi < 80%), diperoleh proporsi rumah tangga rawan pangan
nasional mencapai sekitar 30,0 %; dan
(d)
penduduk miskin dengan tingkat SDM yang rendah, umumnya tinggal di wilayah
dengan karakteristik marjinal, dukungan infrastruktur terbatas, dan tingkat
adopsi teknologi rendah.
Kelaparan didefinisikan sebagai kondisi hasil
dari kurangnya konsumsi pangan kronik.Dalam jangka panjang, kelaparan kronis
berakibat buruk pada derajat kesehatan masyarakat dan menyebabkan tingginya
pengeluaran masyarakat untuk kesehatan.
BAB II
Ilmu Teknologi dan Pengetahuan Lingkungan
Keberlanjutan
Pembangunan
Pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa harus mengurangi
kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dari generasi yang akan datang.
Pembangunan berkelanjutan harus memerhatikan pemanfaatan lingkungan hidup dan
kelestarian lingkungannya agar kualitas lingkungan tetap terjaga. Kelestaraian
lingkungan yang tidak terjaga, akan menyebabkan daya dukung lingkungan
berkurang, atau bahkan akan hilang.
Pembangunan berkelanjutan mengandung
arti sudah tercapainya keadilan sosial dari generasi ke generasi. Dilihat dari
pengertian lainnya, pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan nasional yang
melestarikan fungsi dan kemampuan ekosistem.
Pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan telah diperkuat oleh kesepakatan para pemimpin bangsa, antara
lain dalam Deklarasi Rio pada KTT Bumi tahun 1992, Deklarasi Millenium PBB
tahun 2000, dan Deklarasi Johannesburg pada KTT Bumi tahun 2002.
Ciri-ciri Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan yang berkelanjutan harus
mencerminkan tindakan yang mampu melestarikan lingkungan alamnya. Pembangunan
berkelanjutan mempunyai ciri-ciri sebagai berkut.
1. Memberi kemungkinan pada
kelangsungan hidup dengan jalan melestarikan fungsi dan kemampuan ekosistem
yang mendukungan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
2. Memanfaatkan sumber daya alam dengan
memanfaatkan teknologi yang tidak merusak lingkungan.
3. Memberikan kesempatan kepada sektor
dan kegiatan lainnya untuk berkembang bersama-sama di setiap daerah, baik dalam
kurun waktu yang sama maupun kurun waktu yang berbeda secara berkesinambungan.
4. Meningkatkan dan melestarikan
kemampuan dan fungsi ekosistem untuk memasok, melindungi, serta mendukung
sumber alam bagi kehidupan secara berkesinambungan.
5. Menggunakan prosedur dan tata cara
yang memerhatikan kelestarian fungsi dan kemampuan ekosistem untuk mendukung
kehidupan, baik masa kini maupun masa yang akan datang.
Menteri Kependudukan dan Lingkungan
Hidup (1990), mennariskan kebijakan lingkungan dalam kaitanna dengan
pembangunan yang berklanjutan sebagai berikut.
1. Mengingat kembali pertumbuhan.
Pertumbuhan yang dimaksud adalah pertumbuhan ekonomi, yang mempunyai kaitan
langsung dengan kesejahteraan masyarakat. Indikator untuk mengetahui
kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari pendapatan per kapitanya. Negara
yang sedang berkembang pertumbuhan miimum dari pendapatan nasional 5% per
tahun.
2. Mengubah kualitas pertumbuhan yang
berhubungan dengan tindakan pelestarian sumber daya alam, perbaikan pemerataan
pendapatan, dan ketahanan terhadap berbagai krisis ekonomi.
3. Memenuhi kebutuhan dasar manusia,
anara lain pangan, papan, sandang, energi, air, dan sanitasi harus dapat
memenuhi standar minimum bagi golongan ekonomi lemah.
4. Memastikan tercapainya jumlah
penduduk yang berkelanjutan. Jumlah penduduk yang mampu mendukung pembangunan
berkelanjutan adalah penduduk yang stabil dan sesuai dengan daya dukung
lingkungan. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi (>2% per tahun), seperti
yang terjadi di negara-negara sedang berkembang perlu ada penurunan penduduk
menuju tingkat pertumbuhan 0% (zero population growth).
5. Menjaga kelestarian dan meningkatkan
sumber daya dengan penciptaan dan perluasan lapangan kerja, pelestarian, dan
penggunaan energi secara efisien, pencegahan pencermaran (air dan udara) sedini
mungkin.
6. Berorientasi pada teknologi dalam
pengelolaan resiko, antara lain penciptaan inovasi teknologi dan penggunaan
teknologi yang ramah lingkungan.
7. Menggabungkan kepentingan lingkungan
dan ekonomi dalam pengambilan keputusan. Misalnya, kebijakan efisiensi
penggunaan energi dengan biaya produksi minimal dapat menggunakan energi
semaksimal mungkin.
Mutu Lingkungan Hidup dengan Resiko
Dalam
Undang-undang nomor 32 tahun 2009 dalam pasal 13 tercantum bahwa pengedalian
pencemaran dan /atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka
pelestarian fungsi lingkungan hidup. Pengedalian pecemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup ini terdiri dari 3 hal yaitu : pencegahan,penanggulangan dan
pemulihan lingkungan hidup dengan menerapkan berbagai instrument-instrument
yaitu : Kajian lingkungan hidup straegis (KLHS); Tata ruang; Baku mutu
lingkungan hidup; Kreteria baku mutu kerusakan lingkungan hidup; Amdal;
UKL-UPL; perizinan; instrument ekonomi lingkungan hidup; peraturan
perundang-undangan berbasis lingkungan hidup; anggaran berbasis lingkungan
hidup; Analisis resiko lingkungan hidup; audit lingkungan hidup, dan instrument
lain sesuai dnagan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.
Setiap orang yang
melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan
pemulihan fungsi lingkungan dengan melalui antara lain: penghentian sumber
pencemaran dan pembersihan unsur pencemar; remediasi; rehabilitasi; restorasi
dan/atau cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengtahuan dan
teknologi. Pemeliharan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya: konservasi
sumber daya alam; pencadangan sumber daya alam; dan/atau pelestarian fungsi
atmosfer. Sedangkan konservasi sumber daya adalah perlindungan sumber daya
alam; pengawetan sumber daya alam; dan pemanfaatan secara lestari sumber daya
alam.
Kesadaran
Lingkungan
Kesadaran tentang lingkungan hidup
menyangkut kesadaran akan betapa pentingnya lingkungan hidup dalam menunjang
kwalitas hidup sangat di perlukan demi terciptanya lingkungan hidup yang
harmonis dan lestari lewat tindakan-tindakan yang positif.
Hasil penelitian teoritik tentang
kesadaran lingkungan hidup dari Noelaka (1991), menyatakan bahwa kesdaran
adalah keadaan tergugahnya jiwa terhadap sesuatu, dalam hal ini terhadap
lingkungan hidup dan terlihat pada perilaku dan tindakan masing-masing individu.
Husserl yang dikutip Brauwer (1986), menyatakan bahwa kesadaran adalah pikiran
sadar (pengetahuan) yang mengatur akal, hidup wujud yang sadar, bagian dari
sikap/perilaku yang di lukiskan sebagai gejala dalam alam dan harus dijelaskan
berdasarkan prinsip sebab musabab.
Daniel Chiras 1985 dan 1991) menyatakan bahwa dasar penyebab
kesadaran lingkungan adalah etika lingkungan. Etika lingkungan yang sampai
sekarang masih berlaku adalah etika lingkungan yang didasarkan pada sisitem
nilai yang mendudukan manusia bukan bagian dari alam tetapi manusia sebagai
pengatur dan penakluk alam. Sistem nilai ini timbul dari sifat dasar manusia
sebagai makhluk biologis. Setiap makhluk biologis memiliki sifat dasar “biological
imperialisme” , sifat yang mau makan untuk hidup bagi dirinya sendiri
dan bagi keturunannya sehingga tumbuh menjadi sikap “anthopocentric”, semuannya
berpusat pada diri sendir.
Kesadaran Lingkungan menurut M.T Zen
(1985) adalah usaha melibatkan setiap warga negara dalam menumbuhkan dan
membina kesadaran untuk melestarikan lingkungan berdasarkan tata nilai, yaitu
tata nilai pada lingkungan itu sendiri dengan filsafat hidup secara damai
dengan alam lingkungannya.
Menurut Emil Salim (1982) Kesadaran Lingkungan adalah upaya untuk menumbuhkan kesadaran agar tidak hanya tahu tentang sampah, pencemaran, penghijauan dan perlindungan satwa langka, tetapi lebih dari pada itu semua membangkitkan kesadaran lingkungan manusia Indonesia khususnya pemuda masa kini untuk mencintai tanah dan air untuk membangun tanah air Indonesia yang adil, makmur serta utuh lestari. Selanjutnya dikatakan bahwa sadar lingkungan ini mendorong pribadi manusia untuk hidup serasi dengan alam dan dengan begitu menumbuhkan rasa religi dan gandrung akan kasih Allah yang sesungguhnya tertulis pada alam dan isi bumi ini.
Menurut Joseph Murphy (1988),
Kesadaran ialah siuman atau sadar akan tingkah lakunya yaitu pikaran sadar yang
mengatur akal dan dapat menentukan pilihan terhadap yang diingini misalnya
bail-buruk, indah-jelek dan sebagainya. Poedjawijatna (1986), menyatakan bahwa
kesadaran adalah sadar berdasarkan pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang
tergugahnya jiwa terhadap sesuatu, sadar dan tahu itu sama. Selanjutnya dia
menyatakan bahwa manusia dinilai oleh manusia lain melalui tindakannya.
Sigmund Freud yang dikutip Monowito
(1985), menyatakan bahwa keadaan manusia dalam sadar itu dapat dinamakan
kesadaran atau dapat dibalik bahwa kesadaran ialah keadaan manusia dalam
sadar/siuman dan manusia dalam sadar itu dapat menginsyafi kesadarannya. Untuk
menginsyafi kesadarannya maka pertama ia menyadari diri sendiri dan kedua ia
menyadari dunia luar. Selanjutnya ia menyadari ruang dan waktu. Ia menginsyafi
dimanakah ia berada di situ..? Kecakapan menyadari ruang dan waktu menyebabkan
seseorang berorientasi ke dunia luar, meninjau keadaan di sekitarnya. Adapun
manusia dalam sadar itu dapat mempergunakan akal jiwanya apabila ia waras,
normal serta jiwanya tidak di pusatkan pada suatu hal yang meliputi seluruh
perhatiannya, demikianlah manusia dalam sadar.
Hubungan
Lingkungan dengan Pembangunan
Pembangunan dan lingkungan mempunyai
hubungan yang erat saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Pembangunan dalam hal ini berupa kegiatan usaha maupun kegiatan untuk hajat
hidup orang banyak, membutuhkan faktor lingkungan baik lingkungan alam maupun
lingkungan sosial sebagai unsur produksi baik secara langsung maupun tidak
langsung. Lingkungan alam menjadi pemasok sumberdaya alam yang akan diproses
lebih lanjut guna memenuhi kebutuhan manusia, sedangkan lingkungan sosial
menyediakan sumberdaya manusia sebagai pelaku pembangunan.
Sebaliknya lingkungan membutuhkan pembangunan
untuk bisa memberikan nilai guna atau manfaat yang dapat diukur secara ekonomi.
Demikian pula lingkungan sosial juga membutuhkan pembangunan guna mendapatkan
manfaat untuk kehidupan yang lebih baik. Kegiatan pembangunan yang menghasilkan
berbagai produk baik barang dan jasa telah memberikan manfaat bagi
kesejahteraan, kemudahan, dan kenyamanan bagi kehidupan manusia diberbagai
bidang. Namun demikian, dalam kaitan dengan lingkungan alam, ancaman datang
dari dua sumber yakni polusi dan deplesi sumberdaya alam. Polusi berkaitan
dengan kontaminasi lingkungan oleh industri, sedangkan deplesi sumberdaya alam
bersumber dari penggunaan sumbersumber yang terbatas jumlahnya (Hadi dan
Samekto, 2007:2).
Pertumbuhan
pembangunan di satu sisi akan memberikan kontribusi positif terhadap taraf
hidup masyarakat. Namun di sisi lain akan berakibat menurunnya fungsi
lingkungan. Alih fungsi lahan untuk pembangunan secara langsung akan mengurangi
luas lahan hijau, baik lahan pertanian maupun kawasan hutan yang merupakan
penghasil oksigen. Sementara meningkatnya pemakaian bahan bakar fosil sebagai
sumber energi justru menyumbang gas karbon yang akhirnya berdampak pada
perubahan iklim yang terjadi karena efek rumah kaca. Kontradiksi antara
kepentingan pembangunan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan ini
memerlukan upaya dan langkah nyata agar keduanya dapat dilakukan secara
seimbang dan harmonis, sesuai amanat pembangunan berkelanjutan yakni
pembangunan dengan memperhatikan tiga pilar utama yakni ekonomi, lingkungan,
dan sosial.
Pencemaran
dan Perusakan Lingkungan Hidup Oleh Pembangunan
Dalam pembangunan, sumber daya alam
merupakan kompnen yang penting karena sumber alam ini memberikan kebutuhan
asasi bagi kehidupan. Dalam penggunaan sumber alam tadi, hendaknya keseimbangan
ekosistem proyek pembangunan, keseimbangan ini bisa terganggu, yang
kadang-kadang bisa membahayakan kehidupan umat. Harus dicari jalan keluar yang
saling menguntungkan dalam hubungan timbal balik antara proses pembangunan,
penggalian sumber daya, dan masala pengotoran atau perusakan lingkunga hidup
manusia. Sebab pada umumnya, proses pembangunan mempunyai akibat-akibat yang
lebih luas terhadap lingkungan hidup manusia, baik akibat langsung maupun
akibat sampingan seperti pengurangan sumber kekayaan alam secara kuantitatif
& kualitatif, pencemaran biologis, pencemaran kimiawi, gangguan fisik dan
gangguan sosial budaya.
Kerugian-kerugian
dan perubahan-perbahan terhadap lingkungan perlu diperhitungkan, dengan
keuntungan yang diperkirakan akan diperoleh dari suatu proyek pembangunan.
Itulah sebabnya dala setiap usaha pembangunan, ongkos-ongkos sosial untuk
menjaga kelestarian lingkungan perlu diperhitungkan, sedapat mungkin tidak
memberatkan kepentingan umum masyarakat sebagai konsumen hasil pembangunan
tersebut.
beberapa
hal yang dapat dipertimbangkan dalam mengambil keputusan-keputusan demikian,
antara lain adalah kualitas dan kuantitas sumber kekayaan alam yang diketahui
dan diperlukan; akibat-akibat dari pengambilan sumber kekayaan alam termasuk
kekayaan hayati dan habisnya deposito kekayaan alam tersebut. Bagaiaman cara
pengelolaannya apakah secara traditional atau memakai teknologi modern,
termasuk pembiayaannya dan pengaruh proyek pada lingkungan terhadap memburuknya
lingkungan serta kemungkinan menghentikan perusakan lingkungan dan menghitung
biaya-biaya serta alternatif lainnya.
Lingkungan
Hidup
Hal
– hal tersebut di atas hanya merupakan sebagian dari daftar persoalan, atau
pertanyaan yang harus dipertimbangkan bertalian dengan setiap proyek
pembangunan. Juga sekedar menggambarkan masalah lingkungan yang konkret yang
harus dijawab. Setelah ditemukan jawaban yang pasti atas pertanyaan-pertanyaan
tadi, maka disusun pedoman-pedoman kerja yang jelas bagi pelbagai kegiatan
pebangunan, baik berupa industri atau bidang lain yang memperhatikan faktor
perlindungan lingkungan hidup manusia.
Jenis
Limbah yang menyebabkan Pencemaran Tanah
Pencemaran
tanah adalah keadaan di mana bahan kimia buatan manusia masuk dan merubah
lingkungan tanah alami. Pencemaran ini biasanya terjadi karena: kebocoran
limbah cair atau bahan kimia industri atau fasilitas komersial, penggunaan
pestisida, masuknya air permukaan tanah tercemar ke dalam lapisan
sub-permukaan, zat kimia, atau limbah. air limbah dari tempat penimbunan sampah
serta limbah industri yang langsung dibuang ke tanah secara tidak memenuhi
syarat.
Jika
suatu zat berbahaya telah mencemari permukaan tanah, maka ia dapat menguap,
tersapu air hujan dan atau masuk ke dalam tanah. Pencemaran yang masuk ke dalam
tanah kemudian terendap sebagai zat kimia beracun di tanah. Zat beracun di
tanah tersebut dapat berdampak langsung kepada manusia ketika bersentuhan atau
dapat mencemari air tanah dan udara di atasnya. Pencemaran tanah berawal dari
limbah domestik, limbah industri, dan limbah pertanian
Limbah
Domestik
Limbah
domestik dapat berasal dari daerah pemukiman penduduk. perdagang-an, pasar,
tempat usaha hotel dan lain-lain.
“Limbah
padat berupa sampah anorganik. Jenis sampah ini tidak bisa misalnyalastik,
kaleng minuman, botol plastik air mineral dan lain-lain.”
“Limbah
cair berupa sisa diterjen dari rumah, tinja,Oli, dan lain-lain yang meresap ke
dalam tanah yang dapat membunuh mikro-organisme di dalam tanah.”
Limbah
industri
Limbah
Industri berasal dari lingkungan industri yang membuang limbah secara langsung
ke tanah tanpa proses penetralan zat-zat kimia terlebih dahulu.
“Limbah
Industri bisa berupa limbah padat yang bisa berupa Lumpur yang berasal dari
sisa pengolahan misalkan sisa pengolahan kertas, gula, rayon, plywood dan lain-lain”
“Limbah
cairan yang berupa hasil pengolahan dari proses produksi industri seperti sisa
hasil pengolahan industri pelapisan logam, tembag, perak, khrom, boron adalah
zat-zat yang dihasilkan dari proses industri pelapisan logam”.
Limbah
Pertanian
Limbah
pertanian berasal dari pemberian pupuk petani untuk tanamanya atau racun untuk
pembunuh hama. misalnya pupuk urea, Pestisida.Harus dicari jalan keluar yang
saling menguntungkan dalam hubungan timbal balik antara proses pembangunan,
penggalian sumber daya, dan masala pengotoran atau perusakan lingkunga hidup
manusia. Sebab pada umumnya, proses pembangunan mempunyai akibat-akibat yang
lebih luas terhadap lingkungan hidup manusia, baik akibat langsung maupun
akibat sampingan seperti pengurangan sumber kekayaan alam secara kuantitatif
& kualitatif, pencemaran biologis, pencemaran kimiawi, gangguan fisik dan
gangguan sosial budaya. Kerugian-kerugian dan perubahan-perbahan terhadap
lingkungan perlu diperhitungkan, dengan keuntungan yang diperkirakan akan
diperoleh dari suatu proyek pembangunan. Itulah sebabnya dala setiap usaha
pembangunan, ongkos-ongkos sosial untuk menjaga kelestarian lingkungan perlu
diperhitungkan, sedapat mungkin tidak memberatkan kepentingan umum masyarakat
sebagai konsumen hasil pembangunan tersebut.
SUMBER
ejurnal.bppt.go.id/index.php/JTL/article/download/214/162+&cd=39&h