Cerita berikut telah dipost pada: http://battle-of-realms.blogspot.com
Link cerita: http://battle-of-realms.blogspot.com/2014/06/round-3-k8-ravelt-tardigarde.html
Untuk pengenalan entri karakter bisa dilihat pada: http://battle-of-realms.blogspot.com/2014/03/ravelt-tardigarde.html
[Round 3-K8] Ravelt Tardigarde vs Sjena Reinhilde
"Room of Steel"
Written by Harid Ziran
---
Prelude
—Sebentar lagi, kau harus memilih—
Angin
semilir menerpa tubuh Ravelt, membelainya perlahan. Satu – persatu,
kabut dan awan melewatinya, melambai. Pandangannya yang sendu
menunjukkan kelelahan dan kerinduan akan sesuatu. Sementara tangan
kanannya sedang digandeng oleh Hvyt di angkasa yang luas dan megah.
Ditambah lagi dengan langit hitam pekat yang dihiasi oleh sang purnama
merah menambah suasana romantis disekitar mereka, seakan-akan dunia
milik berdua.
Tunggu dulu, kenapa narasinya jadi aneh begini? Ah sudahlah, lupakan.
Ravelt
sedang diantar oleh Hvyt menuju tempat selanjutnya dalam permainan adu
bunuh milik sang penguasa Devasche Vadhi— Thurqk, yang mengaku sebagai
dewa pencipta. Sudah dua ronde yang ia lewati.
Ronde
pertama dilewatinya dengan menerima beberapa luka dan dalam kondisi
yang agak kepayahan, tapi menurutnya itu sangat memuaskan.
Ronde
kedua yang barusan dilewatinya dengan mulus, menghabisi hampir seluruh
peserta sendirian menggunakan kekuatan dahsyat yang ia miliki dan ia
pikir pertarungan itu membosankan.
Untuk ronde ketiga, tampaknya Ravelt sudah kehabisan ide.
Maklum,
ia termasuk salah satu dari sekian orang yang merasa tidak puas kalau
pertarungan yang ia hadapi tidak membuatnya merasakan kesenangan dan
ketegangan saat bertarung mempertaruhkan nyawa satu sama lain.
"Hey
pesuruh! Kapan kita sampai? Dewamu tampaknya senang membuat orang
menderita. Atau jangan – jangan kau yang salah arah? Aah, ini semua
menyebalkan."
"Maaf
tuan Ravelt, kita sedang berada di jalan yang benar. Akan tetapi
tempat ini adalah sebuah jalur sibuk, jadi ada batasan kecepatan
disini."
"Haaah?
Mananya sibuk? Satu – satunya hal yang kusaksikan daritadi hanyalah
langit yang dihiasi bintang merah dan bulan. Yang berlalu lalang juga
hanya awan."
"Anda tidak percaya? Sebentar lagi anda akan melihat buktinya."
Baru
saja Ravelt ingin menggerutu dan membalas perkataan Hvyt, dirinya tiba
– tiba sudah berada di tengah kerumunan Hvyt yang sedang berlalu
lalang— sambil terbang, tentunya.
Terdapat
banyak sekali Hvyt yang melewati jalur itu, entah ratusan atau mungkin
ribuan dan masing – masing memakai baju yang berbeda – beda.
Ada
yang memakai baju seperti tukang pos, ada yang memakai baju pengantar
barang, tuxedo, dan baju batik kondangan yang biasa dipakai oleh
keluarganya saat ia masih hidup normal. Bahkan ada pula yang memakai
baju merah dan topi dengan simbol "M" berwarna kuning dengan slogan
"I'm Lovin' It"
Mereka buka cabang disini?
"Oke,
aku mengerti. Tapi setidaknya percepat jalanmu sedikit! Aku sudah
menggandengmu selama dua jam! Satu – satunya tangan yang mau kugandeng
dalam waktu selama itu hanyalah tangan seorang wanita!"
Hvyt tetap tak bergeming, menunjukkan ekspresi yang dingin sambil melihat ke arah depan.
Satu
jam kemudian mereka mendarat di sebuah daratan beralas besi, dengan
sebuah gerbang besar yang terbuat dari baja. Tak ada satupun tempat
yang beralas tanah sejauh mata memandang.
"Huff, akhirnya."
Tanpa basa – basi, Ravelt duduk bersila di tempat itu. Tubuhnya diliputi aura keemasan, pertanda dia sedang melakukan access.
"Tuan Ravelt, anda tidak seharusnya menggunakan kekuatan anda di tempat seperti ini! Ini sudah melanggar peraturan!"
"Haa?
Siapa yang bilang? Lagipula aku hanya mengeluarkan makanan, sudah
seharian perutku kosong. Dan lagi, seorang raja harus makan ditempat
seperti ini? Menyebalkan! Dewamu yang sok itu benar – benar tidak tahu
caranya menjamu orang."
Lagi
– lagi Hvyt terpaksa diam, melanjutkan pekerjaannya membuka gerbang
besar itu dengan sebuah mekanisme otomatis. Memang benar, aura keemasan
yang meliputi tubuh Ravelt kini menghilang dan digantikan dengan
sebuah roti isi daging dan sekaleng minuman soda.
"Lewat sini tuan."
Pintu gerbang itu terbuka, memperlihatkan sebuah lorong besar yang terbuat dari baja dan mengarah ke bawah tanah.
"Tunggu sampai aku selesai."
"Tapi waktu pertarungan anda—"
Hvyt
tidak melanjutkan kata – katanya. Peserta yang berada didepannya
meengeluarkan jari telunjuk kirinya ke atas, sebuah sinyal untuk diam
sementara ia sedang menenggak minuman bersoda itu pelan – pelan.
—TO ACT I—
Act 1
Sjena's part
Seorang
gadis berkulit coklat gelap sedang dipandu oleh Hvyt menuruni tangga –
tangga koridor remang tak berujung dimana dindingnya terbuat dari baja
yang tebal dan tak mampu ditembus oleh apapun.
Dengan
sebuah tank top hitam dan hot pants berwarna abu sebagai pilihan
pakaiannya, dapat diketahui kalau gadis ini adalah petarung yang
mengandalkan pergerakan tubuh yang penuh manuver dan kelincahan gerak,
kalau tidak mau disangka sebagai anak gaul yang rajin nongkrong di mall zaman sekarang.
"Hvyt, kapan kita sampai?" tanya gadis itu dengan nada suara yang agak berat.
Kedua
tangannya menempel pada dinding koridor baja dingin menuntun jalannya
pelan – pelan, sambil menyeret kakinya mengikuti langkah Hvyt yang
sudah berada sekitar tiga meter didepannya.
"Sebentar
lagi nona Sjena, sabarlah. Ruangan yang kita tuju hanya beberapa puluh
meter lagi dari sini. Sebuah jarak yang cukup dekat, saya pikir."
"Uh.... tapi tempat ini gelap sekali."
"Gelap?
Saya pikir tempat ini sudah mendapat pencahayaan yang cukup untuk
menuntun kita sampai tujuan. Kecuali kalau anda memiliki suatu
ketakutan khusus akan kegelapan"
Sjena terdiam, pandangan matanya tertunduk kebawah.
Setelah
beberapa menit penuh keheningan menyusuri tangga spiral koridor yang
terus menuju kebawah, mereka berdua tiba di depan sebuah pintu baja
yang besar dengan tulisan berwaarna merah di atasnya.
KHRAMANAKA – 08
"Disini. Kita sudah sampai."
"Jadi, disini tempat pertarunganku berikutnya."
Sjena menoleh, bertanya menghadap Hvyt yang sudah bergerak ke sebelah kanan pintu dimana terdapat sebuah tuas disana.
"Ruangan
ini sudah dirancang sedemikian rupa untuk menjatuhkan bola besi yang
tak dapat dihancurkan oleh apapun setiap beberapa menit. Semakin lama
anda berada di dalam, semakin banyak bola yang akan jatuh. Tugas anda
adalah membunuh lawan di depan anda dengan batas waktu tiga puluh
menit."
"Dan kalau batas waktu itu kulanggar?"
"Itu tugas anda sendiri untuk mencari tahu. Yang jelas, itu bukan sesuatu yang menyenangkan."
Intinya cukup menghabisi musuh secepat mungkin dalam batas waktu tiga puluh menit. Instruksi mudah.
"Sekarang
masuklah nona Sjena. Lawan anda mungkin sudah menunggu di dalam. Ah,
dan jangan lupa begitu anda melangkah masuk hitungan mundur akan
langsung dimulai."
"Baik, aku mengerti."
Sang Hvyt menarik tuas, membuka gerbang besi itu dan tepat saat itu juga, Sjena melangkah masuk.
"Ini..."
Begitu Sjena melangkah masuk, ia terkejut.
Bukan
karena tempat yang dipenuhi dengan lampu di seluruh ruangan 10x10
meter ini, karena kacamata magis dua lapis dengan sebuah tudung sudah
cukup menutupi pandangannya.
Bukan
juga karena ruangan ini memiliki ketinggian atap yang terlampau
tinggi, mengingat bola besi yang jatuh dari atas butuh ketinggian untuk
mendapatkan impact yang cukup untuk membunuh seseorang.
Ia terkejut karena hal lain, sebuah hal yang seharusnya berada disana.
Sementara waktu berjalan terus, dan bola besi pertama sudah jatuh dengan dentuman yang keras disudut ruangan.
***
Ravelt's part
Tangga spiral. Koridor gelap.
Pemandangan yang sama seperti yang dilewati oleh peserta tadi, namun tempat ini sebenarnya berada di sisi yang berlawanan.
Satu
– satunya yang berbeda dan hanya ada disini adalah kita dapat melihat
Hvyt sedang terbang rendah sambil membawa seseorang yang memakai jubah
merah dengan cepat.
"Hei Hvyt, kenapa kau terlihat buru – buru sekali?"
"Pertarungan
anda sudah berjalan sejak tiga menit yang lalu. Kalau seandainya anda
tidak bersikeras untuk menghabiskan makanan anda sambil duduk tadi,
pastinya anda sudah berada di arena sekarang."
"Sudahlah, tak usah buru – buru. Lagipula yang rugi kalau waktu pertarungan semakin sedikit adalah aku."
"Apabila
seorang Hvyt gagal melaksanakan sebuah tugas, maka akan diberikan
hukuman mati. Dan tugas saya sekarang adalah mengantar anda sampai
tujuan tepat waktu."
"Kalau
begitu seharusnya kau sudah dapat hukuman mati. Ngomong – ngomong, aku
jadi punya ide. Kau bawa saja aku ke hadapan dewa sialanmu itu,
biarkan aku memenggal kepalanya, lalu kemudian kita semua—termasuk
seluruh bangsamu dan semua peserta disini hidup bahagia selamanya."
"Kalau anda, tuan Ravelt, menghina tuan kami— yang mulia Thurqk lagi, saya akan benar – benar menjatuhkan anda sekarang."
"Hoo, bahkan otak udang sepertimu punya rasa marah juga ya?"
Diam.
Tak ada balasan dari si merah yang diajak bicara dan satu setengah
menit perjalanan mereka diisi dengan keheningan sebelum akhirnya sampai
di tempat tujuan.
"Aah,
pintu yang besar sekali. Benar – beenar seperti nostalgia, masuk ke
dalam pintu besar di bawah tanah dalam rangka melawan dewa."
Ravelt bergumam di depan pintu, sementara Hvyt yang mengantarnya telah berdiri di samping sebuah tuas besar.
"Terlambat lima menit. Apakah anda ingat peraturan pertarungan kali ini, tuan Ravelt?"
"Yang mana?"
"Semua"
"Nnnngg.....aku lupa"
Orang ini!
Hvyt naik pitam, sampai – sampai tangannya yang memegang tuas hampir saja mematahkannya.
"Ehem, baiklah, akan saya jelaskan lagi. Perarturan kali i—"
Ravelt menyela Hvyt sebelum ia mulai bicara.
"Oke.
Cukup. Hentikan. Aku hanya bercanda. Aku hafal semua peraturan yang
kau sampaikan begitu terbang membawaku tanpa membiarkanku sempat
menenggak tetesan soda terakhirku. Intinya, habisi musuh dalam tiga
puluh menit atau keduanya akan mati. Begitu saja kan?"
"Baiklah kalau begitu. Silahkan masuk."
Tuas
ditarik, dan gerbang besar itu terbuka. Tanpa basa – basi lagi, Ravelt
melangkah masuk kedalam, dimana lawannya sekarang sudah menunggunya.
Plak!
Ravelt menepukkan telapaknya ke wajahnya, atau biasa kita sebut facepalm. Entah ini sebuah berkah Tuhan atau permainan iblis, musuh yang dihadapinya sekarang adalah seorang wanita.
Wanita lagi?
***
Act 1 Conclusion
"Aaaah entahlah, aku sudah tidak kuat lagi."
Gumam Ravelt, dengan suara yang terdengar jelas oleh musuhnya, sambil ia duduk dengan kaki bersila dihadapan gadis itu.
"Jadi, kau lawanku?"
Gadis itu mengeluarkan suaranya, bertanya kepada Ravelt.
"Yah,
bisa dibilang begitu gadis manis. Namaku Ravelt Tardigarde, nama
seorang raja yang akan mengukir sejarah, di dunia dan hatimu. Bicara
soal hal lain, maukah kau jadi milikku?"
"Don't waste my precious time."
Tepat
saat Ravelt selesai berbicara, tiga buah bola besi dengan ketinggian
yang berbeda, dijatuhkan ke tengah – tengah mereka. Dua menuju gadis di
depannya, yang berhasil dihindari dengan baik. Satu menuju ke arahnya.
"Tch, mereka pikir bisa membunuhku dengan ini."
Dengan Divine Access sekejap mata, Ravelt menghajar bola itu ke kanan dan bermaksud untuk menghancurkannya secara total, namun hasil yang dia dapatkan lain.
Bola
besi itu hanya bergeser sedikit dari jalurnya dan tidak menerima
dampak apa – apa sama sekali, sementara tangan kanan Ravelt yang
menghajar bola itu berwarna biru legam, seperti memar terbentur sesuatu
yang keras.
Pukulan
Ravelt barusan adalah pukulan yang mampu menghancurkan satu bukit,
atau meskipun sekarang kondisinya sedang tidak prima akibat kehilangan
tubuhnya, seharusnya serangan yang ia lancarkan cukup kuat untuk
meratakan sebuah gedung tingkat dua puluh. Akan tetapi bola besi itu
tidak menerima dampak sama sekali.
Hanya
ada satu penjelasan untuk hal ini, dan itu sudah pasti. Bola besi ini
adalah salah satu manifestasi dari kekuatan si―merah—sok―jago diluar
sana, dan dia pasti sangat senang melihat situasi ini.
Bukannya
malah terkejut, senyuman lebar menghiasi wajahnya, diikuti dengan tawa
keras yang keluar dari mulutnya. Ia juga berdiri dari posisi duduknya.
"Hahaha!
Menyenangkan! Kupikir ini akan jadi sangat membosankan. Kau menang
Thurqk, kau menang! Aku akan membuatkan sedikit hiburan untukmu, jadi
nikmatilah!"
Hanya dalam selang sepersekian detik setelah Ravelt menyelesaikan kalimatnya, sebuah pisau hitam menebas tenggorokannya.
—TO ACT II—
Act II
Final Act — Last Conclusion
"Ini....tidak mungkin. Aku sudah menebas lehermu, tapi kenapa?"
Sjena berdiri terpaku di tengah ruangan sempit itu, melihat targetnya tidak terluka sama sekali.
"Hanya ada satu penjelasan gadis manis. Aku lebih kuat darimu. Serangan sekaliber itu tidak akan mampu melukaiku."
"Tch, kau hanya beruntung!"
Sjena
membentuk sesuatu yang baru dari tangannya, mengumpulkan kegelapan dan
membentuknya menjadi sebuah pedang dua sisi, lalu mengayunkannya pada
Ravelt.
"Amatir. Ayunan pedangmu masih lemah."
Ravelt
dengan mudah menghindari seluruh tebasan pedang Sjena tanpa usaha yang
berarti. Ia hanya memiringkan badannya ke kanan, kiri, dan begitu
terus sampai lima menit berlalu.
"Ah, kulihat kau sangat energetik gadis manis, maafkan aku, tapi kalau boleh tahu, siapa namamu?"
"Sjena Reinhilde, memangnya kenapa!"
Gadis itu berteriak, disusul dengan sebuah ayunan kuat dari pedang yang digenggamnya.
Namun
sayang, tepat saat itu sebuah bola besi turun dan menghalangi jalur
pedangnya, bertubrukan, menyebabkan pedangnya terlempar hingga ujung
ruangan.
"Sjena? Nama yang bagus, dan kau juga cukup manis. Tapi sayang kau akan berakhir disini!"
Ravelt
mengambil langkah kilat, mengubah tongkatnya menjadi cincin dan
menyerang Sjena dengan satu pukulan mematikan. Ia berniat mengakhiri
semuanya dalam sekali serangan.
Tapi
apa yang terjadi berikutnya sangat berbeda. Tubuh Ravelt memanas,
dadanya menjadi sesak dan detak jantungnya serasa berhenti. Matanya
juga berkunang – kunang, sementara ia mulai kehilangan keseimbangan.
Semua
yang terjadi dalam waktu yang sesingkat itu, membuat pukulannya
meleset dan kecepatannya berkurang. Menyebabkan Sjena sempat membuat
pedang baru, merunduk, dan berhasil menebas punggungnya dengan serangan
bersudut seratus delapan puluh derajat.
"Apa?"
Ravelt tersungkur hingga ke pojok dinding. Punggungnya yang terkena tebasan Sjena mulai mengeluarkan darah.
"Ini tidak mungkin! Apa yang barusan? Uhuk!"
Rasa
panas yang dialami Ravelt kembali, dan kali ini sepertinya lebih parah
daripada yang tadi. Ia juga merasakan mulutnya mengeluarkan sesuatu.
Darah? Aku mengeluarkan darah?
"Ini...uhuk...uhgh!"
Darah
mengucur dari mulutnya. Tubuhnya juga merasakan panas dan rasa sakit
yang luar biasa, seakan – akan mau meledak saat itu juga. Beberapa
organ dalamnya juga sepertinya sudah hancur. Butuh beberapa saat bagi
Ravelt untuk menyadari aura keemasan yang melindungi tubuhnya juga
telah menghilang dari tadi.
"Ya sudahlah. Divine Access!"
Tidak ada yang terjadi. Tubuh Ravelt tidak diselimuti dengan aura keemasan seperti tadi.
Tak salah lagi, ini yang dia maksud dengan "Memilih"
Dalam tubuh Ravelt, terdapat dua aliran energi yang ia gunakan untuk melakukan access. Divine and Darkness, atau disebut juga cahaya dan kegelapan.
Dua
kekuatan yang berbeda apalagi bertolak belakang, sudah pasti tidak
dapat disatukan. Apalagi dalam kondisinya sekarang, yaitu kehilangan
tubuh. Jiwanya yang tidak kuat menahan tekanan, hampir hancur
dibuatnya.
Sjena
yang melihat itu semua, membuat senyum kemenangan di mulutnya. Aura
mengintimidasi yang keluar dari musuh di hadapannya sudah tiada. Dan
sekarang ia angkat bicara.
"Sepertinya waktumu sudah habis. Apakah kau mau menyerah, orang mesum?"
Ravelt kembali bangkit dari tempatnya, dan berdiri menatap Sjena.
"Maaf
gadis manis, atau, uh—Sjena? Aku punya tiga puluh dua wanita,
rakyatku, dan teman – temanku menunggu dirumah, dan aku mau pulang
sambil menghadiahkan mereka kepala orang gila yang memanggilku kesini."
"Kupikir itu bukan hadiah yang bagus untuk wanita. Dan tiga puluh dua? Itu jumlah yang gila."
Sjena maju dengan sebuah sabit di tangannya, bersiap untuk menebas kepala Ravelt.
"Tidak secepat itu"
Berbeda dengan kekuatannya yang lain, perubahan bentuk tongkat Ravelt dari cincin kembali ke bentuk semula tidak memerlukan access sama sekali. Dan ia menggunakannya untuk menahan sabit Sjena.
Selama
beberapa menit, mereka beradu sabit dan tongkat, saling bertukar
serangan sambil dihujani bola besi yang semakin banyak. Ruangan itu
hampir penuh dengan bola – bola besi yang jatuh.
Saat
ini keadaan Ravelt sekarang makin terdesak, sementara Sjena terlihat
hampir memenangkan pertarungan. Tapi Ravelt adalah orang yang ahli
dalam membalas.
Begitu sabetan sabit Sjena hampir mengenai lehernya, Ravelt berhasil menangkis dan meng-counter serangan Sjena, menyebabkan gadis itu mundur beberapa langkah.
Sekali
lagi, Ravelt memegang kendali pertarungan dan berganti membalas
serangan – serangan Sjena. Sjena yang juga tak mau kalah, berusaha
untuk menahan segala serangan Ravelt sambil mencari celah untuk
membalas serangan.
Bagi
Ravelt, semua tampak berjalan lancar. Sampai suatu ketika, ia terlalu
fokus pada musuh di depannya. Ia tidak menyadari bahwa ada sebuah bola
besi yang jatuh ke arahnya. Dan ketika ia mmenyadarinya, semuanya sudah
terlambat. Bola besi itu menghancurkan tulang bahu kirinya.
"Aaaagghh! Sial, sakit sekali!"
Ravelt jatuh berlutut sementara Sjena mendekatinya perlahan, sambil menghindari bola besi yang berjatuhan.
"Huhu, akhir yang memuaskan."
Sjena tertawa kecil. Kematian musuhnya ditangannya sudah tinggal beberapa langkah lagi.
"Oh ya, aku lupa. Kau seorang raja kan?"
Sjena mengarahkan sabitnya pada Ravelt yang tidak berdaya dan hanya bisa menatap dengan tajam.
"Biar
kuberitahu. Aku seharusnya adalah seorang putri. Tapi aku dibuang dan
diasingkan hanya karena sebuah ramalan. Jadi singkatnya, moral dari
cerita, kau akan dibuang begitu kau merugikan mereka, apalagi di dalam
tempat seperti istana. Semua wanita dan teman – temanmu kebanyakan
adalah orang bermuka dua. Bagi mereka, kau kembali atau tidak pun tidak
masalah."
Mendengar perkataan Sjena, Ravelt menutup matanya dan tersenyum, lalu berbicara.
"Biar
kuperjelas. Pertama, aku kasihan kepadamu. Kedua, aku baru jadi raja
selama tiga bulan dan kerajaanku baru terbentuk. Ketiga, jangan pernah
menghina teman dan orang yang dekat denganku. Terakhir, jangan pernah
sekalipun berbuat lancang dihadapan seorang raja."
"Terserah."
Detik
itu, sebuah ayunan sabit raksasa mengincar leher Ravelt. Tapi mendadak
angin ribut terbentuk di dalam ruangan, menghentikan serangan sabit
yang akan mengenai lehernya.
Sjena terlempar hingga ke ujung ruangan, membuatnya tak bisa bergerak selama sementara waktu.
Kini
tubuh Ravelt diselimuti oleh aura kegelapan yang pekat, sampai –
sampai yang bisa terlihat darinya sekarang hanyalah bentuk tubuhnya
saja. Sekarang ia tenggelam dalam kegelapan.
"Ukh....uhuk uhuk!"
Darah
kembali keluar dari mulut Ravelt, dan ia hampir saja kehilangan
keseimbangannya dikarenakan kaki kanannya patah secara tiba – tiba.
Penglihatannya juga mulai kabur. Secara fisik, Ravelt sudah tidak
mungkin lagi bertarung.
Tiba
– tiba dunia menjadi gelap, setidaknya bagi Ravelt. Tubuhnya melemas,
ia sudah tidak dapat berdiri lagi dan perlahan – lahan menyerahkan diri
pada kegelapan. Kendali pikiran atas jiwa raganya sudah menghilang.
Tepat saat itulah, [Hero Essence] miliknya bekerja. Menggantikan kendali dirinya dengan sosok yang lain.
Sumber energi access
milik Ravelt adalah para dewa dan dewi yang telah ia kalahkan, ataupun
jiwa – jiwa yang ia serap, jauh sebelum dirinya menjadi raja. Tidak
terkecuali Dark Access miliknya.
Beberapa dari mereka sangat kuat, hingga memiliki kesadaran sendiri.
[The World Evil: Angra Mainyu]
[Underworld Ruler: Hades]
[Eye of Death: Balor]
[The Strongest Pride: Lucifer]
[First Fallen Angel: Azazel]
[God of Destruction: Shiva]
Itu hanyalah secuil dari banyak jiwa yang Ravelt hisap untuk membuat dirinya mampu menggunakan Dark Access yang masih memiliki kesadaran sendiri.
[Hero
Essence] mengambil sifat kekacauan dan keinginan mereka untuk
menghancurkan, sehingga melahirkan suatu kesadaran baru, yang sekarang
digunakan untuk bertarung, semenjak Ravelt kehilangan kesadaran.
Kesadaran baru yang bernama [Madness].
"Uh....unh....."
Sjena
yang jatuh tersungkur, mulai sadar dan membuka matanya perlahan. Ia
melihat tempat sekitarnya yang masih kacau balau. Angin ribut masih
mendiami tempat itu, sedangkan bola – bola besi masih tetap berjatuhan
seakan – akan tidak ada halangan apapun. Beruntung Sjena tidak terkena
satupun bola besi itu.
Namun yang perlu ditakutinya hanyalah satu. Sosok hitam mirip manusia ditengah ruangan.
"I..itu"
Karena trauma yang dialaminya, Sjena takut sekali dengan kegelapan. Makanya sekarang ia memakai magic glasses yang membantunya untuk melihat lebih terang dalam gelap.
Tapi
kegelapan yang dilihatnya saat ini, jauh berbeda dari kegelapan yang
selama ini ia takuti. Yang satu ini lebih menyeramkan.
Sjena
berdiri, menghadapi ketakutan terbesarnya. Ia sudah melihat melalui
layar monitor, bagaimana peserta – peserta sebelumnya dihabisi dengan
cara yang sangat tidak manusiawi oleh panitia penyelenggara acara dan
ia benar – benar tidak mau mati konyol seperti itu.
Perlahan – lahan, angin ribut mulai berhenti. Meninggalkan ruangan itu dalam suara bola – bola besi yang berjatuhan.
Makhluk
itu masih tidak bergeming, diam ditengah ruangan. Anehnya, dari tadi
tak satupun bola besi yang mengenai makhluk itu, ataupun Sjena sendiri
meskipun kondisi ruangan itu sekarang sudah dipenuhi dengan bola – bola
besi, baik yang sudah dilantai maupun yang masih berjatuhan.
Sjena berkonsentrasi, fokus membuat sebuah pisau dari kemampuan Fake Fire
miliknya. Suatu kemampuan untuk membentuk objek dari bayangan. Di
tangannya sekarang terdapat sebuah pisau hitam. Ia tahu apa yang harus
ia lakukan.
Menggunakan kegelapan untuk melawan kegelapan.
00:10
Sebuah jam virtual muncul di dekat Sjena.
00:09
Sjena melesat maju. Kalau ia ingin keluar dari sini hidup – hidup, maka makhluk hitam itu harus dihabisi secepatnya.
00:08
[Madness] menoleh ke arah Sjena.
00:07
Gadis itu melancarkan serangan pertama. Sebuah tebasan dari pisau Fake Fire-nya yang dapat dihindari dengan mudah oleh [Madness].
00:06
Serangan kedua dari Sjena. Tusukan langsung ke jantung.
00:05
Serangan Sjena kembali gagal, dan berhasil ditahan dengan satu tangan.
00:04
[Madness] balas menyerang dengan pukulan tangan kanan.
00:03
Sjena menghindar dengan menunduk.
00:02
Sjena berhasil melakukan roll melewati makhluk itu dan menebas punggunya.
00:01
[Madness] berteriak, sementara Sjena melakukan casting Slow Motion pada makhluk itu, ditambah Fast Forward x8 pada dirinya.
[DEADLINE]
Sjena masuk kedalam Berserk-state, membuat satu pisau lagi dari Fake Fire dan menyerang [Madness] secara membabi buta.
Makhluk
itu menyadari apa yang gadis itu lakukan di belakangnya. [Madness]
menggunakan pengendalian waktu dan ruang, membuat segalanya berjalan
lambat, termasuk bola – bola besi yang berjatuhan.
[Madness]
beradu pukulan dengan serangan – serangan Berserk–Sjena . Serangan
mereka berdua sama brutalnya, sama cepatnya. Akan tetapi Berserk–Sjena
berhasil menghindari semua serangan [Madness].
Makhluk
itu berhasil mendaratkan pukulan pada tangan kanan Berserk–Sjena.
Dengan kata lain, Berserk–Sjena baru saja menerima serangan yang dapat
meluluhlantakkan sebuah gunung. Namun Berserk–Sjena masih tidak
menerima apa – apa.
Dua
menit kemudian, Berserk–Sjena mengembalikan serangan [Madness] yang
tadi, di tengah – tengah pertempuran jarak dekat mereka, menggunakan Time Loop.
Serangan itu membuat [Madness] terpental jauh, menabrak dinding dan menimbulkan suara gemuruh yang besar.
Berserk–Sjena tidak menyia – nyiakan kesempatan ini. Ia melesat menggunakan Teleport, menghujamkan setiap serangannya ke tubuh [Madness].
Belum
sampai di tujuan, Berserk–Sjena dikejutkan dengan keberadaan [Madness]
yang menggunakan pengendalian ruang untuk memindahkan dirinya dalam
sekejap, sama seperti Teleport untuk balas menyerang.
Adu
serangan tak terhindarkan lagi. Antara Berserk–Sjena dan [Madness]
benar – benar tak dapat ditentukan siapa yang lebih unggul. Masing –
masing memiliki balasan yang tepat dan serangan – serangan mematikan.
[Madness]
meloncat, menjadkan bola – bola besi yang berjatuhan secara lambat
sebagai pijakan, sementara Berserk–Sjena menyusulnya dari belakang.
Pertarungan mereka berlanjut di udara, dengan hanya mengandalkan bola –
bola besi sebagai pijakan.
Sudah
sepuluh menit mereka saling menyerang membabi buta tanpa henti. Sjena
masih dalam keadaan berserk, dikarenakan kemampuan pengendalian ruang
dan waktu [Madness] mempengaruhi dan masih mencatatnya sebagai tiga
belas detik.
Detik
– detik terakhir, Berserk–Sjena melemparkan kedua pisaunya ke arah
[Madness] yang menerjang. Kedua pisaunya tertancap di [Madness] akan
tetapi tidak memberinya luka yang fatal.
Berserk–Sjena
membuat sebuah shotgun, sementara jarak antara dia dan [Madness] hanya
beberapa langkah lagi. Begitu pukulan kiri [Madness] hampir mengenai
dirinya, Berserk–Sjena menembakkan shotgunnya, menghancurkan tangan
kiri makhluk itu seutuhnya. Tapi tangan kanan [Madness] berhasil
mengenainya, telak di bagian jantung.
Kemudian mereka berdua terjatuh dari ketinggian, bersamaan dengan bola – bola besi yang berhenti berjatuhan.
***
Epilogue
"Hmm? Ini dimana?"
Ravelt
terbangun, dalam posisi berbaring di atas tumpukan – tumpukan bola
besi. Dada sesak dan tubuh panas yang mengganggunya terasa sudah pergi
digantikan oleh sakit dan perih di seluruh tubuhnya. Entah kenapa
sekujur tubuhnya dipenuhi luka tebas, akan tetapi itu mungkin hasil
pertarungan pikirnya. Tangan kirinya sudah tak dapat ia rasakan lagi.
Antara mati rasa atau benar – benar sudah tak ada, Ravelt tidak peduli.
Beberapa
saat kemudian, Ravelt mencoba bangun dan berusaha berdiri. Barulah ia
merasakan kalau dari tadi ada yang mengganjal tubuhnya. Begitu ia
melihat ke bawah, ia menemukan tubuh Sjena sedang terbaring di atasnya.
"Hee....ia manis juga kalau menutup mata. Tunggu sebentar, ini—"
Ravelt merasa ada yang salah denggan gadis itu.
Dingin? Tapi kenapa?
"Oh iya, dia mati."
Kesimpulan
pertama yang ia dapat dari hasil berpikirnya adalah gadis ini mati di
tangannya. Pertanyaannya ada dua: kapan dan bagaimana, karena ia tidak
bisa mengingat apapun yang terjadi setelah ia kehilangan kesadaran.
Tanpa disadari oleh Ravelt yang sedang tenggelam dalam lautan deduksinya sendiri, seorang Hvyt masuk ke dalam ruangan.
"Dua puluh tiga menit. Selamat tuan Ravelt, anda pemenangnya."
Ravelt yang baru saja buyar, mengarahkan pandangannya ke arah Hvyt di atasnya.
"Terima kasih, tapi bagaimana? Aku sepertinya tidak ingat apapun."
"Anda menghabisinya dengan menggunakan pengendalian udara melalui pukulan. Anda meledakkan jantungnya."
"Itu cara yang mengerikan untuk mati, Hei, bisa angkat aku dari sini?"
Hvyt
menyingkirkan mayat Sjena yang menindih Ravelt, kemudian mengembalikan
semua luka yang kembali seperti sedia kala. Ravelt mencoba
menggerakkan seluruh tubuhnya, dan menyadari kalau tangan kanannya
sedang menggenggam sesuatu.
Kapan?
Sepasang lensa bening berwarna kebiruan dengan kain merah berenda putih yang menghiasi.
Ini pasti miliknya
"Ah, aku akan mengambil ini sebagai koleksi. Sekarang kita pergi kemana?"
"Ke tempat pertarungan berikutnya."
"Lebih cepat lebih baik. Ayo."
Ravelt
dan Hvyt segera beranjak pergi dari tempat itu, meninggalkan mayat
Sjena begitu saja. Seorang lelaki yang sangat menyukai wanita,
meninggalkan mayatnya tergeletak tak terurus.
Terlalu tega? Mungkin tidak.
Karena bagi Ravelt, misinya sekarang hanya satu.
Membunuh Thurqk.
—END—