Friday, November 20, 2015

Tugas Pengantar Lingkungan 2





KATA PENGANTAR


          Masalah kependudukan dan lingkungan hidup adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan karena manusia bersama dengan makhluk-makhluk hidup lainnya merupakan komponen hidup yang senantiasa berinteraksi dengan lingkungannya.
          Dalam ekosistem, tempat hidup manusia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari yang lainnya. Karena itu kelangsungan hidup manusia tergantung dari kelestarian ekosistemnya. Untuk menjaga kelestarian ekosistem, manusia harus menjaga keserasian hubungan dengan lingkungan hidupnya.
          Gejala yang menghawatirkan dan mengganggu kelestarian lingkungan hidup adalah ledakan penduduk. Ledakan penduduk akan membawa akibat buruk terhadap keadaan sumber alam. Seperti semakin menyempitnya lahan pertanian untuk tempat tinggal, bangunan, jalan, dana pengolahan lingkungan yang semena-mena, makin sempitnya area hutan, dan lain-lain.
          Dari kenyataan tersebut, maka perlu adanya usaha untuk menyadarkan penduduk akan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh pertumbuhan penduduk yang sangat cepat, serta masalah lingkungan hidupnya. Pendidikan lingkungan dan kependudukan dirasa sangat perlu segera dikembangkan dan disebarluaskan kepada masyarakat.
          Penulis








BAB I

Perkembangan Penduduk Indonesia


Landasan Perkembangan Penduduk Indonesia


Penduduk adalah orang atau sekumpulan orang-orang yang mendiami suatu tempat (kampung, negara, dan pulau) yang tercatat sesuai dengan persyaratan dan ketentuan yang berlaku di tempat tersebut. Berdasarkan tempat lahir dan lama tinggal penduduk suatu daerah dapat dibedakan menjadi empat golongan, yaitu penduduk asli, penduduk pendatang, penduduk sementara, dan tamu. 
Ø Penduduk asli adalah orang yang menetap sejak lahir.
Ø Penduduk pendatang adalah orang yang menetap, tetapi lahir dan berasal dari tempat lain.
Ø Penduduk sementara adalah orang yang menetap sementara waktu dan kemungkinan akan pindah ke tempat lain karena alasan pekerjaan, sekolah, atau alasan lain.
Ø Tamu adalah orang yang berkunjung ke tempat tinggal yang baru dalam rentang waktu beberapa hari dan akan kembali ke tempat asalnya.
Yang mendasari perkembangan penduduk di Indonesia adalah banyaknya masyarakat yang menikahkan anaknya yang masih muda. Dan gagalnya program (KB) Keluarga Berencana yang di usung oleh pemerintah untuk menekan jumlah penduduk Indonesia. Karena faktor – faktor tersebut tidak dapat berjalan dengan semestinya, maka penduduk Indonesia tidak terkendali dalam perkembangannya. Karena perkembangan penduduk yang sangat tidak terkendali, maka banyak terjadinya kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, gelandangan, anak jalanan, dan sebagainya.
Pertumbuhan penduduk adalah perubahan populasi sewaktu-waktu, dan dapat dihitung sebagai perubahan dalam jumlah individu dalam sebuah populasi menggunakan "per waktu unit" untuk pengukuran. Sebutan pertumbuhan penduduk merujuk pada semua spesies, tapi selalu mengarah pada manusia, dan sering digunakan secara informal untuk sebutan demografi nilai pertumbuhan penduduk, dan digunakan untuk merujuk pada pertumbuhan penduduk dunia.
Ketika pertumbuhan penduduk dapat melewati kapasitas muat suatu wilayah atau lingkungan hasilnya berakhir dengan kelebihan penduduk. Gangguan dalam populasi manusia dapat menyebabkan masalah seperti polusi dan kemacetan lalu lintas, meskipun dapat ditutupi perubahan teknologi dan ekonomi. Wilayah tersebut dapat dianggap "kurang penduduk" bila populasi tidak cukup besar untuk mengelola sebuah sistem ekonomi 

Pertambahan Penduduk dan Lingkungan Pemukiman


Strategi konservasi dunia dicanangkan 6 Maret 1980. Juga di Indonesia strategi tersebut memberikan cetak biru bagi aksi konservasi dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkesinambungan serta menunjuk pentingnya aksi terpadu dalam memecahkan masalah-masalah lingkungan hidup, sumber daya alam, dan kependudukan. Hubungan antara masalah-masalah kependudukan dan lingkungan hidup memang sangat kompleks dan sangat majemuk sifatnya, karena di dalamnya tercakup banyak sekali faktor-faktor, misalnya saja dampak teknologinya, pola konsumsinya, dan faktor-faktor sosial, ekonomi, serta politiknya. Adanya Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dalam Kabinet sekarang ini sudah memberikan gambaran adanya hubungan timbal balik yang erat sekali antara penduduk dan lingkungan hidup ini. Kepadatan penduduk yang tinggi akan memberikan tekanan pada daya dukung alam lingkungannya. Manakala tekanan tersebut melampaui batas kemampuan daya dukung alam lingkungan tersebut, mejadi rusak lingkungan hidupnya. Sebaliknya, suatu lingkungan hidup yang terpelihara kelestariannya akan sangat menunjang bagi kelangsungan hidup suatu masyarakat.
 Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, sementara lahan untuk pertanian dan pemukiman sangat terbatas, memungkinkan timbulnya “lapar tanah”. Lapar tanah untuk pertanian sangat terasa di Jawa yang jumlah penduduknya hanya 60% dari seluruh penduduk Indonesia. Sedangkan sawah-sawah kelas satu di pinggiran kota dan di sepanjang jalan ekonomi menciut akibat perluasan daerah pemukiman serta kegiatan industri.
 Kaki-kaki gunung di Jawa sekarang sudah tidak luput dari jamahan tangantangan manusia. Kelaparan akan tanah ini jelas terlihat dengan merayapnya kegiatan pengolahan tanah serta pembangunan menuju puncak-puncak bukit dan gunung. Kesinambungan kehidupan alami sudah tidak diperhitungkan lagi. Tegakan pepohonan yang tadinya berfungsi untuk menahan curah hujan dan mengatur aliran air, sekarang sudah digantikan dengan tanaman ketela pohon atau jagung. Akibatnya, di musim hujan terjadi genangan air, tetapi di musim kemarau orang sulit mencari air. Ahli-ahlipun mengatakan daya dukung lingkungan sudah terlampaui oleh kepadatan penduduk. Akibatnya, keseimbangan kehidupan antara manusia dan lingkungannya terganggu. Gangguan tersebut akan mengarah kepada keadaan yang lebih parah dan merugikan, apabila tidak ada usaha untuk memperbaikinya.
Berbagai cara telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal itu, anatar lain program penghijauan dan reboisasi, sementara untuk mengurangi tekanan penduduk agar tidak melampaui daya dukung alam serta lingkungan dilakukan transmigrasi. Namun, semua usaha ini masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Dari gambaran tadi, jelas nampak ada hubungan erat antara unsur manusia dalam kaitannya dengan kelestarian lingkungan hidup (Tanah Air, 1983)
Sejak masalah kependudukan dilontarkan oleh Thomas Robert Malthus lebih dari satu abad yang lalu, maka masalah itu mulai diapandang serta didekati dari berbagai aspek dan kemudian berkembang menjadi subyek, dengan dimensi aneka ragam. Di negara-negara berkembang hal ini berjalan cepat, karena tuntutan pembangunan nasional telah melibatkan masalah kependudukan sebagai masalah pokok. Berbagai aspek kehidupan mulai terganggu oleh pertambahan penduduk yang cepat, seperti kehidupan sosial ekonomi, budaya politik, hankamnas, dan lingkungan hidup.
Hambatan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk di negara berkembang umumnya karena adanya pola berpikir masyarakat yang konservatif, yang pada hakekatnya menolak perubahan nilai tradisional dan budaya Indonesia termasuk dalam masyarakat heterogen yang sifatmya tradisional dan religius, misalnya bahwa banyak anak berarti banyak rejeki atau pola berpikir bahwa anak adalah investasi bagi orang tuanya di masa depan.
Pola berpikir dan sikap seperti itu merupakan hambatan, khususnya bagi penduduk yang sebagaian besar tinggal di pedesaan, dimana nilai budaya tradisional tumbuh subur. Contoh lain, untuk mencapai pemerataan penduduk dalam mencapai keseimbangan ekonomi dan ekologi, dilaksanakan transmigrasi dari pulau yang padat penduduk ke Pelau yang konsentrasi penduduknya rendah. Usaha itu tidak dapat menghindari perubahan nilai-nilai tradisional, sebab masih ada yang beranggapan bahwa tanah kelahiran adalah warisan leluhur yang tak boleh ditinggalkan. Timbullah istilah transmigrasi bedol desa yang mengangkut seluruh harta miliknya berikut sedikit tanah kelahirannya. Perubahan di bidang nilai-budaya memerlukan waktu yang lama dan perlu dilaksanakan dengan seksama. Tetapi, membiarkannya sebagai proses evolusi, berdasarkan berbagai pertimbangan akan memperlambat pencapaian tujuan. Tujuan dalam konteks ini adalah pembangunan segala bidang bagi kesejahteraan rakyat banyak (Tanah Air, 1983).
Di sisi lain, sebagian pengamat sosial berpendapat bahwa pelaksanaan transmigrasi yang dilakukan selama ini terkesan hanyalah sekedar upaya membuang orang dari kepadatan. Meski ada yang berhasil, secara umum yang ada hanyalah kegagalan, keluhan, jeritan perasaan disingkirkan. Namun, itu dipoles atas nama pembangunan yang dicanangkan pemerintah.

Pertumbuhan Penduduk dan Tingkat Pendidikan


          Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan waktu sebelumnya. Misalnya pertumbuhan penduduk Indonesia dari tahun 1995 ke tahun 2000 adalah perubahan jumlah penduduk Indonesia dari tahun 1995 sampai 2000.
Selain merupakan sasaran pembangunan, penduduk juga merupakan pelaku pembangunan. Maka kualitas penduduk yang tinggi akan lebih menunjang laju pembangunan ekonomi. Usaha yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kualitas penduduk melalui fasilitas pendidikan, perluasan lapangan pekerjaan dan penundaan usia kawin pertama.
Di negara-negara yang anggaran pendidikannya paling rendah, biasanya menunjukkan angka kelahiran yang tinggi. Tidak hanya persediaan dana yang kurang, tetapi komposisi usia secara piramida pada penduduk yang berkembang dengan cepat juga berakibat bahwa rasio antara guru yang terlatih dan jumlah anak usia sekolah akan terus berkurang. Akibatnya, banyak negara yang sebelumnya mengarahkan perhatian terhadap pendidikan universitas, secara diam-diam mengalihkan sasarannya.
Helen Callaway, seorang ahli antropologi Amerika yang mempelajari masayakat buta huruf, menyimpulkan bahwa perkembangan ekonomi dan perluasan pendidikan dasar telah memperluas jurang pemisah antara pria dan wanita. Hampir di mana-mana pria diberikan prioritas untuk pendidikan umum dan latihan-latihan teknis. Mereka adalah orang-orang yang mampu menghadapi tantangan-tantangan dalam dunia. Sebaliknya pengetahuan dunia ditekan secara tajam pada tingkat yang terbawah.
Pertambahan penduduk yang cepat, lepas daripada pengaruhnya terhadap kualitas dan kuantitas pendidikan, cenderung untuk menghambat perimbangan pendidikan. Kekurangan fasilitas pendidikan menghambat program persamaan/perimbangan antara laki-laki dan wanita, pedesaan dan kota, dan antara bagian masyarakat yang kaya dan miskin.
Pengaruh daripada dinamika penduduk terhadap pendidikan juga dirasakan pada keluarga. Penelitian yang dilakukan pada beberapa negara dengan latar belakang budaya yang berlainan menunjukkan bahwa jika digabungkan dengan kemiskinan, keluarga dengan jumlah anak banyak dan jarak kehamilan yang dekat, menghambat perkembangan berfikir anak-anak, berbicara dan kemauannya, di samping kesehatan dan perkembangan fisiknya. Kesulitan orang tua dalam membiayai anak-anak yang banyak, lebih mempersulit masalah ini.
Pertambahan penduduk yang cepat menghambat program-program perluasan pendidikan, juga mengarah pada aptisme di dunia yang kesulitan untuk mengatasinya.
Dalam pembangunan pendidikan dijumpai berbagai masalah antara lain: (1) Masih rendahnya angka partisipasi pendidikan pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi; (2) Masih rendahnya mutu pendidikan; dan (3) Belum mantapnya sistem pendidikan nasional terutama menyangkut kelembagaan dan manajemen pendidikan.
 Perluasan jangkauan pendidikan dapat diamati dari partisipasi pendidikan menurut kelompok usia tertentu.  Partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan dasar dapat dilihat dari angka partisipasi penduduk usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun.  Pada tahun 1998/99, angka partisipasi kasar (APK) untuk tingkat SD-MI dan SLTP-MTs mencapai 114,7 persen dan 56,1  persen. Rendahnya partisipasi pendidikan pada kelompok usia 13-15 tahun antara lain terkait dengan faktor ekonomi keluarga.
Untuk jenjang sekolah menengah (usia 16-18 tahun) yang terdiri dari Sekolah Menengah Umum (SMU), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah (MA), APK-nya baru mencapai 36,3. APK tersebut masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya yang rata-rata telah berada di atas 50 persen. Angka melanjutkan lulusan SLTP-MTs ke SLTA pada tahun 1998/99 baru mencapai 71 persen. Selain masalah ekonomi dan kecenderungan untuk memilih bekerja, daya tampung pada jenjang sekolah menengah juga masih menghambat rendahnya partisipasi sekolah. 
Pada jenjang pendidikan tinggi (usia 19-24 tahun), APK-nya baru mencapai 10,4 persen, hal ini tergolong lebih rendah jika dibandingkan dengan APK perguruan tinggi negara-negara ASEAN yang telah mencapai di atas 30 persen. Lambannya peningkatan APK jenjang pendidikan tinggi antara lain disebabkan oleh terbatasnya daya tampung dan mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi bagi sebagian besar masyarakat.
Rendahnya mutu pendidikan secara umum antara lain disebabkan oleh: (1) Kurangnya jumlah dan rendahnya mutu guru; (2) Kurangnya sarana dan prasarana belajar; (3) Lemahnya metode mengajar dan kurikulum yang berlaku; (4) Lemahnya sistem pengelolaan persekolahan; dan (5) Belum optimalnya peran orang tua, masyarakat dan pemerintah dalam mendukung pembangunan pendidikan yang bermutu.
Guru merupakan kunci dari keberhasilan sebuah proses belajar-mengajar pada semua jenis dan jenjang pendidikan. Namun demikian kondisi guru pada umumnya mulai dari SD-MI sampai dengan SMU-MA masih sangat memprihatinkan, baik dari segi kualitas, jumlah maupun penyebarannya. Data  menunjukkan bahwa dari sekitar 1,3 juta guru SD-MI, baru 21,65 persen yang berkualifikasi D2 atau lebih tinggi. Pada jenjang SLTP-MTs, dari sekitar 572,8 ribu guru, 56,6 persen diantaranya berkualifikasi D3 atau lebih tinggi. Pada jenjang SLTA (SMU dan SMK, tidak termasuk MA) 65 persen guru memiliki kualifikasi S1 atau lebih tinggi.
Penyebaran guru yang tidak merata juga merupakan masalah yang menyebabkan kurangnya guru di suatu sekolah atau daerah, dan kelebihan guru di sekolah atau daerah lainnya. Selain itu di SLTP-MTs dan SMK-MA banyak terdapat ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan dengan mata pelajaran yang diajarkan, yang berakibat pada rendahnya kualitas mengajar. Dari data yang tersedia pada tahun 1995/96 ketidaksesuaian tersebut berkisar antara 3,6 persen - 25,3 persen. Pembinaan guru termasuk sistem promosi juga dinilai belum dapat meningkatkan kualitas guru, karena pada praktiknya sistem tersebut hanya menguntungkan mereka yang rajin melakukan kegiatan administrasi untuk mengumpulkan angka kredit dan kurang menghargai guru yang berprestasi dalam tugas mengajarnya.
Rendahnya kualitas tenaga akademik dapat dilihat dari masih banyaknya tenaga akademik yang berpendidikan akhir S-1. Pada tahun 1997 jumlah tenaga akademik perguruan tinggi negeri dan swasta yang berpendidikan akhir S-1, S-2 dan S-3 berturut-turut adalah 80,6 persen, 15,7 persen dan 3,6 persen.  Dibanding perguruan tinggi swasta, kualitas staf pengajar perguruan tinggi negeri relatif lebih baik, yakni 68,2 persen S-1, 24,4 persen S-2, dan 7,4 persen S-3, sedangkan di perguruan tinggi swasta berturut-turut adalah 86 persen, 12 persen, dan 2 persen.
Sarana dan prasarana pendidikan yang mempengaruhi rendahnya mutu pendidikan antara lain adalah kurang tersedianya buku pelajaran pokok pada tingkat SD-MI, SLTP-MTs dan SMU-MA. Meskipun rasio satu buku satu siswa pada tingkat SD-MI dan SLTP-MTs telah tercapai pada tahun 1998/99, namun karena distribusi buku tersebut kurang sesuai dengan data jumlah murid di sekolah, maka masih dijumpai kekurangan buku pada sekolah-sekolah terutama di daerah yang prasarana transportasinya belum memadai, daerah terpencil dan kepulauan. Kendala lain yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah penyediaan peralatan dan fasilitas pendidikan yang belum memadai seperti alat peraga, alat praktik, perpustakaan sekolah, dan prasarana olah raga.
Masalah lain yang masih dihadapi dalam pembangunan pendidikan adalah manajemen pendidikan. Manajemen pendidikan nasional secara keseluruhan masih bersifat sentralistis, meskipun pada jenjang sekolah dasar (SD-MI) pemerintah daerah berperan cukup besar terutama dalam penyediaan sarana, prasarana dan personal. Pada jenjang pendidikan dasar, sarana fisik sekolah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, sedangkan kualitas pendidikan menjadi tanggung jawab Departemen Pendidikan Nasional melalui mekanisme kontrol di tingkat kabupaten. Pengelolaan pendidikan yang sentralistik dan oleh berbagai lembaga telah menyebabkan sekolah tidak dapat mengembangkan diri secara optimal.

Pertumbuhan Penduduk dan Penyakit yang Berkaitan dengan Lingkungan Hidup


Kualitas penduduk antara lain dapat diamati dari angka indeks pembangunan manusia (IPM) dengan parameter: angka harapan hidup,  tingkat  buta huruf, pendidikan yang ditamatkan, dan pendapatan per kapita. Kualitas penduduk Indonesia masih bervariasi antarpropinsi dan masih jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lain seperti Malaysia dan Thailand.
Kuantitas penduduk dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penduduk. Meskipun laju pertumbuhan penduduk Indonesia menurun menjadi 1,56 persen, namun jumlah penduduk Indonesia pada awal tahun 2000 diperkirakan telah mencapai 209,5 juta orang yang terdiri dari laki-laki 104,3 juta dan perempuan 105,3 juta. Salah satu penyebab masih cukup tingginya laju pertumbuhan penduduk adalah masih relatif tingginya angka kelahiran total (TFR). Angka kelahiran total (TFR) Indonesia dewasa ini adalah 2,56 per perempuan, dan cukup bervariasi baik antardaerah maupun antarpropinsi.
Persebaran penduduk Indonesia juga masih belum merata. Sebagian besar penduduk terkonsentrasi di Pulau Jawa (58 persen). Hal ini berakibat pada perbedaan kepadatan penduduk yang sangat mencolok di beberapa propinsi seperti DKI Jakarta dengan 14,5 ribu penduduk per km2, sedangkan di Irian Jaya hanya 5 penduduk per km2. Dampak dari persebaran yang tidak seimbang ini antara lain adalah sulitnya pelaksanaan program pembangunan yang lebih merata dan memperberat daya tampung lingkungan. Sementara itu, mobilitas penduduk di Indonesia juga belum mampu memperbaiki pemerataan persebaran penduduk antarwilayah. Mobilitas penduduk yang menonjol akhir-akhir ini lebih bersifat mobilitas dengan motif terpaksa sebagai akibat terjadinya kerusuhan sosial di berbagai wilayah.  
Perumusan kebijakan kependudukan memerlukan data dan informasi yang akurat. Namun demikian data dan informasi kependudukan yang tersedia saat ini  masih terbatas sampai dengan tingkat kabupaten dan propinsi. Hal ini berkaitan dengan belum terselenggaranya registrasi dan administrasi kependudukan yang terintegrasi secara nasional.
Krisis ekonomi yang terjadi baru-baru ini berdampak pada meningkatnya angka pengangguran dan membengkaknya jumlah penduduk miskin. Salah satu akibatnya adalah terjadinya penurunan derajat kesehatan dan gizi masyarakat. Gejala itu tampak pada timbulnya berbagai kasus gizi buruk pada kelompok umur bawah lima tahun yang dapat mengakibatkan turunnya kualitas generasi mendatang.
Derajat kesehatan antara lain dapat diamati dari beberapa indikator seperti angka harapan hidup (AHH), angka kematian bayi (AKB), angka kematian balita (AKABA) dan angka kematian ibu (AKI) waktu melahirkan. Indikator AHH waktu lahir penduduk Indonesia tercatat 66 tahun (Inkesra, 1999). Rendahnya AHH tersebut erat kaitannya dengan masih tingginya indikator AKB yaitu sebesar 46 per 1000 kelahiran hidup (Inkesra, 1999). Pada indikator AKB di Indonesia terdapat perbedaan antar propinsi yang cukup mencolok. Beberapa propinsi telah jauh melampaui target nasional, seperti D.I. Yogyakarta (18 per 1.000 kelahiran hidup) dan DKI Jakarta (24 per 1000 kelahiran hidup). Sedangkan beberapa propinsi lainnya masih jauh ketinggalan antara lain Nusa Tenggara Barat (96 per 1.000 kelahiran hidup) dan Sulawesi Tengah (65 per 1.000 kelahiran hidup). Di samping itu, kematian neonatal yang memberikan kontribusi cukup besar pada AKB belum mendapat perhatian yang memadai. Indikator AKABA tercatat 63 per 1000 kelahiran hidup (Susenas, 1999).
Indikator lain yaitu Angka Kematian Ibu melahirkan (AKI) masih memprihatinkan. Pada tahun 1995 tercatat 373 per 100.000 kelahiran hidup (SKRT, 1995). Tingginya AKI tersebut erat kaitannya dengan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan reproduksi dan pemeriksaan kesehatan selama kehamilan. Hal ini tercermin dari masih rendahnya  pertolongan persalinan yang dibantu tenaga kesehatan (46 persen), meskipun pelayanan bidan sudah mencakup hampir seluruh desa.
Status gizi masyarakat dapat diamati dari prevalensi empat masalah gizi utama, yaitu: gizi kurang, anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium (GAKY), dan kurang vitamin A (KVA). Kelompok umur yang paling rawan menderita gizi kurang adalah 6 - 23 bulan. Prevalensi gizi kurang per propinsi juga menunjukkan adanya kesenjangan antarwilayah, seperti di Aceh tercatat 56,1 persen, Nusa Tenggara Timur 52 persen, dan di DKI hanya 22,1 persen. Disamping itu adanya prevalensi gizi buruk yang meningkat dari 6,3 persen pada tahun 1989 menjadi 8,1 persen pada tahun 1999.  Anemia gizi besi pada ibu hamil pada tahun 1995 tercatat 50,9 persen. Tingginya prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil memberikan kontribusi terhadap masih tingginya AKI. Prevalensi GAKY yang diukur dengan Total Goiter Rate (TGR) menunjukkan penurunan cukup tajam dari 27,7 persen pada tahun 1990 menjadi 9,8 persen pada tahun 1998. Namun demikian prevalensi GAKY di beberapa propinsi masih tinggi seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Sulawesi Tenggara berturut-turut sebesar 38,1 persen, 33,3 persen dan 24,9 persen.  Hal ini perlu mendapat perhatian karena di beberapa propinsi tingkat konsumsi garam beryodium ternyata masih rendah. Kebutaan karena KVA sudah tidak merupakan masalah kesehatan masyarakat lagi. Namun masih rendahnya kadar vitamin A dalam darah anak balita saat ini berdampak pada peningkatan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi terutama campak dan diare. Selain itu KVA pada ibu hamil dan balita cenderung meningkat.   
Rendahnya status gizi masyarakat disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan terutama dipengaruhi oleh ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga, kemiskinan, pendidikan dan lingkungan serta budaya yang ada di masyarakat. Pada tahun 1999 tercatat sekitar 8 juta balita menderita gizi kurang, 1,7 juta diantaranya mengalami gizi buruk. Memburuknya status gizi pada kelompok rentan yaitu wanita usia subur, ibu hamil, dan ibu menyusui, mengakibatkan rendahnya tingkat kesehatan  bayi baru lahir. Hal ini diperburuk lagi oleh pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif yang semakin berkurang dan pola pemberian makanan pendamping ASI yang tidak tepat, sehingga akan menyebabkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan intelektual balita. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan intelektual yang terjadi sejak dalam kandungan dan berlanjut pada usia balita akan mengancam kualitas sumberdaya manusia generasi mendatang.
Angka kesakitan beberapa penyakit menular cenderung meningkat, seperti penyakit malaria, tuberculosis (TB), demam berdarah (DBD) dan HIV/AIDS. Akibat dari penyakit TB setiap tahunnya tercatat penderita baru sekitar 583 ribu orang dan menyebabkan kematian sekitar 140 ribu  orang. Walaupun berbagai upaya penanggulangan penyakit TB sudah dilakukan tapi hasilnya belum memuaskan. Kasus HIV/AIDS terus menunjukkan peningkatan sejak pertama kali ditemukan (1987) dan pada tahun 1998 tercatat sekitar 120 ribu kasus (0,06 persen dari penduduk). Selain itu, Indonesia perlu mewaspadai timbulnya atau masuknya penyakit-penyakit baru yang berpotensi wabah dan menimbulkan korban seperti Ebola, radang otak, virus Nipah, dan radang paru Nanta virus. Beberapa penyakit degeneratif dan penyakit tidak menular yang berkaitan dengan perubahan gaya hidup juga memperlihatkan kecenderungan meningkat. Saat ini angka kesakitan dan kematian yang disebabkan berbagai penyakit berbasis lingkungan seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), diare, penyakit kulit, dan kecacingan juga masih tinggi.
Diamati pula kecenderungan meningkatnya masalah kecacatan yang disebabkan baik oleh kelahiran, kecelakaan maupun rudapaksa. Kejadian bayi lahir cacat belum mendapat perhatian khusus terutama dalam pelayanan khusus tumbuh kembangnya, sehingga hak-hak untuk hidup mandiri dan berkualitas belum terjamin. Selain itu masalah kesehatan remaja yang makin menonjol seperti penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA), merokok, pergaulan bebas, dan perubahan pola makan terutama di kota besar belum mendapat perhatian khusus. Keadaan ini ditambah dengan melemahnya sistem dukungan masyarakat dalam mencegah dan menanggulangi masalah tersebut.

Pertumbuhan Penduduk dan Kelaparan


Pangan adalah hak azasi manusia yang didasarkan atas 4 (empat) hal berikut:
1.     Universal Declaration of Human Right (1948) dan The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966) yang menyebutkan bahwa “everyone should have an adequate standard of living, including adequate food, cloothing, and housing and that the fundamental right to freedom from hunger and malnutrition”.
2.     Rome Declaration on World Food Security and World Food Summit 1996 yang ditanda tangani oleh 112 kepala negara atau penjabat tinggi dari 186 negara peserta, dimana Indonesia menjadi salah satu di antara penandatangannya. Isinya adalah pemberian tekanan pada human right to adequate food (hak atas pemenuhan kebutuhan pangan secara cukup), dan perlunya aksi bersama antar negara untuk mengurangi kelaparan.
3.     Millenium Development Goals (MDGs) menegaskan bahwa tahun 2015 setiap negara termasuk Indonesia menyepakati menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuhnya.
4.     Hari Pangan Sedunia tahun 2007 menekankan pentingnya pemenuhan Hak Atas Pangan. 

Maka jika membahas tentang tingkat kelaparan dan gizi buruk, tentu tak bisa lepas dari angka pertumbuhan penduduk dan akibatnya pada stock produksi pangan [dunia]. Laju pertumbuhan penduduk memberikan dampak secara langsung yaitu meningkatnya  (demand) konsumsi bahan pangan dan dampak tidak langsung yakni bertambahnya kebutuhan pemukiman yang otomatis akan mengubah lahan pertanian untuk dijadikan tempat tinggal. Secara lebih sederhana, sebab dan akibat tersebut seperti multiple efect yang tak terpisahkan. Pertambahan penduduk membutuhkan papan dan pangan, sedang produksi pangan juga sangat tergantung oleh lahan yang saat ini juga mengalami penyempitan karena alih fungsi untuk pemukiman. Krisis pangan sekarang dan di masa mendatang bukan hanya masalah kronis negara-negara miskin, tetapi juga akan jadi masalah serius bagi negara-negara maju dari semua belahan benua. Tanda-tanda dunia mengalami kekurangan pangan terlihat dari ketidakseimbangan jumlah penduduk dunia dengan produksi pangan global dimana asumsi jumlah penduduk dunia bisa mencapai 9 miliar pada tahun 2045. Kondisi demografi ini membutuhkan produksi pangan dunia yang harusnya naik 70 persen dari produksi saat ini.


Akan tetapi, target produksi pangan yang sedemikian besar terkendala oleh faktor bencana alam, fluktuasi iklim yang semakin tidak menentu, krisis energi, krisis ekonomi dan krisis politik ( yang berdampak pada mahalnya harga pupuk dan obat) serta pola penanaman yang menggunakan bahan-bahan kimia mengakibatkan penurunan tingkat kesuburan tanah dalam jangka panjang yang semua itu merupakan penghalang significant terhadap peningkatan produksi pangan. Kondisi tersebut masih ditambah lagi dengan menyempitnya lahan pertanian  karena pergerakan alih fungsi untuk pemukiman (sebagai konsekuensi lain dari pertumbuhan jumlah penduduk juga) yang juga merupakan penyebab yang cukup kritis untuk dicermati. Laju penurunan lahan pertanian di Indonesia  setiap tahunnya mencapai sekitar 2,8 juta hektar/tahun dan tingkat alih fungsi lahan pun terus meningkat setiap tahunnya sekitar 110.000 hektar/tahun (Data Kementerian Pertanian, 2011).


Pertanian, secara khusus dalam komoditi padi merupakan sektor yang penting dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dunia. Bersama Filipina dan Malaysia, Indonesia disiapkan menjadi lumbung pangan di ASEAN yang diharapkan bisa bersama-sama mendukung Jepang, China, dan Korea Selatan untuk menjadi solusi dari masalah [krisis] pangan dunia. Untuk mencapai target menjadi food basket tersebut, tentu dibutuhkan pengembangan teknologi yang support terhadap produksi pertanian, anggaran yang memadai, dan peran aktif semua elemen masyarakat, terutama terkait dengan berkurangnya lahan pertanian akibat konversi lahan pertanian menjadi pemukiman atau area industri.

Masalah tersebut berakar pada masalah ketersediaan, distribusi, keterjangkauan pangan, kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan serta perilaku masyarakat. Selain itu, jumlah penduduk Indonesia yang besar dan tersebar dalam berbagai wilayah memerlukan penanganan ketahanan pangan yang terpadu dan terintegrasi. Penanganan ketahanan pangan yang dimaksud memerlukan perencanaan lintas sektor dan dengan sasaran serta tahapan yang jelas dan terukur dalam jangka menengah maupun panjang. 

Kemiskinan dan Kelaparan


          Berbicara tentang kemiskinan, pada dasarnya dapat didefinisikan secara sederhana maupun dalam arti luas.Dalam pengertian yang sederhana kemiskinan dapat diterangkan sebagai kurangnya pemilikan materi atau ketidakcukupan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sementara itu dalam arti yang lebih luas kemiskinan dapat meliputi ketidakcukupan yang lain seperti : rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya kesempatan kerja dan berusaha, keterbatasan akses terhadap berbagai hal, dan lain-lain.

 Dimensi kemiskinan, secara dinamis me-ngalami perubahan dengan mempertimbangkan aspek nonekonomi masyarakat miskin. Sedikitnya terdapat sembilan dimensi kemiskinan yang perlu dipertimbangkan, yaitu :
(a) ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar (papan, sandang, dan peru-mahan);
(b) aksessibilitas ekonomi yang rendah terhadap kebutuhan dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi yang baik, air bersih, dan transportasi);
(c) lemahnya kemampuan untuk melakukan akumulasi kapital;
(d) rentan terhadap goncangan faktor eksternal yang bersifat individual maupun massal;
(e) rendahnya kualitas sumber daya manusia dan penguasaan sumber daya alam;
(f) ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan;
 (g) terbatasnya akses terhadap kesempatan kerja secara berkelanjutan;
 (h) ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental; dan
 (i) mengalami ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial.
Karakteristik penduduk miskin secara lebih spesifik, di antaranya dicirikan oleh beberapa hal sebagai berikut :
(a) masyarakat miskin sebagian besar tinggal di pedesaan dengan mata pencaharian dominan berusaha sendiri di sektor pertanian (60,0 %);
 (b) sebagian besar (60 %) penduduk berpenghasilan rendah mengkonsumsi energi kurang dari 2.100 kkal/ hari;
(c) berdasarkan indikator silang proporsi pengeluaran pangan (> 60 %) dan kecukupan gizi (energi < 80%), diperoleh proporsi rumah tangga rawan pangan nasional mencapai sekitar 30,0 %; dan
(d) penduduk miskin dengan tingkat SDM yang rendah, umumnya tinggal di wilayah dengan karakteristik marjinal, dukungan infrastruktur terbatas, dan tingkat adopsi teknologi rendah.
 Kelaparan didefinisikan sebagai kondisi hasil dari kurangnya konsumsi pangan kronik.Dalam jangka panjang, kelaparan kronis berakibat buruk pada derajat kesehatan masyarakat dan menyebabkan tingginya pengeluaran masyarakat untuk kesehatan.

BAB II

Ilmu Teknologi dan Pengetahuan Lingkungan


Keberlanjutan Pembangunan


          Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa harus mengurangi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dari generasi yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan harus memerhatikan pemanfaatan lingkungan hidup dan kelestarian lingkungannya agar kualitas lingkungan tetap terjaga. Kelestaraian lingkungan yang tidak terjaga, akan menyebabkan daya dukung lingkungan berkurang, atau bahkan akan hilang.


Pembangunan berkelanjutan mengandung arti sudah tercapainya keadilan sosial dari generasi ke generasi. Dilihat dari pengertian lainnya, pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan nasional yang melestarikan fungsi dan kemampuan ekosistem.


Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan telah diperkuat oleh kesepakatan para pemimpin bangsa, antara lain dalam Deklarasi Rio pada KTT Bumi tahun 1992, Deklarasi Millenium PBB tahun 2000, dan Deklarasi Johannesburg pada KTT Bumi tahun 2002.

          Ciri-ciri Pembangunan Berkelanjutan


Pembangunan yang berkelanjutan harus mencerminkan tindakan yang mampu melestarikan lingkungan alamnya. Pembangunan berkelanjutan mempunyai ciri-ciri sebagai berkut.


1.     Memberi kemungkinan pada kelangsungan hidup dengan jalan melestarikan fungsi dan kemampuan ekosistem yang mendukungan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
2.     Memanfaatkan sumber daya alam dengan memanfaatkan teknologi yang tidak merusak lingkungan.
3.     Memberikan kesempatan kepada sektor dan kegiatan lainnya untuk berkembang bersama-sama di setiap daerah, baik dalam kurun waktu yang sama maupun kurun waktu yang berbeda secara berkesinambungan.
4.     Meningkatkan dan melestarikan kemampuan dan fungsi ekosistem untuk memasok, melindungi, serta mendukung sumber alam bagi kehidupan secara berkesinambungan.
5.     Menggunakan prosedur dan tata cara yang memerhatikan kelestarian fungsi dan kemampuan ekosistem untuk mendukung kehidupan, baik masa kini maupun masa yang akan datang.




Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1990), mennariskan kebijakan lingkungan dalam kaitanna dengan pembangunan yang berklanjutan sebagai berikut.


1.     Mengingat kembali pertumbuhan. Pertumbuhan yang dimaksud adalah pertumbuhan ekonomi, yang mempunyai kaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat. Indikator untuk mengetahui kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari pendapatan per kapitanya. Negara yang sedang berkembang pertumbuhan miimum dari pendapatan nasional 5% per tahun.
2.     Mengubah kualitas pertumbuhan yang berhubungan dengan tindakan pelestarian sumber daya alam, perbaikan pemerataan pendapatan, dan ketahanan terhadap berbagai krisis ekonomi.
3.     Memenuhi kebutuhan dasar manusia, anara lain pangan, papan, sandang, energi, air, dan sanitasi harus dapat memenuhi standar minimum bagi golongan ekonomi lemah.
4.     Memastikan tercapainya jumlah penduduk yang berkelanjutan. Jumlah penduduk yang mampu mendukung pembangunan berkelanjutan adalah penduduk yang stabil dan sesuai dengan daya dukung lingkungan. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi (>2% per tahun), seperti yang terjadi di negara-negara sedang berkembang perlu ada penurunan penduduk menuju tingkat pertumbuhan 0% (zero population growth).
5.     Menjaga kelestarian dan meningkatkan sumber daya dengan penciptaan dan perluasan lapangan kerja, pelestarian, dan penggunaan energi secara efisien, pencegahan pencermaran (air dan udara) sedini mungkin.
6.     Berorientasi pada teknologi dalam pengelolaan resiko, antara lain penciptaan inovasi teknologi dan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan.
7.     Menggabungkan kepentingan lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan. Misalnya, kebijakan efisiensi penggunaan energi dengan biaya produksi minimal dapat menggunakan energi semaksimal mungkin.

Mutu Lingkungan Hidup dengan Resiko


          Dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2009 dalam pasal 13 tercantum bahwa pengedalian pencemaran dan /atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. Pengedalian pecemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup ini terdiri dari 3 hal yaitu : pencegahan,penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup dengan menerapkan berbagai instrument-instrument yaitu : Kajian lingkungan hidup straegis (KLHS); Tata ruang; Baku mutu lingkungan hidup; Kreteria baku mutu kerusakan lingkungan hidup; Amdal; UKL-UPL; perizinan; instrument ekonomi lingkungan hidup; peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup; anggaran berbasis lingkungan hidup; Analisis resiko lingkungan hidup; audit lingkungan hidup, dan instrument lain sesuai dnagan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.

 Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan dengan melalui antara lain: penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar; remediasi; rehabilitasi; restorasi dan/atau cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengtahuan dan teknologi. Pemeliharan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya: konservasi sumber daya alam; pencadangan sumber daya alam; dan/atau pelestarian fungsi atmosfer. Sedangkan konservasi sumber daya adalah perlindungan sumber daya alam; pengawetan sumber daya alam; dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.

Kesadaran Lingkungan


          Kesadaran tentang lingkungan hidup menyangkut kesadaran akan betapa pentingnya lingkungan hidup dalam menunjang kwalitas hidup sangat di perlukan demi terciptanya lingkungan hidup yang harmonis dan lestari lewat tindakan-tindakan yang positif.

Hasil penelitian teoritik tentang kesadaran lingkungan hidup dari Noelaka (1991), menyatakan bahwa kesdaran adalah keadaan tergugahnya jiwa terhadap sesuatu, dalam hal ini terhadap lingkungan hidup dan terlihat pada perilaku dan tindakan masing-masing individu. Husserl yang dikutip Brauwer (1986), menyatakan bahwa kesadaran adalah pikiran sadar (pengetahuan) yang mengatur akal, hidup wujud yang sadar, bagian dari sikap/perilaku yang di lukiskan sebagai gejala dalam alam dan harus dijelaskan berdasarkan prinsip sebab musabab.

          Daniel Chiras 1985 dan 1991) menyatakan bahwa dasar penyebab kesadaran lingkungan adalah etika lingkungan. Etika lingkungan yang sampai sekarang masih berlaku adalah etika lingkungan yang didasarkan pada sisitem nilai yang mendudukan manusia bukan bagian dari alam tetapi manusia sebagai pengatur dan penakluk alam. Sistem nilai ini timbul dari sifat dasar manusia sebagai makhluk biologis. Setiap makhluk biologis memiliki sifat dasar “biological imperialisme” , sifat yang mau makan untuk hidup bagi dirinya sendiri dan bagi keturunannya sehingga tumbuh menjadi sikap “anthopocentric”, semuannya berpusat pada diri sendir.

Kesadaran Lingkungan menurut M.T Zen (1985) adalah usaha melibatkan setiap warga negara dalam menumbuhkan dan membina kesadaran untuk melestarikan lingkungan berdasarkan tata nilai, yaitu tata nilai pada lingkungan itu sendiri dengan filsafat hidup secara damai dengan alam lingkungannya.

Menurut Emil Salim (1982) Kesadaran Lingkungan adalah upaya untuk menumbuhkan kesadaran agar tidak hanya tahu tentang sampah, pencemaran, penghijauan dan perlindungan satwa langka, tetapi lebih dari pada itu semua membangkitkan kesadaran lingkungan manusia Indonesia khususnya pemuda masa kini untuk mencintai tanah dan air untuk membangun tanah air Indonesia yang adil, makmur serta utuh lestari. Selanjutnya dikatakan bahwa sadar lingkungan ini mendorong pribadi manusia untuk hidup serasi dengan alam dan dengan begitu menumbuhkan rasa religi dan gandrung akan kasih Allah yang sesungguhnya tertulis pada alam dan isi bumi ini.

Menurut Joseph Murphy (1988), Kesadaran ialah siuman atau sadar akan tingkah lakunya yaitu pikaran sadar yang mengatur akal dan dapat menentukan pilihan terhadap yang diingini misalnya bail-buruk, indah-jelek dan sebagainya. Poedjawijatna (1986), menyatakan bahwa kesadaran adalah sadar berdasarkan pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang tergugahnya jiwa terhadap sesuatu, sadar dan tahu itu sama. Selanjutnya dia menyatakan bahwa manusia dinilai oleh manusia lain melalui tindakannya.

Sigmund Freud yang dikutip Monowito (1985), menyatakan bahwa keadaan manusia dalam sadar itu dapat dinamakan kesadaran atau dapat dibalik bahwa kesadaran ialah keadaan manusia dalam sadar/siuman dan manusia dalam sadar itu dapat menginsyafi kesadarannya. Untuk menginsyafi kesadarannya maka pertama ia menyadari diri sendiri dan kedua ia menyadari dunia luar. Selanjutnya ia menyadari ruang dan waktu. Ia menginsyafi dimanakah ia berada di situ..? Kecakapan menyadari ruang dan waktu menyebabkan seseorang berorientasi ke dunia luar, meninjau keadaan di sekitarnya. Adapun manusia dalam sadar itu dapat mempergunakan akal jiwanya apabila ia waras, normal serta jiwanya tidak di pusatkan pada suatu hal yang meliputi seluruh perhatiannya, demikianlah manusia dalam sadar.

Hubungan Lingkungan dengan Pembangunan


          Pembangunan dan lingkungan mempunyai hubungan yang erat saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain. Pembangunan dalam hal ini berupa kegiatan usaha maupun kegiatan untuk hajat hidup orang banyak, membutuhkan faktor lingkungan baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial sebagai unsur produksi baik secara langsung maupun tidak langsung. Lingkungan alam menjadi pemasok sumberdaya alam yang akan diproses lebih lanjut guna memenuhi kebutuhan manusia, sedangkan lingkungan sosial menyediakan sumberdaya manusia sebagai pelaku pembangunan.

 Sebaliknya lingkungan membutuhkan pembangunan untuk bisa memberikan nilai guna atau manfaat yang dapat diukur secara ekonomi. Demikian pula lingkungan sosial juga membutuhkan pembangunan guna mendapatkan manfaat untuk kehidupan yang lebih baik. Kegiatan pembangunan yang menghasilkan berbagai produk baik barang dan jasa telah memberikan manfaat bagi kesejahteraan, kemudahan, dan kenyamanan bagi kehidupan manusia diberbagai bidang. Namun demikian, dalam kaitan dengan lingkungan alam, ancaman datang dari dua sumber yakni polusi dan deplesi sumberdaya alam. Polusi berkaitan dengan kontaminasi lingkungan oleh industri, sedangkan deplesi sumberdaya alam bersumber dari penggunaan sumbersumber yang terbatas jumlahnya (Hadi dan Samekto, 2007:2).

Pertumbuhan pembangunan di satu sisi akan memberikan kontribusi positif terhadap taraf hidup masyarakat. Namun di sisi lain akan berakibat menurunnya fungsi lingkungan. Alih fungsi lahan untuk pembangunan secara langsung akan mengurangi luas lahan hijau, baik lahan pertanian maupun kawasan hutan yang merupakan penghasil oksigen. Sementara meningkatnya pemakaian bahan bakar fosil sebagai sumber energi justru menyumbang gas karbon yang akhirnya berdampak pada perubahan iklim yang terjadi karena efek rumah kaca. Kontradiksi antara kepentingan pembangunan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan ini memerlukan upaya dan langkah nyata agar keduanya dapat dilakukan secara seimbang dan harmonis, sesuai amanat pembangunan berkelanjutan yakni pembangunan dengan memperhatikan tiga pilar utama yakni ekonomi, lingkungan, dan sosial.

Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup Oleh Pembangunan


          Dalam pembangunan, sumber daya alam merupakan kompnen yang penting karena sumber alam ini memberikan kebutuhan asasi bagi kehidupan. Dalam penggunaan sumber alam tadi, hendaknya keseimbangan ekosistem proyek pembangunan, keseimbangan ini bisa terganggu, yang kadang-kadang bisa membahayakan kehidupan umat. Harus dicari jalan keluar yang saling menguntungkan dalam hubungan timbal balik antara proses pembangunan, penggalian sumber daya, dan masala pengotoran atau perusakan lingkunga hidup manusia. Sebab pada umumnya, proses pembangunan mempunyai akibat-akibat yang lebih luas terhadap lingkungan hidup manusia, baik akibat langsung maupun akibat sampingan seperti pengurangan sumber kekayaan alam secara kuantitatif & kualitatif, pencemaran biologis, pencemaran kimiawi, gangguan fisik dan gangguan sosial budaya.

Kerugian-kerugian dan perubahan-perbahan terhadap lingkungan perlu diperhitungkan, dengan keuntungan yang diperkirakan akan diperoleh dari suatu proyek pembangunan. Itulah sebabnya dala setiap usaha pembangunan, ongkos-ongkos sosial untuk menjaga kelestarian lingkungan perlu diperhitungkan, sedapat mungkin tidak memberatkan kepentingan umum masyarakat sebagai konsumen hasil pembangunan tersebut.

beberapa hal yang dapat dipertimbangkan dalam mengambil keputusan-keputusan demikian, antara lain adalah kualitas dan kuantitas sumber kekayaan alam yang diketahui dan diperlukan; akibat-akibat dari pengambilan sumber kekayaan alam termasuk kekayaan hayati dan habisnya deposito kekayaan alam tersebut. Bagaiaman cara pengelolaannya apakah secara traditional atau memakai teknologi modern, termasuk pembiayaannya dan pengaruh proyek pada lingkungan terhadap memburuknya lingkungan serta kemungkinan menghentikan perusakan lingkungan dan menghitung biaya-biaya serta alternatif lainnya.
Lingkungan Hidup
Hal – hal tersebut di atas hanya merupakan sebagian dari daftar persoalan, atau pertanyaan yang harus dipertimbangkan bertalian dengan setiap proyek pembangunan. Juga sekedar menggambarkan masalah lingkungan yang konkret yang harus dijawab. Setelah ditemukan jawaban yang pasti atas pertanyaan-pertanyaan tadi, maka disusun pedoman-pedoman kerja yang jelas bagi pelbagai kegiatan pebangunan, baik berupa industri atau bidang lain yang memperhatikan faktor perlindungan lingkungan hidup manusia.

Jenis Limbah yang menyebabkan Pencemaran Tanah

Pencemaran tanah adalah keadaan di mana bahan kimia buatan manusia masuk dan merubah lingkungan tanah alami. Pencemaran ini biasanya terjadi karena: kebocoran limbah cair atau bahan kimia industri atau fasilitas komersial, penggunaan pestisida, masuknya air permukaan tanah tercemar ke dalam lapisan sub-permukaan, zat kimia, atau limbah. air limbah dari tempat penimbunan sampah serta limbah industri yang langsung dibuang ke tanah secara tidak memenuhi syarat.

Jika suatu zat berbahaya telah mencemari permukaan tanah, maka ia dapat menguap, tersapu air hujan dan atau masuk ke dalam tanah. Pencemaran yang masuk ke dalam tanah kemudian terendap sebagai zat kimia beracun di tanah. Zat beracun di tanah tersebut dapat berdampak langsung kepada manusia ketika bersentuhan atau dapat mencemari air tanah dan udara di atasnya. Pencemaran tanah berawal dari limbah domestik, limbah industri, dan limbah pertanian

Limbah Domestik

Limbah domestik dapat berasal dari daerah pemukiman penduduk. perdagang-an, pasar, tempat usaha hotel dan lain-lain.
“Limbah padat berupa sampah anorganik. Jenis sampah ini tidak bisa misalnyalastik, kaleng minuman, botol plastik air mineral dan lain-lain.”
“Limbah cair berupa sisa diterjen dari rumah, tinja,Oli, dan lain-lain yang meresap ke dalam tanah yang dapat membunuh mikro-organisme di dalam tanah.”

Limbah industri

Limbah Industri berasal dari lingkungan industri yang membuang limbah secara langsung ke tanah tanpa proses penetralan zat-zat kimia terlebih dahulu.
“Limbah Industri bisa berupa limbah padat yang bisa berupa Lumpur yang berasal dari sisa pengolahan misalkan sisa pengolahan kertas, gula, rayon, plywood dan lain-lain”
“Limbah cairan yang berupa hasil pengolahan dari proses produksi industri seperti sisa hasil pengolahan industri pelapisan logam, tembag, perak, khrom, boron adalah zat-zat yang dihasilkan dari proses industri pelapisan logam”.

Limbah Pertanian

Limbah pertanian berasal dari pemberian pupuk petani untuk tanamanya atau racun untuk pembunuh hama. misalnya pupuk urea, Pestisida.Harus dicari jalan keluar yang saling menguntungkan dalam hubungan timbal balik antara proses pembangunan, penggalian sumber daya, dan masala pengotoran atau perusakan lingkunga hidup manusia. Sebab pada umumnya, proses pembangunan mempunyai akibat-akibat yang lebih luas terhadap lingkungan hidup manusia, baik akibat langsung maupun akibat sampingan seperti pengurangan sumber kekayaan alam secara kuantitatif & kualitatif, pencemaran biologis, pencemaran kimiawi, gangguan fisik dan gangguan sosial budaya. Kerugian-kerugian dan perubahan-perbahan terhadap lingkungan perlu diperhitungkan, dengan keuntungan yang diperkirakan akan diperoleh dari suatu proyek pembangunan. Itulah sebabnya dala setiap usaha pembangunan, ongkos-ongkos sosial untuk menjaga kelestarian lingkungan perlu diperhitungkan, sedapat mungkin tidak memberatkan kepentingan umum masyarakat sebagai konsumen hasil pembangunan tersebut.




SUMBER











ejurnal.bppt.go.id/index.php/JTL/article/download/214/162+&cd=39&h